Kamipun menoleh ternyata yang memegang pundak kami berdua adalah Bu Titi dan Bu Mimin yang berdiri di belakang kami dengan muka pucat.
"Mbak Sin, saya ijin pulang ya, soalnya kepalaku geliyeng, nggak kuat?" ucap Bu Titi.
"Saya juga, Mbak. Badan rasanya remuk semua habis bantu suami. Saya bantuin besok saja ya, kan tujuh harinya?" ucap Bu Mimin.
"Em ... Iya sudah Mbak, tidak apa-apa. Sepertinya kondisi fisik sampean berdua kurang fit hari ini. Lebih baik istirahat saja di rumah, besok kalau sudah sehat, saya tunggu bantuan tenaganya," jawabku.
"Terima kasih banyak ya, Mbak" Mereka menjawab kompak, kemudian secara bersama-sama meninggalkan rumah Yu Darmi.
Beberapa saat setelah kedua tetangga Yu Darmi itu pulang, ponselku berbunyi. Ternyata ada pesan masuk dari Mas Diki.
[Dik, jenazah Yu Painem akan dimakamkan sore ini juga, saya sudah menghubungi Pak RW untuk mengerahkan warga mempersiapkan pemakaman Yu Painem. Kamu siapin masakan untuk warga, ya?]
[Saya hanya nyiapin masakan saja, Mas? Nggak ada lainnya?] Aku membalas.
[Iya itu saja dah, tadi kan rumah Yu Painem sudah dibersihkan?] jawab Mas Diki lagi.
[Iya, Mas. Emangnya nanti mau dimandikan di sini juga?] balasku.
[Sudah disucikan di rumah sakit, Dik. Nggak perlu dimandikan lagi] jawab suamiku.
[Emang di rumah sakit disiram pakai air begitu? Apa nggak takut mengeluoas kulitnya?] tanyaku.
[Ya nggak lah, Dik. Ada bagian yang disiram air, ada yang enggak. Semacam ditayamumin begitu, Dik. Ini sudah dikafani juga, jadi nanti di tinggal disholatkan dan dikuburkan saja]
[Hanya dibalut kain kafan gitu saja, Mas?]
[Enggak lah, Dik. Luarnya dibungkus menggunakan pembungkus mayat. Kalau nggak gitu nggak tahan baunya] jawab Mas Diki.
[Ya sudah, Mas. Aku mau masak lagi ini. Takut nggak cukup]
Sekitar tigapuluh menit kemudian, jenazah Yu Painem benar-benar datang. Benar kata suamiku, meskipun dibungkus kantong mayat, bau jenazah Yu Painem masih sangat kuat menembus hidung. Warga yang mengerubuti ambulans itu menonton jenazah Yu Painem sambil menutup hidungnya. Merekapun saling berbisik-bisik, mungkin membicarakan tentang Yu Painem. Kantong jenazah dikeluarkan dari ambulance, kemudian dengan menggunakan brankar, didorong ke dalam rumah Yu Painem. Sesampai di ruang tamu, jenazah Yu Painem dipindahkan ke dalam keranda yang sudah dipersiapkan warga sebelumnya. Setelah jenazah Yu Painem dipindahkan ke keranda, petugas pembawa ambulance pamit kembali ke rumah sakit. Beberapa wargapun mengucapkan terima kasih, ambulance pun meningggalkan rumah Yu Painem, entah aku salah lihat atau apa. Ketika brankar sudah dimasukkan ke dalam ambulance dan petugas akan menutup pintu belakang, aku melihat di atas brankar itu seperti masih ada jenazah yang sedang berbaring. Dan ketika ambulance meninggalkan rumah Yu Painem, aku seperti melihat seseorang sedang duduk berselonjor di atas brankar itu.
"Ah, mungkin itu hanya bayanganku saja"
Para lelaki banyak yang menghindar untuk ikut mensholatkan jenazah Yu Painem, hanya tersisa tidak sampai sepuluh orang saja. Kyai Sholeh yang menjadi imam. Aku menggandeng Siti untuk kembali ke rumah Yu Darmi karena ingat pesan suamiku untuk menyiapkan makanan untuk warga yang ikut mempersiapkan pemakaman Yu Painem. Mungkin karena tak tega melihat kami hanya berdua saja, ada beberapa tetangga yang membantu kami memasak. Tapi itupun tidak lama, ketika jenazah Yu Painem dipikul ke kuburan, mereka semua pamit alasannya mau ikut ke kuburan. Tinggal aku dan Siti saja yang berada di dapur.
"Sit, ayo kita antar makanan ini ke kuburan. Pastinya yang menggali kuburan sudah sangat lapar," ucapku.
"Iya, Mbak ..." jawab Siti.
Kamipun bersiap-siap membawa sebagian masakan itu ke kuburan. Siti yang membawa nasi dan lauknya, sedangkan aku membawa piring dan sendoknya. Tak lupa kami juga mengamankan sisa masakan yang ada di dapur supaya tidak dimakan kucing atau tikus.
"Sit .... Kamu dengar itu?" tanyaku ketika berjalan menuju pintu keluar.
"Suara deritan itu ya, Mbak?" Siti balik bertanya.
