14. Secercah Harapan

"Serapat apapun manusia menyembunyikan bangkai, pada akhirnya bau busuk pun akan tercium dengan sendirinya"

Begitulah hidup ini, semua yang ada di dunia ini tidaklah abadi. Seberapa kuat engkau menggenggamnya, apa yang berbau dunia pasti akan terlepas jua. Entah semasa hidup, ataupun sebab kematian.

Begitu pula dengan rasa sakit yang Delia rasakan, dia yakin kelak akan berbuah manis. Delia sangat yakin dirinya tidak bersalah, karena dia tidak melakukan tindakan pembunuhan itu. Masih terekam jelas di otaknya, ketika penangkapan dirinya atas kasus pembunuhan. Awalnya semua orang menatapnya tak percaya. Bagaimana mereka bisa percaya, kalau selama tinggal di mansion Salazar, dia selalu dekat dengan Bu Ningsih. Semua orang juga tidak akan pernah menyangka hal itu akan terjadi.

Semua orang berharap itu hanyalah prank yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Tapi nyatanya semua bukti mengarah kuat kepadanya. Lalu harus bagaimana lagi dia menyangkal? Sepertinya pembunuh yang sebenarnya sudah mempersiapkan rencananya dengan sangat matang. Hingga akhirnya Delia tidak punya alibi apapun saat itu.

Pada saat penangkapan itu muncullah bisik-bisik yang bagi Delia sangat memekakkan telinga. Meskipun lirih, tetapi kekuatannya menembus pertahanan hati. Sakit yang tidak berdarah, merobek asa yang memang sudah menipis. Bagaimana dia menjalani hari nantinya. Jikapun berhasil keluar dari penjara dia akan dicap sebagai mantan napi. Apa bagusnya mantan napi, semua orang juga pasti akan memandang hina, bahkan mengecapnya sebagai pembunuh sampai akhir hayatnya. Mending mantan terindah dari pada mantan napi, batin Delia. Kalau mantan terindah, meskipun meninggalkan luka, setidaknya tersemat kata indah di belakangnya. Begitulah Delia menghibur dirinya sendiri.

Seberapapun besarnya rasa sakit, sesal dan putus asa yang menggerogoti keteguhan jiwanya, Delia memilih untuk tegar. Meredam semua amarah dan sakit hati. Delia berjanji akan pergi sejauh-jauhnya dari pria sombong yang bernama Amro Salazar. Yang bahkan tidak memberinya kesempatan untuk melakukan pembelaan, dan juga tega menuntutnya tanpa belas kasihan.

"Delia, ada yang mengunjungimu!"

Suara sipir perempuan itu mengagetkan Delia yang sedang melamun. Delia pun mendongakkan kepalanya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, dia segera mengikuti petugas penjara. Entahlah, sejak ikut dengan Nyonya Dainy dirinya tidak lagi mudah tersenyum seperti dulu. Jangankan untuk tersenyum dengan tulus, pura-pura tersenyum saja dia sudah tidak bisa.

Wajahnya gadis itu terlihat tenang dan datar. Selama di penjara, dia ditakuti oleh tahanan lain. Apalagi kalau bukan karena kasusnya yang menghebohkan seluruh negeri.

"Waktumu lima belas menit, gunakan dengan sebaik-baiknya," pesan sipir penjara itu kepada Delia. Delia hanya mengangguk dan tetap diam seperti semula. Sama sekali tidak memberikan jawaban.

Delia menatap punggung pria yang membelakanginya. Pria itu terlihat gagah, memasukkan kedua tangannya di saku celana. Tak bisa menebak siapa yang datang mengunjunginya, Delia memilih diam menunggu pria itu berbalik ke arahnya.

Delia memang tidak berharap banyak pada siapapun sekarang. Sidang kasusnya baru di gelar dua kali, selama dua bulan Delia di penjara. Delia juga tidak tahu apakah dia bisa memenangkan kasusnya atau tidak. Di dalam penjara, Delia tidak bisa mencari informasi apapun. Apalagi Mario dan Reyn sangat jarang mengunjunginya. Mungkin saja dilarang oleh Amro Salazar. Dia tentu saja tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Karena rasanya tidak mungkin menyangkal bukti yang sudah ada. Bukti fisik berupa pisau dan sepatu both di kamarnya itu.

"Bagaimana kabarmu, Delia?" Pria itu berbalik dan bertanya kabar kepadanya. Namun, alih-alih menjawab, Delia memilih mengacuhkan basa basi itu.

"Apa kamu yakin dengan hasil penyelidikan kamu selama ini, Delia?"

