Ketika telapak tangan Yu Darmi menyentuh kulitku, dingin sekali yang kurasakan, seolah-olah tanganku tersentuh oleh es batu. Akan tetapi rasa dingin yang teramat sangat tersebut, tidak mampu mengalihkan ataupun mengurangi kengerian di otakku akan tampilan visual arwah yang hanya berjarak beberapa senti meter di bawahku. Ada rasa lain yang tiba-tiba hinggap, kali ini bukan di indera peraba ataupun di otak, melainkan di hatiku. Perlahan namun pasti hatiku seakan merasakan kegetiran, ketidakpuasan, dan kekecewaan. Iya, hatiku tiba-tiba merasakan apa yang dirasakan oleh Yu Darmi atas kematiannya. Rasa tersebut hadir hanya sejenak di hatiku, selanjutnya kalah dengan ketakutan di otakku. Terlebih, kali ini Yu Darmi membuka mulutnya lebar-lebar dan matanya kian melotot saja, wajah itu kian mendekat ke mataku. Sontak aku meronta sekuat tenaga,
"TIDAAAAAAAAAAAAAAAAK" teriakku
Kutarik tubuhku dengan keras menjauhi sosok menyeramkan tersebut. Tubuhku terguling ke lantai di bawah tempat tidur, sakit, aku menahannya dan berusaha bangkit kembali. Yu Darmi sudah dalam posisi duduk menghadapku dengan kapas menutupi kedua lubang hidungnya. Sepertinya Yu Darmi masih ingin mendekapku kembali, tetapi aku tidak mau. Aku berlari ke arah pintu dan
[BREEEEEEEG]
Aku menabrak tubuh seseorang
"Ada apa, Dik? Kok sampek ngos-ngosan begini?" tanya orang itu yang ternyata adalah suamiku sendiri.
"Eh, i-itu, Mas" jawabku sambil menunjuk ke belakang, ke arah Yu Darmi. Aku membenamkan wajahku di pundak suamiku.
"Tidak ada apa-apa di situ, Dik" jawab suamiku lembut.
Aku menoleh, "SIALAN! Ternyata Yu Darmi sudah tidak di situ lagi" umpatku pada diri sendiri
"Tadi beneran di situ ada-"
"KECOA?" potong suamiku dengan wajah polosnya. Aku sudah bersiap memberikan jawaban yang sejujurnya akan tetapi demi menjaga perasaan suamiku tersebut, terpaksa akupun berbohong,
"I-iya, Mas" jawabku pelan
"Sini, biar mas cari kecoaknya" Suamiku langsung beranjak menuju kasur, membolak balik bantal dan mengangkat pinggiran kasur. Aku yang melihatnya menjadi iba sendiri, Mas Diki memang tipe suami yang melindungi. Itulah mengapa aku sangat hormat kepada bapaknya Nur tersebut. Selain sabar, jiwa pengayomnya itulah yang membuatku luluh dan mau menerima lamarannya, menyingkirkan beberapa pesaing-pesaingnya. Secara, aku kan kembang desa yang banyak diincar kaum adam saat itu. Berbeda dengan Mas Diki, sebagai kakak sepupunya, Yu Darmi justeru dikenal judes oleh warga sekitar. Stigma tersebut membuatku harus berhati-hati ketika berinteraksi dengan beliau. Meskipun menurutku Yu Darmi tidak judes-judes amat, akan tetapi penilaian masyarakat tersebut tak ayal berpengaruh pada caraku bersikap terhadap almarhumah.
"Yu Dar tidak judes kok, Dik. Dia hanya agak disiplin dan tegas, mungkin orang-orang saja yang tidak paham karakternya. Maklum, sebelum tinggal di sini, Yu Dar, kan ikut suaminya tinggal di kompleks perumahan tentara, menempati rumah adik iparnya yang tidak ditempati" bela Mas Diki waktu kutanya perihal watak Yu Darmi saat berselisih paham dengan Wak Giman beberapa waktu yang lalu.
