"Ya Allah, Yu ... uculen! (Ya Allah, Yu ... Lepas!)" Pekikku sambil menangis di dalam hati karena mulutku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Aku terus menangis sambil memohon kepada Yu Darmi untuk melepaskanku. Aku melakukannya sambil memejamkan mata karena aku takut sekali melihat rupa Yu Darmi seperti itu. Entah berapa lama aku melakukannya, hingga akhirnya aku merasa beban di pundakku menjadi enteng, dan panca inderaku berfungsi dengan normal kembali. Segera kuberlari ke dalam menuju Mbak Mimin dan Mbak Titi yang sedang memindahkan lauk dari wadahnya ke piring-piring 'asahan'.
"Kok lama sekali, Mbak Sin?" tanya Mbak Titi
"Eh anu, Mbak. Skakelnya agak konslet, mungkin sedikit basah terkena air hujan" jawabku berbohong
"Ati-ati, Mbak sama setrum!" ujar perempuan gemuk itu lagi
"Iya, Mbak. Makasih." Jawabku kembali
Di ruang depan, acara tahlilan sudah dimulai, alhamdulillah yang datang sekitar duapuluh orang. Kalau untuk ukuran di desa ini, jumlah segitu memang sangat sedikit. Tetapi tak apalah, yang penting ada yang mendoakan Yu Darmi.
"Sudah 'amin', Mbak. Ayo dikuahi nasinya!" ucap Bu Titi
"Ayo, agak dibanyakin saja sayurnya! Banyak banget soalnya sayurnya" potongku
"Iya, Mbak Sin." Jawab Bu Titi
Piringan nasi mulai dioper secara 'semutan' kepada tetamu yang hadir.
"Garingan satu, Dik!" seru suamiku, tandanya ada satu orang yang tidak bisa mengkonsumsi lauk ayam goreng yang disajikan. Untunglah tadi Bu Mimin sempat membuat telur dadar untuk mempersiapkan, siapa tau ada tamu yang minta 'garingan".
"Ambil piring satu, Mbak! Untuk yang garingan" perintah Bu Mimin kepadaku.
"Siap, Mbak!" jawabku
Akupun berjalan sedikit berlari ke arah rak piring yang berada di samping kamar mandi.
"Astagfirullahaladzim....." pekikku dalam hati. Aku melihat arwah Yu Darmi sedang duduk di kursi plastik di sebelah rak piring. Hampir aku berteriak, tetapi aku pikir-pikir lagi. Kalau aku berteriak maka orang-orang itu akan takut untuk datang lagi ke rumah ini. Dan kasihan Yu Dar, jika tidak ada yang mendoakan. Didoakan saja Yu Dar masih begini, apalagi tidak didoakan?
"Buruan, Mbak Sin!" teriak Bu Titi
"I-iya, Mbak!" jawabku agak gagap. Antara ngeri melihat penampakan di depanku dan keinginan untuk merahasiakannya, campur aduk di kepalaku.
"Yu, Dar, aku mau ambil piring dulu" bisikku halus sambil mengambil sebuah piring dengan tangan kiriku. Sengaja aku mengambil piring yang posisinya paling jauh dari posisi duduknya, takut tangannya yang pucat tiba-tiba memegangi tanganku ketika mengambil.
"Alhamdulillah" pekikku dalam hati ketika berhasil mengambil piring dan menyerahkan ke Bu Mimin. Bu Mimin menatapku seperti mencurigai sesuatu, tapi segera kurilekskan wajahku supaya tidak kentara aku habis bertemu arwah yang hidungnya tersumbat kapas.
Setelah selesai acara, para tetamu pulang. Suamiku membersihkan ruang depan dari sampah rokok dan botol air mineral.
"Mbak Titi, Mbak Mimin, jangan pulang dulu ya?" ujarku
"Ya iyalah, Mbak. Masak kami tega membiarkan Mbak Sinta nyuci piring sendiri. Kami pulang setelah piring-piring bersih." Jawab Bu Titi
"Makasih banyak ya, Mbak atas bantuannya. Kalau nggak ada kalian berdua, aku bisa sawanen sendirian eh maksudku bisa kecapekan memasak sendirian." Ucapku
"Nggak usah dipikir, Mbak. Oh ya, aku nanti bawa sayur dan lauk sedikit boleh, untuk anak-anak di rumah?" ujar Bu Mimin
"Boleh banget, Mbak. Mbak Titi juga harus bawa." Ucapku senang
"Makasih banget, Mbak Sin." Jawab Bu Titi
Karena tidak banyak yang dicuci, sepuluh menit kemudian piring-piring kotor tadi sudah kinclong dan tertata rapi di rak piring. Yu Darmi sudah tidak ada di kursi plastik itu lagi. Semoga doa bapak-bapak malam ini mengantarkannya ke tempat peristirahatan yang tenang.
