Nur menghentikan langkah dan membalikkan badannya.
"Kenapa, Bu? Nur cuma sebentar, kok." Anakku berkata.
"Kamu balik dulu, Nur. Jangan ke sana sekarang!" cetusku.
"Kasihan bude Painem, Bu." Ia menjawab.
Aku hampir kehabisan alasan untuk melarangnya lagi. Alasan sesungguhnya adalah aku mulai mencurigai gelagat aneh perempuan tua itu belakangan ini. Namun, sebagai orang tua yang baik, tentunya aku tidak boleh mengajarinya berprasangka buruk terhadap orang lain.
"Bukankah Kamu sendiri yang bilang bahwa tadi siang Kamu sudah memberinya makan?" ucapku kubuat setenang mungkin agar ia tak curiga.
"Iya benar. Tapi bude Painem belum makan malam, Bu?" protes remaja ini.
"Iya, ibu tahu, tapi dalam kondisi kurang sehat seperti itu, selain makanan ia juga butuh istirahat. Dengan kehadiranmu malam ini ke sana, itu akan mengganggu istirahatnya. Akan lebih baik, jika besok saja kita berdua ke sana membawa makanan. Toh, makanan-makanan ini tidak akan basi bisa jika kita simoan dengan baik," terangku.
"Baiklah, Bu" jawab Nur enteng seraya meletakkan bungkusan yang ia bawa. Aku bersyukur akhirnya ia menuruti nasehatku.
"Sana panggil bapakmu! kita mau persiapan pulang. Ibu mau menyimpan makanan-makanan ini," ucapku.
Anak semata wayangku bergegas menuju bapaknya di ruang tamu. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan wajah cemas.
"Kenapa, Le?" tanyaku.
"Eh-Anu, Bu. Kaki bapak ...," jawab anakku terbata-bata. Tidak menunggu ia selesai menjawab, akupun segera berjalan menuju ruang tamu, sesampai di sana kulihat Mas Diki sedang duduk berselonjor di lantai sambil merintih.
"Kenapa kakimu, Mas?" tanyaku sambil mengambil tempat di depan suamiku.
"Kakiku tiba-tiba kram, Dik. Mulai tadi nggak ilang-ilang kramnya," jawabnya.
"Apa sebaiknya dibawa ke dokter saja, Mas? takutnya luka yang tadi menimbulkan infeksi," ucapku cemas.
"Tidak kok, Dik. Kalau infeksi, saya pasti demam atau merasa sangat nyeri di bagian yang luka," terang suamiku.
"Nah, yang Mas Diki rasakan gimana emangnya?" tanyaku kembali meyakinkan.
"Lukanya tidak apa-apa, mungkin kramnya ini karena saya berjalan sambil berjinjit mulai sore tadi," jawabnya enteng.
"Terus gimana, Mas?" tanyaku kembali.
"Kayaknya untuk malam ini, saya belum bisa naik motor dulu. Mau bangun saja masih terasa kram. Bagaimana kalau untuk malam ini kita nginep di sini dulu, saya tidur di ruang tamu ini saja." Mas Diki berkata dengan tanpa beban.
"Apa Mas, nginep?" Aku terbelalak.
"Iya ... nginep semalam saja, besok pagi kita pulang," tambahnya.
"Tapi, Mas?" protesku.
"Tapi kenapa, Dik. Masak Kamu tega melihat suamimu ini harus menahan sakit sambil naik motor?" Ia berkata sambil menatapku tajam.
"Hm ... baiklah, Mas. Kita menginap di sini malam ini." Aku tidak bisa menolak permintaan Mas Diki. Aku tidak tega melihatnya harus menahan kram di kakinya sambil berkendara. Tapi di satu sisi, aku merasa arwah Yu Darmi seperti sedang tertawa mendengar keputusanku.
*
Siti tidur di kamar belakang Yuli, Nur tidur di kamar Fery, sedangkan aku menemani Mas Diki tidur di ruang tamu. Aku pikir dengan tidur di sebelah Mas Diki, aku bisa membantu suamiku jika ia membutuhkan bantuanku, ternyata aku salah. Saat aku memijat-mijat kakinya yang kram, Mas Diki tertidur dengan nyenyaknya, notabene aku harus terjaga sendirian di ruang tamu Yu Darmi.
Menyadari kesendirianku, buru-buru aku berbaring di sebelah Mas Diki. Ku tutup mataku dengan tujuan supaya bisa segera terlelap menyusul suamiku. Akan tetapi sulit bagiku untuk segera tenggelam ke alam mimpi, karena rasa kecemasan sesekali menyeruak ke dalam pikiran, menggangu konsentrasiku. Pada saat rasa cemas itu memuncak, akupun membuka mata dan mengedar pandangan ke sekeliling ruang tamu. Setelah aku yakin tidak ada apa-apa, barulah aku mulai berusaha berkonsentrasi untuk tertidur. Namun, hal itu terjadi secara berulang-ulang, rasa cemas itu tak jua mau pergi dari pikiranku.