👮👮👮
Aku menata makanan di piring ditemani oleh Nur di dapur. Anak lelakiku itu kusuruh menyapu dan membersihkan seluruh ruangan dapur. Iapun mengerjakan tugasnya tanpa protes.
"Bu, gerendel jendela ini kok rusak ya? Bisa menutup, tetapi tidak terkunci. Seseorang bisa saja masuk melalui jendela ini" teriak anakku ketika membersihkan bagian jendela yang ada di dapur bagian samping. Aku mendatangi anakku untuk melihatnya, ia mendorong jendela itu ke luar untuk memastikan bahwa gerendel jendelanya benar-benar rusak.
"Wah, rusak beneran ya, Nur?" tanyaku
"Kalau ada pencuri masuk, bisa habis perabotan di dalam rumah ini, Bu" ujar Nur
"Kita kunci paten jendela ini dengan paku untuk sementara, nanti biar bapakmu membeli grendel di toko" ucapku
Sementara Nur mencari paku, aku mengamati jendela tersebut dengan teliti.
"YA TUHAN!!!" pekikku. Aku melihat ada paku kecil tertancap di bagian tengah jendela, dan ada robekan kain seukuran setengah sentimeter persegi tersangkut di sana. Posisi jendela tidak memungkinkan bagi orang untuk tersangkut di sana, kecuali orang tersebut sengaja melangkahi jendela tersebut. Kuperhatikan robekan kain tersebut dalam-dalam, sebuah kain batik bermotif khas kota ini. Aku pikir-pikir, jarang sekali orang menggunakan kain batik motif ini, tetapi entah mengapa aku seperti pernah melihat sebelumnya. Namun, dimana ya?
Nur memaku jendela itu dari dalam, robekan kain itu sengaja kubiarkan di sana. Nur pun kuwanti-wanti untuk tidak banyak bersentuhan dengan jendela tersebut saat memakunya.
Acara malam ini berjalan dengan khidmat. Syukurlah tamu yang datang agak lebih banyak daripada hari-hari sebelumnya. Yang bikin aku lebih senang adalah, Yu Darmi tidak nongol malam itu. Selesai acara, aku membawa dua bungkus makanan, rencananya mau kuantar ke rumah Bu Titi dan Bu Mimin. Aku dibonceng suami, sedangkan Nur bawa sepeda sendiri. Belum sampai di rumah Bu Titi, aku melihat Bu Titi sedang berjalan kaki menggunakan kerudung putih. Akupun menepuk pundak suamiku sebagai tanda untuk minta berhenti. Setelah sepeda berhenti, akupun melompat turun dan berlari ke seberang jalan tempat Bu Titi berada.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam. Eh, Mbak Shinta. Ada apa, Mbak?"
"Ini, Mbak Titi. Saya mau mengantar makanan ke rumah Sampean, tapi berhubung ketemu Sampean di sini, ya sudah saya berikan makanannya di sini saja" jawabku sambil menyodorkan kresek hitam berisi nasi bungkus.
"Wah, repot-repot aja, Mbak?" ucapnya sambil memindahkan dompet dari tangan kanan ke tangan kiri, tangan kanannya terjulur menerima kresek hitam dariku. Aku terkesiap melihat dompet yang dibawa Bu Titi. Motif dompetnya sama persis dengan milikku yang kembaran dengan Yu Darmi. Aku membelinya di Jogja waktu rekreasi bersama keluarga besar.
"Dompet Mbak Titi bagus sekali ya?" ucapku tak bisa ditahan
"Waduh, Mbak Shinta ini bikin malu saya saja. Saya belinya murah kok, Mbak dari seorang teman" jawab Bu Titi enteng.
