Aku menangis sekencang-kencangnya terbawa oleh emosi. Istri mana yang tidak akan histeris melihat suami yang sangat dicintai tiba-tiba terbujur kaku di hadapan kita?
"Bangun Mas Dikiiiiii ... banguuuun ... ! Siapa yang melakukan ini padamu, Mas? Bangun Maaaaaas!!! ..." teriakku dengan suara parau.
Aku bingung, aku takut, aku resah dengan semua kejadian yang serba tiba-tiba ini.
"Dik .... Dik .... Dik ...." terdengar suara seseorang sedang memanggil-manggil namaku. Aku tetap menangis meratapi kepergian suamiku, namun suara itu terus memanggilku berulang-ulang. Hingga akhirnya aku meyakini betul bahwa yang sedang memanggil-manggil namaku adalah Mas Diki. Badanku tambah gemetar.
"Mas, kenapa kamu bisa bersuara? Apa Kamu menjadi hantu seperti Yu Darmi?"
"Dik!! Dik!!!" Suara itu semakin keras memanggil bahkan kali ini pipiku terasa panas seperti ditampar seseorang. Padahal tidak ada tangan yang sedang menamparku.
"Oh tidak, pipiku benar-benar ditampar seseorang"
"Aduh ... saakiiiit ..." Aku memegangi pipiku yang sedang sakit. Aku melongo ... Wajah Mas Diki tepat berada di hadapanku tampak masih segar bugar. Tidak ada gulungan kapaa di lubang hidungnya, giginyapun tidak bertaring.
"Kamu mimpi apa, Dik? Kok sampai nggak bisa dibangunin begitu, kayak kesetanan?" tanya Mas Diki. Aku masih melongo.
"Hei ... Dik! Bangun-bangun, sudah subuh nich. Makanya kalau mau tidur berdoa dulu biar tidak diganggu setan," ucap Mas Diki lagi.
"A-a-apa benar barusan itu hanya mimpi? Apa Kamu beneran Mas Diki suamiku, bukan hantu?" tanyaku terbata-bata. Aku masih sangat ketakutan.
"Iya, Dik. Ini aku Diki, suamimu yang paling ganteng. Kamu barusan mimpi buruk sampai mengigau," jawab laki-laki di depanku.
"Alhamdulillah ..." Aku memeluk erat tubuh lelaki di depanku, Mas Diki sampai nggak bisa bernapas karena pelukanku terlalu erat. Saking senangnya melihat Mas Diki masih hidup, aku sampai lupa menahan diriku untuk tidak memeluk terlalu kencang. Kubasuh air mata yang membasahi pipiku. Setelah aku yakin semua hanya mimpi barulah aku melepas pelukanku terhadap suamiku.
"Sudah? gitu saja?" tanya suamiku dengan wajah konyolnya.
"Maksud Mas Diki apa?" tanyaku polos.
"Kirain mau langsung morning love?" jawab Mas Diki dengan wajah mesumnya.
"Ih maunya ... Ingat kita sekarang lagi dimana? Di ruang tamu Yu Darmi. Ntar Nur atau Siti bangun, bagaimana?" ucapku agak berbisik.
"Apa kita pindah ke kamar Yu Darmi saja?" goda suamiku.
"Iiih ... Enggak mau," Aku merengek karena takut dengan bercandaan suamiku itu.
"Sholat subuh yuk, Dik!" ajak suamiku.
"Ayo," jawabku.
Mas Diki menarik badanku supaya aku berdiri. Setelah aku berdiri, Mas Diki lagi-lagi memujiku.
"Nah, gitu dong jadi istri sholehah, mau kalau diajak sholat jamaah. Tapi ntar ditingkatkan harus mau diapain aja sama suami," kata Mas Diki sambil nyengir kuda.
"Ups, tunggu Mas," Aku berkata menghentikan langkah Mas Diki yang sedang menggandengku menuju kamar mandi.
"Kenapa, Dik?" tanya suamiku penasaran.
"Mas, pipiku kok sakit ya?" ucapku sambil memperhatikan raut wajah suamiku. Mata suamiku menghindari tatapan matanya denganku.
"Apa Mas Diki tadi menamparku?" tanyaku sambil menyipitkan mata. Mas Diki nampak gelagapan mendengar pertanyaanku yang sedikit menohok.
"Em ... A-anu, Dik ..." jawabnya terbata-bata.
"Jawab jujur, Mas! Apa Mas Diki tadi menampar wajahku saat aku mengigau?" tanyaku lagi dengan penuh selidik. Mas Diki tambah belingsatan mendapat pertanyaan bertubi-tubi itu.
"I-iya, Dik ..." jawabnya.
"Apa Mas?" potongku sambil berkacak pinggang.
"Gini Dik, jangan marah dulu. Tadi Dik Shinta terus-terusan ngigau, dibangunin nggak bangun-bangun. Mas nggak punya pilihan lain selain menampar pipimu yang halus itu," jawab Mas Diki penuh diplomatis.