Kulirik ke samping, ke arah wajah Mas Diki. Ia tidur mengorok keras sekali, senang sekali akhirnya ia tidak terlihat merintih kesakitan lagi. Namun, di satu sisi dengan suara dengkuran suamiku tersebut turut menyulitkanku untuk segera hanyut ke alam mimpi. Biasanya kalau di rumah, aku yang selalu tidur duluan baru disusul Mas Diki. Jadi aku tidak pernah terganggu dengan suara dengkurannya.
Kembali aku berusaha berkonsentrasi untuk tidur, kali ini aku sudah bertekad untuk tidak membuka mataku lagi meskipun rasa cemas itu kembali memuncak. Namun, baru saja aku menahan rasa cemas itu, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka.
Krieeeet ...
Aku yakin suara pintu itu tidak berasal dari pintu depan atau pintu belakang. Suaranya sepertinya berasal dari pintu sebelah ruang tamu, yaitu pintu kamar Yu Darmi.
"Tidak mungkin! Pintu kamar Yu Darmi selalu dikunci rapat. Mana mungkin bisa terbuka dengan sendirinya," pikirku dalam hati. Segala hal negatif berkecamuk di dalam pikiranku. Terlebih setelah suara pintu terbuka, kali ini aku mendengar suara derap langkah kaki yang mula-mula pelan, kemudian semakin keras seolah sedang mendekat ke tempatku berbaring. Jantungku berdegup dengan kencangnya pertanda rasa kecemasan semakin kuat kurasakan. Tetapi aku sudah bertekad pada diriku sendiri untuk tidak membuka mataku sampai aku terlelap.
Tekad tinggallah tekad saja, apalagi ketika suara derap langkah kaki yang terdengar sangat dekat itu tiba-tiba berhenti. Aku merasa seseorang sedang memandangiku dari jarak yang tidak begitu jauh dari tempatku berbaring. Awalnya aku tetap bersikukuh untuk terpejam, akan tetapi tidak mungkin juga aku tetap terpejam seterusnya, ketika aku merasa pemilik suara kaki tadi tahu kalau aku sedang terbangun meskipun mataku terpejam. Sambil memicingkan mata, aku meraih lengan suamiku untuk mencari perlindungan. Secara perlahan mataku terbuka, sehingga pemandangan di depanku terlihat sedikit demi sedikit. Bersamaan dengan membukanya mataku, hidungku pun secara perlahan menangkap aroma sabun yang beberapa hari ini mengganggu pikiranku.
"Y-yu D-darmi!!!" pekikku ketika mataku sudah terbuka dengan sempurna. Perkiraanku ternyata salah, Yu Darmi tidak sedang berdiri beberapa meter di depanku, melainkan ia sedang duduk tepat di sampingku, masih dengan kedua lubang hidungnya yang tertutup kapas berwarna putih. Kutarik lengan suamiku sekuat tenaga untuk membangunkannya agar segera menolongku, akan tetapi lengan suami yang semula kupegang tiba-tiba menjadi dingin sekali, sedingin es batu. Dan bukannya lengan itu yang tertarik ke arahku, melainkan lengan dingin itulah yang sekarang sedang menarikku untuk bangkit. Aku semakin terperangah karena lengan yang sedang kupegang sekarang bukan lagi lengan Mas Diki, melainkan lengan Yu Darmi.
"Tidaaaaak!!!" Aku berteriak sekuat tenaga ketika Yu Darmi menarikku, aku berontak namun pegangannya sangat kuat sekali. Sehingga aku hanya bisa pasrah ketika Yu Darmi membawaku, aku sempat menoleh ke belakang dan berteriak meminta pertolongan suamiku, tapi sepertinya lelaki itu tidak mendengar teriakanku sama sekali, ia masih tertidur dengan lelapnya.
Bersambung
NB : Terima kasih sudah mengikuti kisah MARANTI sampai di sini. Jangan lupa krisan dan vote-nya ya? supaya saya lebih bersemangat lagi untuk melanjutkan cerita ini.
Untuk mendapatkan update terbaru kisah MARANTI ini, silakan klik 'favoritkan' ! Jadi Readera akan mendapatkan notifikasi setiap ada update.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Prio Ajik
aduh aduh deg deg ples.. protol jantungku Thor
2023-10-24
0
Zidna Husna
kalo malam baca cerita ini dipastikan gk akan bisa tidur..
2023-01-26
0
NiedaSofian
Ku baca sambil ku ttp dikit mataku,sesekali ku acak2kan rambutku sendiri.. tak karuan membacanya.. tp mau tau kelanjutannya..😫
2023-01-17
0