Bu Mimin dan Bu Titi sudah kebagian masing-masing satu bungkus nasi beserta sayuran dan lauknya. Masih ada satu bungkus lagi,
"Yang itu untuk Yu Painem saja, Mbak Sin." Ucap Bu Mimin
"Ngapain sich tetangga sombong kayak gitu pake dikasih segala?" Potong Bu Titi
"Jangan gitu, Mbak. Kasian orangnya sudah sepuh." Jawabku
"Mbak Sinta nggak nginep sini?" tanya Bu Mimin
"E-enggak, Mbak" jawabku spontan
"Kenapa? takut ya? " ledek Bu Titi
Aku ingin menjawab 'iya', tapi aku tidak mau mereka tahu yang sebenarnya.
"Takut nggak konsisten, Mbak. Soalnya ini malam pertama, kalau nginep malam pertama harus lanjut sampai malam ketujuh. Kalau tidak-"
"Kalau tidak, kenapa Mbak?" tanya Bu Titi
"Kalau tidak, musibahnya ngikut."
"Oalah, kirain kalau nggak lengkap tujuh hari arwah Yu Darmi ngikut sampean terus." Kelakar Bu Titi
"Mbak Titi ada-ada saja." Jawabku. Padahal dalam hati aku meng-iya-kan ucapannya.
Ditemani suami, aku mengantar Bu Titi dan Bu Mimin ke depan pintu samping seraya mengucapkan terima kasih.
Sepulang mereka berdua, aku nggak berani jauh-jauh dari suami. Setelah mengunci pintu dan jendela, kamipun keluar dari rumah Yu Darmi. Sepintas kulihat Yu Darmi sedang berdiri di dekat jendela, sebelum kami meninggalkan rumahnya.
"Mas, mampir rumah Yu Painem dulu! Aku mau ngasihkan ini" ucapku sambil menunjukkan bungkusan nasi kepada suamiku. Lelaki ganteng itu mengangguk perlahan.
Rumah Yu Painem tepat berada di sebelah rumah Yu Darmi. Keduanya hanya dipisahkan oleh dinding saja. Tidak ada pagar di sekelilingnya sehingga untuk bertamu, tinggal mengetok pintu rumahnya langsung. Suamiku menunggu di pinggir jalan, enam meter dari pintu Yu Painem
Tok tok tok
"Assalamualaikum, Yu Paineeeeem." teriakku
Tidak ada jawaban
Tok tok tok
"Assalamualaikum" teriakku lebih keras
Masih tidak ada jawaban
Tok tok
KRIEEEEEEEETTTTTTT
Tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya, mungkin aku mengetok pintu terlalu keras sehingga pintunya terdorong masuk. Bau tidak sedap tiba-tiba tercium, aroma khas rumah yang jarang dibersihkan. Pantas saja Bu Titi jijik sekali dengan Yu Painem.
Di sebelah kiri pintu ada kursi kayu, rencananya aku mau meletakkan bungkusan nasi itu di kursi itu saja, mungkin orangnya sedang sholat. Jadi nanti Yu Painem tinggal mengambilnya nanti setelah sholat.
"Yuuuuu ... " ucapku sambil melangkah masuk, tanganku menjulur mau meletakkan bungkusan nasi di kursi.
Tiba-tiba ..
"Astagfirullah ....." Aku terkejut karena Yu Painem sudah berdiri di balik pintu dengan tatapan matanya yang tajam.
"Eh, Yu... Maaf, kirain nggak ada orang. Aku mau ngasih nasi ini, tolong diterima ya?" Ucapku sambil tersenyum ke arahnya. Bungkusan nasi terlanjur aku taruh di kursi itu.
Yu Painem hanya mengangguk, senyum judesnya nyata tersungging di bibirnya.
"Aku pulang dulu, Yu. Assalamualaikum" Kataku nyelonong pergi.
Tak ada jawaban dari perempuan tua itu. Akupun langsung pulang naik ke motor suamiku. Sebelum kami jauh meninggalkan rumah Yu Painem, sempat kudengar suara pintu dibanting dari dalam. Mungkin perempuan tua sombong itu yang melakukannya. Sabar, Sin ... Sabar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
AGhanteng
Baru dengar kosa kata garingan thor.Maaf itu bahasa dari daerah mana ya thor?
2022-11-06
0
Pelangi Biru
kebersamaan di kampung selalu kompak saling menolong
2022-11-06
0
Thata Chan
ngakak om, gimana expresi nya pas "Y allah, Yu.. uculen" pas muka nya pucat pasi ya om🤣🤣
2022-03-24
2