"Ooooo ... gitu ya? Sudah nggak sayang sama aku ternyata. Mulai berani main kasar ya sama aku? Jangan-jangan sudah ada serepan lain ya?" Aku berkata sambil mencubiti perut dan paha suamiku.
"Aduuuh, ampuuun Dik .... Beneran nich, Mas nggak berniat menyakiti Dik Shinta. Mas beneran melakukannya karena saking cemasnya dengan igauanmu Dik. Maafin Mas Diki, Diiik ... Aduh saaakiiit cubitanmu Dik. Sampai merah-merah begini badan Mas," rengek Mas Diki.
"Nggak usah endel, itu mah tidak ada apa-apanya dibanding sakit di pipiku. Nggak tahu apa aku harus betah-betahin ngerawat wajah supaya tetap cantik, malah Mas Diki seenaknya main tampar," jawabku dengan tetap mencubiti kulit suamiku. Setelah belasan kali mencubit barulah aku merasa ahak puas. Aku berjalan mendahului suamiku.
"Sebagai hukumannya, Mas nggak aku kasih jatah selama seminggu," ucapku datar.
"Aduh jangan dong, Dik. Cubit saja sepuas hati Dik Shinta, asal hukumannya jangan itu. Bisa karaten Mas Diki, Dik kalau sampai seminggu nggak dikasih jatah," rengek suamiku. Aku tersenyum dengan reaksinya yang menurutku lucu.
"Enggak, aku bilang enggak ya enggak," kataku sambil nyelonon menuju dapur. Aku yakin Mas Diki akan menyusulku.
"Plis Dik ya, jangan seminggu. Tiga hari ya?" rayu Mas Diki sambil menyusulku ke belakang.
"Eeeeengggaaaak!" Aku melotot ke arahnya sambil menutup pintu kamar mandi. Aku berani karena aku yakin Mas Diki akan menungguiku di depan pintu. Aku hapal betul dengan karakter suamiku itu, kalau urusan itu dia memang paling nggak betah. Entah mengapa melihat suamiku seperti itu, hatiku merasa puas sekali. Rasa sakit di pipiku sudah hilang dengan sepenuhnya.
"Diskon dua hari dong?" suara Mas Diki dari balik pintu. Aku cekikikan di dalam kamar mandi.
"Enggak!!!" jawabku ketika keluar dari kamar mandi. Mas Diki cemberut.
Mas Diki kemudian menutup pintu kamar mandi untuk buang air dan berwudlu. Aku melarangnya menutup pintu karena jujur aku takut berada di luar sendirian.
"Buka pintu diskon satu hari ya?" Ia masih belum menyerah.
"Enggak!!!" jawabku.
"Ya udah Mas tutup pintunya," ancamnya.
"Oke diskon setengah hari," jawabku tak mau kalah.
"Tole tole .... yang sabar ya, tuan puteri lagi ngambek," ujar Mas Diki sambil ngomong sama miliknya, membuatku menahan tawa saja.
*
Pukul lima pagi saat semua orang sudah bersiap beraktivitas, aku berkata.
"Mas, sepertinya kita harus melihat keadaan Yu Painem sekarang,"
Semuanya tercengang dengan ucapanku.
"Iya, Bu. Kita harus memberi makanan kepada bude Painem," ucap anakku, Nur.
"Tidak hanya itu, Nur. Perasaan saya tidak enak, tadi malam Ibu bermimpi buruk tentang beliau. Ibu takut terjadi apa-apa dengan beliau," jawabku.
"Baiklah, Dik. Sebaiknya kita memang harus segera melihat keadaan beliau supaya kita tidak kepikiran lagi. Kalau memang beliau sedang sakit, alangkah baiknya kita panggilkan dokter atau mantri untuk memeriksanya," jawab suamiku kalem.
"Makanan sisa tadi malam juga sudah saya hangatkan, Mbak Shin. Monggo kalau memang mau dibawa ke rumah sebelah," ujar Siti.
"Wah, pas sekali kalau begitu. Ayo deh kita segera berangkat supaya kita tidak terlambat juga," ucapku sambil melangkah ke luar diikuti oleh mereka. Saat beberapa meter kami melangkah, tiba-tiba
Braaaak!!!
Pintu kamar Yu Darmi tertiup angin dan terbuka dengan lebar. Padahal aku yakin, pintu itu selalu terkunci.
Bersambung
Gimana, Kak ceritanya?
Tulis kritik dan saran di komentar ya.
Jangan lupa baca cerita saya yang lain yang berjudul KAMPUNG HANTU. Nggak kalah keren loh.
Masukkan ke perpustakaan kalian ya kedua cerita tersebut, supaya kamu selalu dapat notifikasi kalau ada up terbaru.
Terima kasih banyak atas penerimaan Readers terhadap karya-karya saya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Minartie
bener bener bikin penasaran
2025-02-18
0
Noer Maulidha
sumpah novelmu yg ini horor bngt mas junan..samoe kelupaan komen dr awal bc.aku sampe ikut teriak ...hiii tp penasaran.
2023-03-25
0
Enok Wahyu.S GM Surabaya
penasaran sama ceritanya...
2023-01-16
0