Rumahku dan rumah Yu Darmi hanya berjarak 3 gang saja. Namun, kami sengaja menggunakan motor untuk mempermudah membawa barang dari rumah kami ke rumah Yu Darmi dan dari pasar ke rumah Yu Darmi. Kalau dari rumah Yu Darmi ke rumahku, saya sudah mewanti-wanti suami untuk tidak membawa apa-apa. Suamiku memang tidak memiliki masalah dengan makanan orang mati, tapi kalau dibawa ke rumah, aku takut sewaktu-waktu kelupaan dan mengkonsumsinya. Jika itu terjadi, sama saja dengan memperpanjang waktu kontakku dengan makhluk tak kasat mata.
Setelah mencuci wajah, tangan, dan kaki dengan air pet yang sengaja ditaruh di depan rumah, kami berduapun masuk ke rumah dengan mengucap salam terlebih dahulu. Tidak ada jawaban, mungkin anak laki-laki semata wayang kami, Nur sudah terlelap di kamarnya. Setelah pemakaman tadi pagi, badannya agak hangat. Kusuruh ia minum obat dan beristirahat di rumah saja, sementara aku dan suami melayani para tamu di rumah Yu Darmi.
Seharian sibuk di rumah Yu Darmi, aku kepikiran dengan kondisi bujangku itu. Kudorong pintu kamarnya yang tidak dikunci. Di atas kasur, terbujur badan seukuran satu setengah meter lebih sedang terlentang dengan selimut menutup penuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berkali-kali aku menasehatinya untuk tidak menutup area kepala ketika berselimut, tetapi remaja SMP ini selalu saja melakukannya lagi.
"Jangan krukupan kalau tidur, Le! Nanti kamu nggak bisa bernafas."
"Bisa kok, Bu. Kan selimutnya tipis?"
"Iya, tapi bernapasnya tidak lancar. Dalam keadaan tertidur, manusia bisa mati lemas kalau kekurangan oksigen."
"Iya, Bu. Ini saya buka kepalanya."
Selalu seperti, begitu saya ingatkan, baru anak itu mengindahkannya. Akan tetapi besoknya dia kembali melakukannya lagi, tidur sambil kerukupan. Sebenarnya bukan hanya alasan medis mengapa aku melarang anakku ini melakukannya, melihat seonggok tubuh tertidur dalam keadaan krukupan, tak ayal membuat orang yang melihatnya terbayang seonggok jenazah saja. Ngeri.
Dengan memberanikan diri, kusibakkan selimut yang menutupi area kepala anak semata wayangku ini.
"ASTAGFIRULLAH !" pekikku keras.
Bagaimana aku tidak terkejut, saat kusibak selimutnya kulihat seraut wajah berkeringat dengan mata melotot tajam ke arahku.
"Eh, Ibu. Nur sampai kaget"
"Justeru, Kamu yang mengagetkan ibu. Tiba-tiba bangun langsung melotot"
"Maaf ya, Bu. Nur refleks saja tadi."
"Gimana badanmu sekarang, Le?" tanyaku sambil meletakkan punggung tangan di kening Nur. Sudah tidak sehangat tadi pagi.
"Alhamdulillah, sudah tidak pusing lagi habis minum obat dari ibu."
"Alhamdulillah kalau begitu. Ibu bilang apa, Nur. Kalau tidur jangan krukupan! Lihat badanmu sampai berkeringat begini" tegasku
"Iya, Bu" jawab Nur
"Jangan iya iya saja! Ibu sampai capek bolak-balik bilang sama Kamu" tegasku lagi
Nur kemudian terdiam, sepertinya ada yang ingin dia katakan, tetapi ia masih takut dengan kemarahanku. Melihat reaksinya tersebut, aku menjadi kasihan dan merasa menyesal bersuara agak keras kepadanya barusan. Bukankah anakku ini sedang tidak enak badan, sudah seharian kutinggal, malah sekarang dimarahi. Ya, mungkin beginilah rasanya menjadi emak-emak. Semakin banyak marah artinya semakin sayang.
Kubelai rambut anak kesayanganku ini seraya berkata,
"Sudah makan malam, Le?"
"Belum, Bu"
"Ayo bangun, makan dulu. Mau ibu buatkan telur dadar pedas kesukaanmu. Terus minum obatnya lagi!"
"Makasih banyak, Bu"
Malam itu, aku makan malam bersama Nur, sedangkan suamiku tidak ikut makan bareng karena tadi sudah ikut makan di rumah Yu Darmi. Setelah makan malam, kita sholat isya' berjamaah dan berangkat tidur. Tengah malam ada suara langkah kaki dan air dituang dari ceret di meja makan, tapi tidak kupedulikan, mungkin anakku terbangun tengah malam dan kehausan. Aku terlalu capek seharian meladeni tetamu.
