Aku berjalan meninggalkan kamar menuju ke dapur. Tidak enak rasanya bagiku jika harus membiarkan ibu-ibu memasak, sedangkan aku sebagai tuan rumahnya malah rebahan.
"Kalau mereka ntar butuh apa-apa bagaimana?" pikirku.
Sesampai di dapur kulihat semua masakan sudah siap untuk disajikan. Bu Mimin sedang menakar nasi ke piring-piring kemudian dijejer di amben. Sedangkan Bu Titi yang menyendoki sambalnya. Mereka berdua menoleh ke arahku,
"Kok sudah bangun, Mbak? Apa sudah enakan?" tanya Bu Mimin.
"Sudah lumayan, Mbak." Jawabku sambil menahan nyeri di kepala.
"Kalau masih geliyeng mending dibawa tiduran saja. Nggak usah khawatir urusan dapur, pasti selesai kok." Jawab Bu Mimin
"Iya, Mbak Sin. Sudah selesai semua kok." Tambah Bu Titi.
"Kalau dibawa tiduran, tambah pusing, Mbak. Enak dibuat gerak saja nanti pasti ilang-ilang sendiri." Jawabku meyakinkan.
Aku mengambil ruang di sebelah mereka berdua, lalu aku mengambil alih menata piring, sehingga Bu Mimin cukup menyentongi nasinya saja.
"Mbak Sin, Yu Painem nggak ada nongol loh mulai tadi pagi. Padahal rumahnya gandeng tembok sama Yu Darmi" lapor Bu Titi.
"Mungkin beliau lagi nggak enak badan, Mbak. Namanya juga sudah agak sepuh" belaku
"Tapi mau bagaimanapun, Mbak. Yang meninggal kan tetangga pas. Harusnya dibetah-betahin lah." Bu Titi ngeyel
"Kalau nanti ambruk di sini, emangnya Mbak Titi mau nolongin?" godaku ke Bu Titi
"OGAAAAH, Mbak. Kalau Yu Darmi sich masih mending meskipun judes, tapi orangnya bersihan. Lah kalau Yu Painem ... JIJAAAAAY! ..., Mbak Sin!" jawab Bu Titi dengan ekspresi lebbaynya.
Aku dan Bu Mimin geli melihat ekspresi Bu Titi. Yu Painem memang terkenal jorok di kalangan warga sini. Saking joroknya, kalau pas ada kendurian di musholla, berkat Yu Painem selalu dihapalkan dan tidak ada warga yang mau menerima berkat dari Yu Painem.
Pas lagi enak-enaknya ngobrol dengan mereka berdua tiba-tiba bau sabun jenazah Yu Darmi kembali menyeruak di hidungku. Aku yang sudah sedikit melupakannya dengan mengobrol bareng Bu Titi dan Bu Mimin kembali teringat bahwa aku masih harus berhadapan dengan hal mistis. Kedua mataku secara otomatis melirik ke kiri dan ke kanan untuk memeriksa di manakah arwah Yu Darmi akan menampakkan diri.
Ketika yang kucari tidak ada di hadapanku. Perasaanku bertambah was-was, jangan-jangan Yu Darmi ada di belakangku. Membayangkan hal tersebut aku menjadi ngeri, tapi bukan Sinta namanya jika tidak memiliki rasa penasaran yang tinggi. Secara perlahan aku memutar kepalaku untuk menoleh ke belakang, sederajat demi sederajat. Aku melakukannya dengan rasa yang campur aduk antara takut dan ingin tahu. Setiap derajat putaran leherku kusapu pemandangan di belakang tubuhku. Sampai kepalaku memutar ke belakang, arwah Yu Darmi tak kunjung terlihat, tapi tiba-tiba ada yang memegang lenganku.