"Murah? Setahuku itu harganya lumayanlah sekitar lima ratus ribu, dompet itu terbuat dari kulit asli. Itupun harga beberapa tahun yang lalu. Mengapa Bu Titi bilang murah? Padahal secara kehidupan ekonomi, Bu Titi juga masih biasa saja. Atau jangan-jangan ... " Aku bertanya-tanya dalam hati
"Boleh saya lihat sebentar dompetnya, Mbak?" tanyaku
"Waduh, Mbak Shinta ini ada-ada saja. Tapi isinya nggak ada loh, dompetnya buat gaya-gayaan saja" jawab Bu Titi sambil memberikan dompet yang ia pegang. Tangannya sedikit gemetar ketika menyodorkannya. Aku memeriksa luar dan dalam dompet tersebut. Fix, produk asli, sama dengan yang aku miliki di rumah.
"Bagus banget ya, Mbak dompetnya? Beli ke siapa?" tanyaku pura-pura
"Ada dech, Mbak. Sudah ya, saya keburu mau pulang. Mau nonton drama di tivi ikan terbang" ujarnya buru-buru
"Wah, Sampean juga suka nonton di tivi ikan terbang? Kalau saya suka yang adzab-adzab itu, Mbak. Kemarin ada drama bagus yang menceritakan pencuri yang diadzab tangannya putus kelindes truk. Apa Sampean juga menontonnya?" ucapku sengaja berpura-pura
"Yang mana, Mbak? Kemarin kayaknya bukan itu ceritanya?" jawab Bu Titi serius
"Kemarinnya lagi, Mbak" jawabku membela diri
"Oalah, kalau kemarin lusa sich saya tidak liat, masih sakit itu. Ya sudah, Mbak. Makasih makanannya ya, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Aku menatap kepergian Bu Titi dengan rasa penasaran.
💡💡💡
Setelah bertemu Bu Titi, kami bertigapun menuju ke rumah Bu Mimin. Syukurlah ruang tamunya masih terang, artinya orangnya belum tidur.
"Assalamualaikum" Aku mengucap salam
"Waalaikumsalam" jawab beberapa orang dari dalam rumah
"Eh, Mbak Shinta, Mas Diki, Nur. Ayo masuk!" ucap suami Bu Mimin yang juga sama-sama berjualan di pasar dengan Yu Darmi.
"Makasih, Mas Sukirno. Kami cuma mau mengantar makanan ke sini" jawabku
"Kalau nggak masuk, makanannya nggak mau diterima" jawab Bu Mimin sambil bercanda. Akhirnya kami bertigapun masuk ke dalam rumah.
"Bagaimana kabarnya, Mas Sukirno? Pasar rame?" tanya Mas Diki
"Alhamdulillah, Mas. Lumayanlah daripada nggak ada penghasilan, dijalani saja" jawab suami Bu Mimin itu
"Stand Yu Darmi sudah ada yang nempati, Mas?" tanya suamiku kembali
"Nah itu dia, Mas Diki. Sebelum Yu Darmi meninggal, beliau sempat bilang kepada suamiku untuk menempati standnya di pasar" ujar Bu Mimin
"Yu Darmi bilang begitu ke Sampean, Mbak?" tanya suamiku
"Eh, iya Mas. Tapi suamiku yang mau ngomong ke Sampean nggak enak, tapi sekarang kebetulan Sampean nanya, ya terpaksa kami katakan." Jawab Bu Mimin
"Tapi semua kembali kepada Kamu, Mas Diki. Kalau tidak mengijinkan ya tidak apa-apa. Kalau mengijinkan, ya Saya tidak akan menutup mata untuk memberikan dana pengganti, hitung-hitung untuk membantu biaya pendidikan kedua anak almarhumah" ucap Mas Sukirno kalem.
Suamiku terdiam.
"Saya tidak heran, mengapa Yu Darmi mau memberikan standnya kepada saya. Selama kami berjualan bareng di pasar, satu pasar nggak ada yang akur sama mbakyumu, hanya saya yang dekat dengan beliau. Semoga almarhumah diberikan tempat terbaik di sisi-Nya." sambung Mas Sukirno
"Aamiiiiin ... " jawab kami semuanya
Setelah terlibat perbincangan yang hangat, kamipun pamit undur diri.
