Tidak ada siapapun di dalam rumah Yu Painem. Aku sudah bersiap akan memeriksa ke dalam rumah untuk memastikan siapa yang aku lihat barusan, tapi aku urungkan karena aku baru menyadari mungkin aku salah lihat akibat fisikku masih kurang fit setelah muntah-muntah tadi.
Akupun berjalan cepat ke rumah Yu Darmi yang hanya terpisah tembok dengan rumah Yu Painem.
"Mas, gimana ini?" tanyaku.
"Apanya yang gimana, Dik? Ngasih pertanyaan kok nggak jelas," protes suamiku.
"Maksud saya, selamatannya Yu Darmi nanti malam gimana?" tanyaku memperjelas pertanyaan sebelumnya.
"Ya tetap dong, Dik. Masak mau dihentikan?" Mas Diki agak cemberut.
"Bukan dihentikan, Mas. Apa tetap dilaksanakan seperti biasa, habis magrib atau gimana? Soalnya kita juga nggak tahu kan, kapan jenazah Yu Painem akan datang dan dimakamkan? " jawabku halus supaya Mas Diki tidak marah.
"Oalah, gini dah Dik. tahlilannya dipindah jam empat sore saja, takutnya kalau malam-malam nggak ada yang datang, mungkin warga sini masih trauma dengan kejadian ini," jawab Mas Diki.
"Iya dah, Mas. Kayaknya lebih baik begitu," aku menjawab.
"Oke, sekarang kita sebaiknya bersiap-siap. Nur Kamu sekolah ya? Mas Diki mau berangkat kerja, atau ke kantor polisi? Aku mau ke pasar, Siti gimana?" ucapku.
"Mbak, boleh aku ikut Mbak Sin ke pasar?" tanya Siti.
"Boleh, tapi mampir ke rumahku dulu, ya? Dompetku ketinggalan di rumah soalnya," jawabku.
"Ya sudah, Mbak. Ayo kita segera berangkat saja," tutur Siti.
"Nur, nanti kalau gurumu tanya kenapa Kamu telat, Kamu bilang ya tentang kejadian tadi!" kataku pada anakku.
"Iya, Bu." Jawab Nur.
"Mas Diki mau berangkat kerja apa mau ngurusi Yu Painem?" tanyaku pada suamiku.
"Kayaknya, saya mau ngurusi Yu Painem saja. Kasian, Dik. Keluarganya sudah nggak ada lagi. Nanti selametannya digabung sama Yu Darmi saja ya?" ucap Mas Diki.
"Iya, Mas sebaiknya begitu," jawabku
Setelah menutup pintu rapat-rapat, kami semuapun berangkat ke tujuan masing-masing.
*
"Mbak Sin, kira-kira tetangga Bu Darmi itu meninggalnya kapan ya, Mbak?" ujar Siti.
"Hm, nggak tau ya Sit," jawabku.
"Kalau dilihat dari kondisi jenazahnya, kayaknya sudah berhari-hari, Mbak" ujar Siti kembali.
"Trus, yang tadi malam pas kita ngobrol berdua di samping rumah, aku kan bilang sama Kamu ngelihat Yu Painem di pojok tembok, siapa kalau bukan Yu Painem?" tanyaku.
"Mungkin itu bukan dia, Mbak" ujar Siti.
"Maksud Kamu?" tanyaku.
"Mungkin hantunya ...," bisik Siti pelan-pelan.
Deg
"Duh, jangan nakut-nakuti saya, dong" ucapku.
"Aku nggak nakut-nakuti, Mbak. Jenazah sudah melembung begitu tentunya sudah lebih dari dua hari, Mbak. Jenazah tidak dikubur berhari-hari pastinya arwahnya kan tidak tenang, kan?" ujar Siti semakin membuat bulu kudukku merinding.
"Aduh, Kamu ini Siti ngomong kayak gitu malah bikin saya ngeri saja, ayo dah buruan dipilih-pilih sayurnya untuk nanti sore!" ucapku.
"Ah, Mbak Sin ini nggak percayaan sich sama aku," jawab Siti.
"Mbak, nggak sekalian belanja kain kafan, dan keperluan jenazah lainnya?" tanya Siti.
"Tunggu dulu, Sit. Apa iya jenazah sudah kayak gitu masih harus dibungkus kain kafan, dan sebagainya?" tanyaku.
"Siapa tahu, Mbak. Oh ya, nanti yang memandikan dan mengkafani jenazahnya berarti keluarganya, ya?" tanya Siti.
"Keluarga yang mana, Sit? Lha wong dia hidup sebatang kara," jawabku.
"Oh begitu? Ya berarti nanti salah satu yang merawat jenazahnya ya Mbak Sinta, dong?" teriak Siti.
"Astagfirullah, enggak lah Sit. Bukan Saya ...," jawabku.
"Lah, kan yang punya hubungan dekat dengan beliau kan Mbak Sin, orang lain nggak ada yang kenal baik? Dan yang meninggal perempuan, berarti yang merawat jenazahnya juga perempuan dong?" terang Siti.