"ASTAGFIRULLAH." Aku terkejut
"Kamu kok muter-muter kepala begitu, kayak orang sawanen saja?" Ucap Bu Mimin
"Eh, anu Bu. Biasa ... peregangan leher, biar nggak kaku" jawabku pura-pura
"Oalah"
Bau sabun Yu Darmi masih begitu tajam menusuk hidungku, tapi anehnya sosok seram itu tidak ada di sekitarku.
"Tidak biasanya seperti ini. Apakah ini pertanda pengaruh teh orang mati itu sudah mulai hilang? Masih belum sehari padahal? Entahlah." batinku
"Alhamdulillah, Mbak Sin. Nasi dan sambalnya sudah siap, lauknya dipasang habis maghrib saja takut dimakan kucing, kalau kuahnya nanti dipasang pas sudah doa saja biar tetap segar." Kata Bu Mimin kemudian
"Aku mau peregangan juga ah, kayak Mbak Sin tadi" kata Bu Titi sambil memutar badannya ke kiri dan ke kanan. Dasar orang aneh, dia melakukannya sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Aku dan Bu Mimin tidak bisa menahan tawa menyaksikan tingkah konyol perempuan itu. Semakin diperhatikan, tingkah Bu Titi semakin menjadi. Masih dengan mulut monyongnya, dia tidak lagi memutar badannya ke kiri dan ke kanan saja seperti seorang pelatih senam, tetapi juga ke atas dan ke bawah.
"WUAAAAAAAAAAAAAAAAA ..." jeritku keras sekali karena sebelum aku menjerit, aku tertawa terbahak-bahak. Otomatis suara jerit yang dihasilkan sekeras suara tawaku.
Kedua wanita di depanku menjadi cemas. Mbak Titi menghentikan aksinya secara mendadak terkejut dengan suara jeritanku yang mendadak.
"Ada apa, Mbak Sin?" tanya Mbak Mimin meraih lenganku.
Bagaimana aku tidak menjerit keras, saat geli-gelinya melihat bahasa tubuh Mbak Titi, tiba-tiba Arwah Yu Darmi muncul di belakang Mbak Titi. Lengkap dengan gulungan kapas di lubang hidungnya. Sedangkan kedua matanya lurus menatap ke arahku.
"Ada apa, Mbak?" tanya Mbak Mimin kembali.
Yu Darmi masih menatap ke arahku dengan tatapan hampanya. Aku berusaha untuk menenangkan diri dengan melihat ke arah yang lain.
"Aku nggak apa-apa, Mbak Min. Tadi cuma mendadak lambungku perih" jawabku pura-pura memegangi perutku.
"Sepertinya kamu memang butuh istirahat, Mbak Sin." ucap Bu Titi.
Arwah Yu Darmi sudah tidak ada lagi di belakangnya, bau sabun jenazah juga sudah tidak tercium lagi.
"Enggak kok, Mbak. Aku tidak apa-apa. Kalau lambungku kumat, memang sakit sekali. Maaf ya, Mbak sudah mengagetkan kalian berdua." Jawabku kembali
Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada mereka berdua, karena kalau mereka sampai tahu yang sebenarnya, tentunya mereka tidak mau membantuku lagi. Bahkan ibu-ibu yang lain yang tadi sudah datang membantu dijamin takkan kembali lagi keesokan harinya. Kasihan Yu Darmi kalau tidak didoakan oleh para tetangga.
"Ojo ngetok-ngetok terus lah, Yu. (Jangan muncul-muncul terus lah, Yu)" pekikku dalam hati
"Mbak Sin, aku pamit mandi dulu ya?" ucap Mbak Titi
"Aku mau pulang bentar juga, Mbak Sin" ujar Mbak Mimin
Aku tidak mungkin menahan mereka di sini, toh pekerjaan dapur juga sudah selesai.
Adzan berkumandang dari musholla. Suamiku bergegas menuju ke arah kamar mandi untuk berwudlu dan berangkat ke musholla. Aku berlari menyusulnya sambil menyambar handuk dan sabun yang kebetulan kubawa dari rumah.