- - - -
Pukul sebelas siang, suami mengantarku ke rumah Yu Darmi. Setelah menaruh bahan-bahan masakan di teras Yu Darmi, aku berjalan ke rumah Bu Mimin.
"Mbak Sin, hari ini Yu Titi nggak bisa bantuin sampean" ujar Bu Mimin
"Kenapa dengan Mbak Titi?" tanyaku
"Sakit pinggangnya kumat katanya. Tadi pagi dia bilang kepadaku" jawab Bu Mimin
"Oalah, nanti saya titip uang untuk Mbak Titi, ya? Sekedar untuk pijat"
"Waduh, nggak usah lah, Mbak Sin"
"Nggak apa-apa, Mbak. Saya ikhlas kok"
"Baiklah kalau begitu. Ayo sudah kita ke rumah Yu Dar, takut nggak nutut masak-masaknya!"
Kami berduapun berangkat ke rumah Yu Darmi. Sesampai di sana kulihat suamiku baru selesai bersih-bersih di ruang tamu.
"Assalamualaikum" ucap salam kami berdua
"Waalaikumsalam. Dik, jarik Yu Dar kok masih belum dientas dari jemuran?" ujar suamiku
"Sudah, Mas. Kemarin pas pingsan, saya lihat jarik Yu Darmi sudah ada di atas kasur semua. Ibu-ibu sepertinya yang mengentasnya" jawabku
"Lah, itu buktinya jariknya masih ada di jemuran. Masih basah pula." Tegas suamiku
Aku bergegas ke lompongan menuju tempat jemuran itu berada. Bu Mimin mengikutiku dari arah belakang. Aku terkejut begitu melihat jarik Yu Darmi memang terpampang di sana.
"Ada beneran ternyata, Mbak Sin?" ucap Bu Mimin
"Iya, Mbak. Padahal kemarin sepertinya sudah diringkes semua oleh ibu-ibu"
"Mungkin jarik yang ini memang kelupaan tidak diringkes, Mbak Sin"
Aku tercenung sambil mengingat-ingat apa yang kulihat kemarin sewaktu di kamar Yu Darmi dan sewaktu menghidupkan lampu lompongan tadi malam. Sekeras apapun aku berusaha mengingatnya, hasilnya tetap saja menyimpulkan bahwa keberadaan jarik di jemuran ini merupakan suatu keganjilan.
Kusentuh jarik kesayangan Yu Darmi tersebut. Ternyata benar kata suamiku, masih basah. Seingatku tadi malam tidak hujan. Jika memang benar jarik ini lupa tidak dientas kemarin, harusnya sekarang tidak sebasah ini. Kalau tidak kering, minimal mamel lah. Ah, bisa meledak kepalaku memikirkan hal ini. Kalau saja Bu Mimin mengetahui yang aku pikirkan, pasti ia langsung pamit pulang.
Tiba-tiba tercium bau sabun di hidungku, asalnya dari jarik itu. Mungkin ibu-ibu kemarin mencucinya dengan sabun mandi sisa memandikan jenazah Yu Darmi. Aku bermaksud menggeser jarik tersebut ke tempat yang terkena sinar matahari supaya cepat kering. Tetapi ketika aku menggesernya ke arah samping, sekonyong-konyong sosok Yu Darmi muncul dari balik jarik dengan wajah pucatnya.
"ASTAGGIRULLAH..." pekikku dengan tubuh gemetar
"Kenapa, Mbak Sin?" tanya Bu Mimin cemas.
Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahku yang ketakutan. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku berlari ke arah dapur sambil menarik tangan Bu Mimin. Berkali-kali ditampakkan arwah Yu Darmi, entah mengapa aku belum terbiasa juga.
"Ada apa sich, Mbak Sin?" cecar Bu Mimin
"Ada nyamuk belang-belang tadi, Mbak" jawabku
"Oalah, kirain ada demit, Mbak Sinta sampai gemetar begitu. Ayo dah langsung masak-masak saja!" ujar Bu Mimin
- - - - -
Berdua saja dengan Bu Mimin, aku tidak berani berada jauh-jauh dari tetangga Yu Darmi itu. Bu Mimin juga tidak kuperkenankan pulang sama sekali dengan alasan takut masakannya gosong, dan sebagainya. Padahal yang sebenarnya aku takutkan adalah berada dalam posisi 'face to face' dengan arwah Yu Darmi. Ketika Bu Mimin ke kamar mandi atau sholat, aku buru-buru memanggil suamiku ke dapur. Entah dimintai tolong angkat piring, ambil air, dan sebagainya, yang penting aku ada temannya saja.
Selesai sholat maghrib, suamiku langsung menggelar karpet di ruang depan serta menata air mineral. Mbak Mimin pamit kepadaku untuk menunaikan sholat di kamar Yuli. Aku berencana membantu suamiku di ruang depan, tiba-tiba pintu samping ada yang mengetuk.