"Enggak, saya pokoknya nggak mau," teriakku.
"Harus mau, Mbak. Ntar Mbak Sin yang masangin kapas dan masang bedak di mukanya" goda Siti.
"Ampuuuuun ... Biar ibu-ibu pimpinan pengajian yang melakukan itu, aku ngeri, Sit" jawabku.
Siti terkekeh kecil.
*
Pukul sebelas siang aku dan Siti sudah sampai di rumah Yu Darmi. Aku perhatikan dari ujung depan gang sampai rumah Yu Darmi, tak satupun ada rumah yang terbuka, kecuali rumah Kyai Sholeh. Kelengangan lorong itu tak ayal membangkitkan rasa takut di dalam dada, terlebih ketika melalui rumah Yu Painem.
"Sit, kita ke rumah Bu Titi dan Bu Mimin, yuk?" ajakku.
"Kenapa, Mbak?" Siti balik bertanya.
"Agak gimana gitu, kalau cuma masak berdua," jawabku.
"Ayuk, dah!" jawab Siti agak males. Entah mengapa setiap mendengar nama Bu Mimin, anak buah Yu Darmi ini jadi sewot.
Kami berduapun naik motor ke rumah Bu Titi. Sama seperti yang lain, rumahnya tutupan.
"Assalamualaikum ..." aku mengucap salam.
"Waalaikumsalam ..." Bu Titi menjawab.
Setelah dipersilakan duduk, akupun menyampaikan permohonan bantuan tenaganya untuk membantu kami memasak di rumah Yu Darmi. Namun, Bu Titi menolak dengan alasan badannya tidak fit. Kamipun pulang dengan agak kecewa, aku yakin Bu Titi sedang baik-baik saja kondisinya. Mungkin ia takut saja dengan kematian Yu Painem yang bersebelahan dengan rumah Yu Darmi.
Kamipun melanjutkan perjalanan ke rumah Bu Mimin. Siti tidak turun dari motor, aku yang masuk ke rumah Bu Mimin.
"Mbak, sampean bisa bantuin memasak hari ini, Mbak? Soalnya selametannya diganti jam empat sore, takut nggak nutut," ucapku.
"Duh, Maaf Mbak Sin. Ini loh, saya lagi bantuin suami, garap orderan pelanggan lagi beli banyak nich. Maaf ya, Mbak?" jawab Bu Mimin.
Lagi-lagi aku pulang dengan rasa kecewa. Akhirnya kami berduapun pulang ke rumah Yu Darmi dan mengerjakan semuanya hanya berdua.
"Bismillah sudah, Mbak. Diniatkan ibadah saja, toh siapa lagi yang mau mengerjakan ini semau kalau bukan kita?" ucap Siti.
Aku trenyuh mendengar ucapan mantan asisten Yu Darmi itu. Kamipun mulai mengerjakan pekerjaan dapur dengan tenaga ekstra.
"Yu Darmi ... Yu Painem ... Jangan mengganggu, ya? Plis, jangan ... saya takut ..."
Selesai sholat dhuhur, kita sudah setengah jalan. Tiba-tiba ...
[Tok tok tok]
Aku membuka pintu samping, ternyata yang datang adalah Bu Titi dan Bu Mimin. Aku menyambut kedatangan mereka dengan senang sekali.
"Wah, makasih ya sudah mau datang membantu, kirain Mbak Titi dan Mbak Mimin nggak bisa. Ayo masuk, Mbak Titi ... Mbak Mimin!" ucapku pada mereka berdua.
Kedua tetangga Yu Darmi itu hanya melongo saja, mungkin mereka merasa tidak enak saja karena tadi sempat menolak permintaanku.
Siang itu, dua tetangga Yu Darmi itu tak banyak bicara seperti biasanya. Mungkin karena mereka kecapekan. Bu Titi aku beri tugas menjaga sayuran, sedangkan Bu Mimin memasak nasi.
"Mbak, jangan diaduk terus ya nasinya, nanti nggak mateng-mateng malahan," tegurku pada Bu Titi yang terus-terusan mengaduk nasi di dalam panci. Bu Titi tidak menyahut tetapi kemudian ia diam saja berdiri mematung di depan panci.
Aku berbisik kepada Siti sambil memunggungi mereka.
"Sit, Kamu nggak ngerasa aneh dengan mereka berdua?" ucapku.
"Iya, Mbak. Mulai tadi Bu Mimin sering ngelamun. Kalau tidak saya sentil, nggak jalan." Siti menjawab.
Saat kami sedang berbisik, tiba-tiba punggung kami ada yang menyentuh. Kami berdua saling bertatapan dengan rasa heran.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Prio Ajik
hantunya bantuin masak..
2023-10-25
0
Om Rudi
hahhhaha hantunya duet tuh
2022-03-29
0
puji indari
sinta nih penakut dikadih tau tapi gak percayaan genes jdnya
2022-03-08
0