"Loh, Dik. Gantian to. Mas keburu mau sholat jamaah di musholla" protes suamiku
"Enggak, pokoknya Mas harus nungguin aku mandi. Kita sholat jamaah di sini saja" jawabku
"Iya. Tapi kamu di luar dulu, Mas mau berwudlu."
"Engggak. Pokoknya kita sama-sama di dalam."
Aku segera mencopot bajuku dan mandi di depan suamiku.
"Aku tunggu di luar saja ya, Dik."
"Stop! Kalau Mas ke luar, aku juga mau keluar nggak pakai baju"
Suamiku takut dengan ancaman konyolku.
"Pelan-pelan mandinya, Dik. Nanti bajuku basah kena air."
"Ganti, nggak masalah."
"Kamu ini ada-ada saja, Dik. Masak yang meninggal saudara sendiri saja takut."
"Mas ini, jangan ngomong gitu. Aku nggak suka."
Kembali aku mencium bau sabun, untunglah bukan bau sabun Yu Darmi.
Setelah mandi ditemani suamiku, aku tarik suamiku ke kamar Yuli untuk menemaniku berganti baju dan sholat jamaah di sana. Aku sudah ijin ke Yuli untuk menggunakan kamarnya selama di sini.
Sehabis maghrib para tetangga laki-laki yang akan ikut tahlilan mulai berdatangan, aku sengaja tetap berada di depan sambil membersihkan karpet sekalian menghindari berada sendirian di dapur. Ketika Bu Mimin dan Bu Titi datang lewat pintu samping, barulah aku berjalan ke dapur menyusul mereka.
"Lorong tengahnya sudah gelap, Mbak Sin. Lampunya perlu dihidupkan!" kata Bu Titi sambil menaruh lauk di atas piringan nasi.
"Iya, Mbak Sin. Dihidupin lampunya biar kelihatan jembar. Siapa tahu nanti ada tetangga yang mau rewang lewat jalan itu.!" ujar Bu Mimin.
Akupun berjalan menuju saklar yang letaknya di dekat pintu samping.Ternyata benar kata mereka berdua, lorong di samping rumah Yu Darmi terlihat sangat gelap. Pintunya sengaja dibiarkan terbuka sebagai akses ibu-ibu yang akan datang bertamu atau membantu. Ada taman kecil di sana dengan sebuah kursi goyang yang biasa digunakan almarhum menyulam sambil mengisi waktu luang.
Posisi saklar berada di dinding rumah bagian luar, jadi ketika pintu dalam kondisi terbuka, saklar berada di balik pintu. Notabene aku harus keluar dulu dan sedikit menarik pintu yang sedang terbuka sempurna. Aku melakukan itu. Di posisiku yang sekarang, aku tidak bisa melihat kedua perempuan yang sedang menyiapkan makanan di dapur karena terhalang tembok.
CEKLEK
Suasana lorong tengah yang semula gelap gulita, kini menjadi terang benderang. Namun, tubuhku menjadi berat seketika, aroma sabun jenazah kembali menusuk. Ada sesosok tubuh yang tiba-tiba menggelandoti badanku, kedua tangannya mengalungi leherku. Feelingku kuat mengatakan itu adalah arwah Yu Darmi akan tetapi entah mengapa kepalaku secara refleks menoleh ke arah kanan. Benar saja. Wajah pucat Yu Darmi terpampang jelas di mataku, lengkap dengan sumbatan kapas di kedua lubang hidungnya.
Aku berteriak sekuat tenaga, tetapi suaraku mendadak menghilang. Sementara otot-ototku seperti kehilangan tenaga untuk lepas dari gelandotan Yu Darmi.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
HeyHann
ceritanya bagus bgt terasa nyata dan kentel jawanya
2024-12-25
0
Prio Ajik
seremmmmm ... Wedi Ning pingin Moco terus
2023-10-24
0
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
seremm yaa tpi penasarann
2023-02-03
0