"Dok dok dok"
Aku pura-pura tidak mendengarnya.
"Dok dok dok"
Aku tidak bergeming. Suamiku melirikku,
"Dik, ada tamu di belakang. Kamu samperin, nggih!" ucap suamiku
"Barengi, Mas!" jawabku
"Kamu sendiri saja, tamu laki-lakinya sudah mulai datang" Ujar suamiku kembali. Kulihat di pintu depan memang sudah mulai ada tetangga yang datang, suamiku harus menyambut mereka. Mau tidak mau aku harus ke belakang sendiri.
Aku berjalan pelan-pelan menuju pintu samping. Jangan ditanya perasaanku saat itu, yang jelas bulu kudukku meremang, takutnya yang mengetuk pintu adalah arwah Yu Darmi. Kubuka perlahan-lahan pintu kayu itu. Setelah pintu itu terbuka, bau sabun mandi menyergap hidungku seketika. Duh, jangan-jangan ... . Sesosok tubuh berjarik coklat tua sedang berdiri di hadapanku. Aku baru tahu ternyata yang datang adalah Yu Painem, tetangga dempet tembok Yu Darmi. Syukurlah, akhirnya perempuan seusia Yu Darmi itu mau nelayat juga.
"Yu, Painem? Monggo masuk" ucapku dengan tersenyum
Yu Painem hanya menggeleng sambil menyodorkan kresek hitam dengan tangan kanannya. Kuterima pemberian itu dengan senang hati, meskipun wajah Yu Painem datar saja nyaris tanpa ekspresi.
"Waduh, kok repot-repot sich, Yu. Ayo masuk, saya buatin teh!" rayuku lagi.
Yu Painem tetap tidak bergeming, ia berbalik badan dan melangkah meninggalkan aku yang melongo di pintu. Aku baru sadar, lampu lompongan belum aku hidupkan. Sambil mengamati Yu Painem yang berjalan menjauhiku, aku tekan saklar lampu di balik pintu.
"Blep"
Sosok Yu Painem tiba-tiba menghilang dari pandanganku bersamaan dengan menyalanya lampu lompongan. Kukucek netraku karena ragu, tapi sosok Yu Painem memang benar-benar sudah menghilang.
"Ah, paling-paling tadi ia sudah berbelok di ujung sana, tapi luput dari pandanganku." pikirku
Aku menoleh ke arah jemuran, jarik Yu Darmi sudah tidak ada di sana, mungkin sudah dilipat oleh suamiku tadi. Tiba-tiba ada yang berdiri di belakangku, napasnya terasa di tengkukku, aku menoleh
"Ada siapa, Mbak Sin?" tanya seseorang yang berdiri di belakangku
"Barusan Yu Painem datang ke sini" jawabku sambil menunjukkan kresek hitam yang kupegang kepada Bu Mimin
"Oh, syukurlah, akhirnya dia mau datang" jawab Bu Mimin.
"Ayo nata-nata lauknya lagi, Mbak!" ajakku
"Siap, Mbak Sin"
Aku melangkah ke dapur bersama Bu Mimin sambil menaruh kresek hitam dari Yu Painem di atas amben.
- - - - -
Keesokan harinya, Bu Titi sudah bisa membantuku lagi. Dia sudah standby di depan rumah Yu Darmi saat aku datang ke sana. Semua bahan dijinjing oleh Bu Titi ke dapur. Kali ini bahannya lebih banyak karena harus membuat kue macam tiga sesuai adat yang berlaku di desa ini.
"Sudah sembuh punggungnya, Mbak?" tanyaku kepada Bu Titi yang berani menjinjing bahan masakan yang cukup berat.
"Alhamdulillah, Mbak. Makasih banyak ya, Mbak Sin sudah ngasih uang kepada saya buat pijat"
"Sama-sama, Mbak. Saya yang makasih banyak sama Sampean"
Aku masih sibuk menurunkan bahan dari motor suamiku, tiba-tiba Bu Titi agak berteriak dari arah dapur.
"Mbak, itu apa di kresek hitam. Kok baunya tidak enak?" ucap Bu Titi sambil menutup hidungnya
"Kresek hitam?"
Aku teringat dengan kresek hitam pemberian Yu Painem tadi malam. Apakah kresek itu yang dimaksud Bu Titi? Ada apa di dalamnya, kok sampai Bu Titi menutup hidungnya saking baunya?
-bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
AGhanteng
Kalau tidur krukupan aku suka gitu pas lg demam didlm selimut.
Jgnkan nur, saya aja sering ditegur suami jgn tidur krukupan tkt keabisan oksigen. Padahal krn lg kedinginan sm udara jd hangat pake selimut.
2022-11-06
1
Pelangi Biru
ngulang lg like dan komen nya , tetep semangat berkarya ya kak
2022-11-06
0
Rafa Aqif
hiiii.... apppaaaaannn tuuuu
2021-12-17
1