Delia mendongak. Menatap manik tajam pria itu yang juga sedang menatapnya penuh sejuta penyesalan yang tak bisa terucap lewat lisannya. Delia mengerjapkan matanya tidak percaya bahwa seorang Reyn mengunjunginya. Jika di novel-novel seorang asisten akan sangat setia dan patuh dengan atasannya, maka Reyn adalah pengecualian. Dia sangat perhatian dengan Delia. Meskipun jika Tuan Muda Amro tahu, pasti dia mengancam akan memecat Reyn. Namun bagi Reyn kebenaran harus ditegakkan. Reyn sungguh tidak percaya jika dengan mudahnya polisi menangkap Delia, maka dari itu dia bersama Mario berusaha keras mencari bukti yang akurat. Mereka berdua yakin, Delia tidak bersalah.

"Reyn, kamu tahu aku sekarang adalah seorang pesakitan. Kamu tidak perlu mengorbankan pekerjaanmu demi aku, Reyn!"

Bukannya senang dikunjungi oleh Reyn, gadis itu malah mencemaskan pekerjaannya. Benar-benar gadis yang unik.

"Bagaimana kalau Tuan Muda Amro yang terhormat itu tahu?" tanya Delia.

Delia mengkhawatirkan karir Reyn daripada nasip dirinya sendiri. Itulah yang membuat Reyn tidak percaya dengan tuduhan pembunuhan yang disematkan pada Delia.

"Itu adalah urusanku. Ada yang ingin aku tanyakan padamu dan ini sangatlah penting," balas Reyn.

"Jujur saja aku sulit mempercayai apa yang telah kamu temukan. Namun, karena rasa penasaranku yang besar, akhirnya aku meminta organisasi bawah untuk mengumpulkan informasi tentang wanita itu. Aku juga sudah mencari bukti tentang kejahatan yang pernah dilakukannya. Ada rahasia besar yang masih disimpannya sampai sekarang. Kita tinggal menunggu rahasia itu akan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan semuanya," ucap Reyn pelan. Takut terdengar oleh orang lain.

"Apa itu tentang surat kelahiran yang dipalsukan dan pembunuhan Robert Salazar?" tanya Delia berbisik.

"Bagaimana kamu bisa tahu tentang itu?

Sementara aku belum mengatakannya padamu!"

Reyn mengerucutkan bibirnya. Dirinya merasa kesal ternyata Delia sudah mengetahui lebih dulu tentang informasi yang menurutnya sangat penting itu.

"Aku sudah menyelidikinya, tetapi bukti yang aku dapatkan tidak terlalu kuat. Reyn, mungkin kita bisa melakukan tes DNA diam diam," usul Delia kemudian.

"Kamu benar Del. Usul darimu akan aku pertimbangkan," balas Reyn mengulas senyum lebarnya. Reyn merasa senang mendengar usul Delia.

"Kamu harus berhati-hati, Reyn. Bahkan tembok pun bisa menjadi matanya.

Apapun yang kamu temukan harus kamu simpan baik-baik. Jangan sampai nasibmu seperti aku," pesan Delia tulus. Reyn bahkan sampai tersentuh hatinya mendengar pesan dari Delia.

"Maaf karena aku tidak bisa berlama-lama. Doakan kami saat persidangan selanjutnya berlangsung, kami bisa datang," kata Reyn. Pria itu memberikan senyumnya untuk Delia.

"Terimakasih atas kepedulian kamu, Reyn. Maaf aku merepotkan kamu banyak hal," balas Delia. Reyn mengacak rambut Delia sebelum beranjak pergi meninggalkan gadis itu. Sesak, itulah yang dirasakan Reyn. Setiap kali melihat tubuh Delia yang sekarang terlihat lebih kurus dari sebelumnya.

Mereka pun berpisah dengan saling melempar senyum seolah-olah saling memberikan kekuatan.

Entah sejak kapan Reyn merasa nyaman dengan Delia. Dia bertekad untuk melindungi gadis itu. Reyn yakin Delia bukan pelaku pembunuhan itu. Saat ini dia dan Mario sedang meneruskan penyelidikan yang sudah dimulai oleh Delia. Mereka berdua sedang berpacu dengan waktu. Sebelum hakim benar-benar menjatuhkan hukuman kepada Delia.

Benda pipih bergambar apel digigit itu berdering terus, membuat Reyn dengan cepat mengangkat panggilan dari tuannya.

"Halo, Tuan Muda."

"Aku tunggu sepuluh menit lagi di ruanganku!"

"Tapi,-"

Tut. Panggilan terputus. Entah apa yang sedang terjadi. Suara Tuan Muda Amro terdengar kesal. Jangan sampai Tuan Muda mengetahui bahwa dirinya baru saja melindungi Delia. Bisa runyam nanti urusannya. Reyn segera memacu mobilnya menuju perusahaan Salazar. Dia tidak mau Tuan Muda Amro semakin marah karena membuatnya menunggu terlalu lama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!