Dengan perasaan was-was, kami berdua berjalan menuju pintu samping. Siti yang memutar anak kunci dan membuka grendel, sedangkan aku mengikuti di belakangnya dengan jarak yang sangat dekat. Setelah tidak terkunci lagi, gagang pintu itupun diputar oleh seseorang yang berada di luar rumah.
KRIEEEEEEET ...
Daun pintupun terbuka ke arah luar, seseorang berdiri di balik pintu dengan posisi kaki miring ke kiri, kepalanya tertunduk ke bawah, aku terkesiap ketika ia tiba-tiba mendongak dan menyeringai menampakkan giginya yang gingsul.
“Mas Diki, kenapa kakinya?” tanyaku keheranan sambil memapahnya ke dalam.
“Kakiku terantuk batu di depan sana, Dik,” jawabnya sambil meringis. Aku membimbing suamiku duduk di atas amben.
“Siti, tolong ambilkan alkohol, kapas, obat merah dan perban di kamar Yu Darmi!” perintahku kepada karyawan Yu Darmi itu. Sementara aku melipat celana Mas Diki dan memijat-mijat paha dan betisnya.
“Kamar Bu Darmi yang sebelah mana, Mbak?” tanya Siti kebingungan.
“Itu yang di dekat ruang tamu. Ini kuncinya! Obat-obatannya ada di dalam bufet kecil di samping tempat tidur,” jawabku sambil menyodorkan sebendel kunci rumah ini.
“Iya, Mbak.” Jawabnya kemudian. Saya meneruskan memijat-mijat kaki suamiku mulai dari paha, betis, hingga punggung kakinya.
“Mas yakin tadi tidak tertusuk paku atau logam yang lain?” tanyaku lagi.
“Tidak, Dik. Kaki Mas terantuk batu, tadi Mas lihat batunya, kok,” jawab suamiku meyakinkanku.
“Syukurlah kalau tidak terkena paku, soalnya kalau paku bisa tetanus,” ujarku kembali.
Setelah beberapa lama memijat kaki suamiku, Sitipun nongol sambil membawa obat-obatan yang saya minta tadi.
“Kok lama sekali, Siti?” tanyaku.
“Eh-iya, Mbak. Ta-tadi ma-masih-,” jawabnya terbata-bata.
“Ya sudah. Sini obat-obatannya! Nanti lukanya keburu infeksi kalau tidak segera diobati,” potongku.
Siti menaruh obat-obatan itu di sebelahku. Kutuangkan cairan alkohol ke luka suamiku sambil membersihkan bagian luka yang menganga dengan kapas.
“Aduh perih, Dik!” rintih suamiku.
“Cuma alkohol saja, kok,” jawabku.
“Alkoholnya sich nggak apa-apa, tapi Kamu korek-korek lukanya itu yang bikin tambah perih,” rintih suamiku lagi.
“Kalau nggak dikorek-korek, nanti ada kotoran di lukanya, bisa infeksi loh Mas,” ujarku lagi.
“Iya, pelan-pelan tapi Dik!” pekik suamiku.
“Halah, Mas ini. Dulu saya teriak-teriak begitu, apa Mas Diki menggubrisnya?” godaku.
“Itu kan lain, Dik.” Suamiku nyengir kuda. Akupun menuang obat merah ke luka suamiku yang sudah bersih, selanjutnya melilitnya dengan perban.
“Sudah beres, coba dibuat jalan!” cetusku.
“Gendong, Dik!” Suamiku bermanja.
“Hus, malu ada Siti!” jawabku ketus.
“Kamu yang mulai duluan, kan?” rajuk suamiku. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.
“Mas, Nur kok belum datang ya? Sudah mau maghrib begini,” ujarku.
“Mungkin ada ekskul atau les di sekolahnya?” jawab suamiku.
“Biasanya dia ngasih tau kalau mau pulang sore. Ya Sudah, Mas Diki buruan mandi sana, sebentar lagi sudah maghrib. Awas bagian lukanya jangan kena air dulu!” cetusku.
“Iya, Gadisku,” jawab suamiku sambil tersenyum menggodaku. Aku melengos mendapat senyuman menggelikan seperti itu. Malu kepada gadis muda di dekat kami. Ketika Mas Diki berjalan menuju kamar mandi, Siti masih berdiri di sebelahku.
“Mbak ....” Siti memanggilku tiba-tiba.
“Iya, ada apa?” tanyaku keheranan.