🐥🐥🐥
Perjalanan pulang ke rumah, di atas sepeda motor
"Mas Sukirno dan Bu Mimin sekarang sukses ya, Mas?" ucapku
"Iya, Dik. Rumah dan perabotnya sekarang bagus" jawab suamiku
"STOP dulu, Mas" ucapku sambil menepuk bahunya keras-keras
"Ada apa, Dik?" tanya suamiku sambil menghentikan laju sepeda motor
"Ada Yu Painem,Mas. Saya mau ngobrol dengannya sebentar" ucapku sambil turun dari boncengan. Aku menoleh ke belakang, tidak ada Yu Painem.
"Loh, kok Yu Painem menghilang?" ucapku keheranan
"Mas nggak ngelihat Yu Painem, kok" jawab suamiku
"Beneran, Mas. Tadi kita salipan. Dia jalan kaki di sebelah situ, tapi kok hilang sekarang ya?" ucapku masih penasaran
"Ayo sudah kita pulang saja! Nggak enak berhenti di dekat kuburan begini" ucap suamiku
Akupun mengikuti anjuran suami untuk pulang saja, tapi aku masih penasaran kemana perginya Yu Painem tadi?
Sesampai di rumah, seperti biasa kami bertiga sholat isya dan makan malam bersama. Setelah itu lanjut istirahat. Aku jadi teringat dengan kebohonganku tadi pada Bu Titi, aku bilang suka nonton drama tivi ikan terbang. Padahal kenyataannya aku tidak begitu suka nonton televisi. Mending baca buku atau majalah.
💌💌💌
Tengah malam aku terbangun karena kehausan, aku keluar kamar untuk mengambil air di meja makan. Sengaja aku ganjal pintu kamar dengan sandal supaya tetap terbuka, takut sewaktu-waktu Yu Darmi muncul lagi. Kutuang air minum ke dalam gelas yang bertuliskan 'MAMA', kemudian kureguk airnya. "Alhamdulillah ... segarnya." Ketika kuletakkan gelas di atas meja, tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu ...
"Shiiiin ... " suara perempuan dari arah pintu.
Aku terkejut, siapa malam-malam begini memanggilku? Aku teringat dengan cerita Nur kemarin malam. Apakah suara ini yang ditakutkan oleh anakku itu?
"Nduuuk ... " Terdengar suara itu kembali dari balik pintu depan, agak mendesah. Dalam keadaan takut dan penasaran, aku melangkah perlahan menuju ke sumber suara.
"Shiiiiin ... " suara itu semakin keras terdengar dari balik pintu. Bulu kudukku tiba-tiba merinding, kutajamkan pendengaranku untuk mengenali siapa pemilik suara itu. Keringat dingin membasahi punggung, tetapi rasa penasaranku teramat kuat. Aku pikir, ini rumahku. Aku tidak boleh takut di rumahku sendiri. Toh, dalam kondisi bahaya, aku bisa berteriak. Ada suamiku yang akan datang menolong.
"Nduuuuk ... " suara itu terdengar lebih jelas dari balik pintu, aku singkap gorden sedikit untuk mengintip ke luar. Aneh ... tidak ada orang di depan rumah. Pintu pagar juga masih terkunci. Akupun kembali menutup gorden. Tiba-tiba ...
"Buka pintunya, Nduk!" ucap suara dari balik pintu yang terdengar jelas sekali. Aku tiba-tiba teringat sesuatu ...
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Zidna Husna
apakah para tetangga yu Darmi mengambil barang "";yu Darmi tanpa ijin???saat beliau sedang sakit
2023-01-26
0
Zidna Husna
ibu painem
2023-01-26
0
rajes salam lubis
kereennnn
2022-05-09
0