"Iya, Siti. Bukankah rombongan orang-orang yang membawa jenazah Yu Painem sudah tadi lewat di depan?" tanyaku lagi.
"Iya, Mbak. Terus itu suara derit apa, Mbak. Kok suaranya sama dengan suara deritan keranda tadi?" Tanya Siti.
"Ayo sudah, Siti. Kita cepat-cepat saja keluar mengejar rombongan tadi," ucapku.
Kamipun berjalan agak cepat ke arah pintu. Ketika sampai di pintu, kami segera menarik gagang pintu dan segera melangkah keluar, aku berbalik untuk mengunci pintu itu, setelah yakin terkunci dengan rapat, akupun membalikkan badan kembali untuk melanjutkan perjalanan ke kuburan. Sialnya, ketika aku berbalik badan, tiba-tiba di depanku berdiri sesosok tubuh yang tingginya hampir sama denganku, dan itu bukan Siti.
"Duh, Nur ... Kamu mengagetkan Ibu saja," ucapku.
"Eh, maaf Bu. Nur lupa nggak mengucapkan salam terlebih dahulu," jawab anakku itu dengan seragam sekolahnya.
"Nggak usah masuk dulu dah, Nur. Ayo ikut Ibu ke kuburan," ucapku.
"Apa jenazah bude Painem sudah datang, Bu?" tanya anakku.
"Iya, Nur. Baru saja datang langsung dikubur. Ayo dah berangkat," jawabku sambil berjalan menuju kuburan.
"Tapi Bapak kok nggak ikut ke kuburan, Bu?" tanya anakku tiba-tiba.
"Ikutlah Nur, wong bapakmu tadi yang mengawal pengurusan jenazah dibantu Kyai Sholeh. Masak bapakmu nggak ikut ke kuburan," jawabku.
"Iya, Bu. Bapak nggak ikut kok," jawab Nur dwngan bersikukuh.
"Kamu kok tahu, lha wong Kamu baru saja datang?" Aku bertanya untuk menyangkal argumennya.
"Lha iya, wong saya melihat Bapak sedang menyapu di ruang tamu bude Painem barusan," jawab Nur mengagetkanku.
Sejenak aku dan Siti menghentikan langkahku karena terkejut.
"Kamu yakin melihat Bapak di ruang tamu bude Painem?" tanyaku penasaran.
Nur menatap mataku lekat seraya berkata,
"Yakin, Bu. Malah Bapak melambaikan tangan mengajakku menghampirinya, tapi karena Nur sudah melihat Ibu dan Mbak Siti bawa-bawa barang berat, aku menolak panggilan Bapak dan berjalan menuju Ibu dan Mbak Siti," jawab anakku dengan datar.
"Ayo dah kita buruan ke kuburan, mungkin benar kata Nur. Mas Diki sedang bersih-bersih di rumah Yu Painem," ucapku sambil melangkah kembali menuju kuburan yang jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi. Sebenarnya aku masih ragu dengan penjelasan Nur, aku tidak yakin Mas Diki tidka ikut ke kuburan. Aku tidak bilang anakku sedang berbohong, aku tahu dia tidak suka berbohong, tapi aku khawatir yang berada di ruang tamu Yu Painem itu bukan suamiku, tetapi arwah yang menyerupai wajah bapaknya Nur.
Akhirnya kami bertiga sampai di kuburan, rupanya prosesi pemakaman jenazah Yu Painem sudah dimulai. Banyak warga yang hanya menyaksikan pemakaman itu dari kejauhan saja, hanya sedikit yang mendekat. aku sengaja meletakkan makanan itu agak jauh dari liang lahat supaya orang-orang tidak jijik ketika memakannya. Tetapi ternyata bau itu masih menyengat juga. Tapi tak apalah, nanti ketika lubangnya sudah tertutup, pasti baunya akan hilang.
Beberapa menit kemudian pemakamanpun selesai dilaksanakan, para wargapun berbondong-bondong pulang menuju rumahnya masing-masing. Hanya tersisa beberapa orang yang ikut menggali dan menguburkan jenazah Yu Painem saja yang masih belum pulang. Mereka berjalan secara beriringan menuju kami bertiga. Ada seseorang di antara mereka yang menggiring orang-oramg tersebut untuk mendatangi kami.
"Monggo, Pak. Kita makan dulu! Makanannya sudah siap," suara orang itu sambil berjalan mendekati kami. Nur nampak mengucek-ngucek matanya seperti tak percaya dengan apa yang ia lihat, aku menoleh. Ternyata orang yang mengajak yang lain untuk makan barusan adalah Mas Diki. Kakinya penuh lumpur sama seperti yang lainnya, pastinya ia memang ikut menguburkan jenazah Yu Painem, bukan sedang menyapu seperti yamg diceritakan Nur tadi.
"Bu ...," pekik Nur.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Om Rudi
Hantunya sudah memakai lima muka
2022-03-29
1
Moomo Jessicaa Oorlando
bayangin jenazah yu painem jdi mual sendiri
2021-03-09
1
Raini Sapitri
Yg nur lihat di rumah yu painem itu adalah arwah nya yg menyerupai wajah mas diki
2021-02-14
1