“Tadi di kamar Bu Darmi ...,” ucapnya sambil berpikir.
“Kamu menciumnya lagi, Siti?” tanyaku agak ketakutan.
“Bukan itu, Mbak. Tadi di kotak obat, aku melihat ada kapsul yang pecah,” sambungnya lagi.
“Kapsul warna hijau, kan?” tanyaku meyakinkan.
“Iya, Mbak.” Jawabnya lagi.
“Oalah, itu kapsul yang biasa diminum Yu Darmi. Beliau kan sudah lama sakit darah tinggi. Kapsul itu resep dari dokter,” jawabku sambil tersenyum.
“Tapi, Mbak-“
“Ayo kita mandi saja! Sepertinya Mas Diki sudah selesai. Kita gantian jaga di depan kamar mandi, ya?” Aku memotong perkataan Siti yang terkesan aneh.
“Iya, Mbak,” jawabnya sambil melangkah bersamaku menuju kamar mandi.
Aku mandi duluan, Siti menunggu di luar sambil mencuci perkakas dapur. Selama berada di kamar mandi, aku terus mengajak Siti mengobrol untuk mengusir rasa takut sekaligus memastikan ia masih berada di luar kamar mandi.
Giliran Siti yang mandi, aku justeru merasa lebih seram berada di luar sendirian. Sementara Siti yang berada di dalam kamar mandi sudah tidak begitu menggubrisku yang terus mengajaknya berbicara. Dalam keadaan gamang seperti itu, tiba-tiba dari ruang tengah muncul seseorang dengan baju lusuh dan mata sayu mengagetkanku. Ia berjalan ke arahku secara perlahan.
“Maaf ya, Bu. Nur pulang terlambat,” ucapnya sambil menunduk. Sepertinya ia sudah siap untuk aku marahi.
“Darimana Kamu? Kok sampai sore begini?” tanyaku dengan nada agak tinggi.
“Tadi-,“ jawabnya agak gemetar.
“Kamu pulang jam berapa dari sekolah?” selidikku.
“Seperti biasa, jam satu siang,” jawabnya pelan.
“Terus? Kenapa bisa sampai rumah sesore ini?” tegasku.
“Itu dia, saya juga bingung, perasaan tadi saya hanya mampir sebentar,” jawab anakku dengan ekspresi wajah kebingungan.
“Maksudnya, Kamu sepulang sekolah, kelayapan dulu di rumah temanmu?” Nadaku semakin meninggi. Aku paling tidak suka jika ada anggota keluargaku yang pergi tanpa ijin terlebih dahulu.
“Bukan begitu, Bu. Tadi siang, sepulang sekolah ada yang berteriak-teriak, ‘lapaaaaaaaaaar!!!’. Saya kaget, terus saya menghentikan laju sepeda, ternyata suaranya berasal dari dalam sebuah rumah. Karena kasihan, saya masuk ke dalam rumah tersebut. Ruang tamunya lengang, banyak tikus berkeliaran. Saya takut sebenarnya untuk masuk, tetapi suara itu terdengar semakin menyayat hati. Karena tak tega, saya memberanikan diri masuk ke ruang tengah. Ruang tengahnya lebih pengap lagi, saya menoleh ke kiri, ada sebuah kamar di sana yang ditabiri kelambu berwarna hijau. Saya melangkah perlahan menuju kamar itu, saya singkap kain penutup kamarnya. Ternyata benar, di dalamnya ada seorang ibu tua tengah terbaring di ranjang sambil megap-megap. Badannya terlihat kurus sekali, bisa diibaratkan seperti jasad hidup. Kebetulan bekal saya masih ada sebagian, saya suapi ibu tua tersebut beberapa suapan.” Nur memperjelas ceritanya.
“Terus?” tanyaku penasaran.
“Setelah saya suapi dan saya beri minum, ibu tua itu bilang terima kasih. Kemudian ia tidur kembali di kasurnya, agak ngeri juga sich melihat pose dia tidur, matanya sedikit melotot. Kasian, Bu. Sepertinya ia tinggal sendirian dan tidak ada yang mengurusnya. Setelah itu saya tidak langsung pulang, melainkan menyapu rumah ibu tua tersebut karena sangat kotor sekali. Setelah cukup bersih, barulah saya pulang. Ealah, nyampek di sini sudah sore ternyata.” Nur mengakhiri ceritanya. Rasa bangga dan bahagia tiba-tiba menyeruak di dalam hati kecilku. Kemarahanku pun sirna seketika mendengar pengakuannya.
“Ya sudah, segera mandi sana! Badanmu kotor semua ini. Lain kali kabari ibu dulu, kalau mau pulang telat!” ucapku lembut.
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawabnya senang.
Siti keluar dari kamar mandi, setelah itu aku menyuruh Nur untuk mandi, otomatis aku berjaga kembali di luar kamar mandi. Kulihat Siti kemudian masuk ke kamar Yuli. Ketika keluar dari kamar mandi, buru-buru aku menarik tangan Nur meninggalkan dapur menuju kamar Fery karena tiba-tiba aroma sabun Yu Darmi tercium di hidungku. Entah di sebelah mana Yu Darmi muncul? Tepat di pintu pembatas antara ruang tengah dan dapur, aku menoleh ke belakang, kulihat Yu Darmi sedang berdiri tepat di depan pintu kamar mandi sambil menatap hampa ke arahku, entah mengapa arwah Yu Darmi sekarang suka menampakkan giginya yang kemerahan.
Setelah maghrib, para tetamu yang akan mengikuti acara tahlilan mulai berdatangan. Malam ini tak kurang dari tigapuluh lima orang yang ikut tahlilan. Karena pekerjaan di dapur sudah selesai semua, aku mengajak Siti duduk-duduk santai di samping rumah Yu darmi sambil mengamati orang-orang yang sedang tahlilan di ruang tamu dan di beranda. Pada saat asik mengobrol, tiba-tiba kulihat Yu Painem berdiri mematung di pinggir jalan, di pojok halaman Yu darmi. Aku terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba, ia hanya nongol sebentar, menatapku tajam kemudian berjalan kembali ke rumahnya.
“Kok tiba-tiba kayak bau bangkai tikus ya, Mbak?” ucap Siti sambil menutup hidungnya. Aku mendengus untuk memastikannya.
“Iya juga, Siti. Tapi baunya timbul tenggelam. Kita ke dapur saja, yuk! Sepertinya sudah mau selesai acaranya,” ucapku kemudian.
Setelah acara selesai, makananpun dibagikan. Tidak seperti biasanya, malam itu ada beberapa hidangan di atas piring yang masih utuh tidak dimakan oleh tuannya.
“Mas, kok ada beberapa makanan yang masih utuh?” tanyaku kepada suami.
“Oh, itu tadi bapak-bapak yang duduk di beranda pada kenyang semua katanya, sorenya baru habis diundang kendurian di rumah Kyai Sholeh,” jawab suamiku.
“Oh ....” Aku mengerti, tetapi masih agak curiga, jangan-jangan bapak-bapak yang di beranda mencium bau bangkai tikus tadi.
Tak lebih dari lima bela menit, piring-piring kotor itupun sudah kami cuci bersih. Salut dengan cara kerja Siti yang begitu cepat dan rapi, pantas saja Yu Darmi betah memperkerjakan perempuan muda ini.
“Nur, mau Kamu apain makanan-makanan itu?” tanyaku pada anak semata wayangku itu. Ia tetap melanjutkan apa yang ia lakukan barusan, memindahkan makanan-makanan yang masih utuh ke dalam kertas minyak.
“Oh, ini Bu. Daripada makanan ini dibuang, rencananya mau saya kasihkan ke ibu tua yang tadi siang saya tolong,” jawabnya.
“Iya, tapi ini sudah malam loh? Habis ini kita sudah harus pulang.” Jawabku.
“Tempat tinggal ibu tua itu dekat kok dari sini,” jawab Nur lagi.
“Dekat seberapa, Nur?” tanyaku semakin penasaran
“Iya, Rumah ibu tua itu tepat di sebelah rumah ini, Bu.” Jawab Nur enteng.
“Maksud Kamu, ibu tua itu, Bude Painem?” Mataku melotot.
“Iya, Bu. Bude Painem. Maaf, Nur tadi lupa dengan namanya,” jawab Nur enteng sambil menjinjing makanan itu dan bersiap berangkat menuju rumah Yu Painem.
“Astagfirullah, Nuuuuuuuuurrrrr!!!!”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Zidna Husna
apa yu Darmi di bunuh
2023-01-26
0
Pelangi Biru
semangat terus berkarya kak😎
2022-11-06
0
Umi Tum
kabuuuuur🤣🤣🏃♀️🏃♀️🏃♀️
2022-10-12
1