Suara itu mirip sekali dengan suara Yu Painem, tetapi sedikit lebih berat.
Aku berniat membuka tirai gorden itu kembali untuk memastikan apakah benar ada
seseorang sedang berada di luar rumah. Tiba-tiba ...
MAOOOOOOOOOOOOOOOOOWWW.
Terdengar suara kucing menerkam sesuatu di balik pintu, kusibakkan tirai
sedikit untuk mengintipnya. Benar saja, kucing yang kuambil dari pasar tadi
pagi sedang merangkak di balik pintu, ekspresinya seperti habis menyerang
sesuatu. Kuedarkan pandangan sekeliling, tidak ada siapa-siapa di luar.
Jangan-jangan yang memanggil-manggil namaku tadi bukan manusia, tetapi demit.
Dan kucing itu baru saja menyerang demit itu dengan nalurinya sebagai penjaga
rumah ini, menggantikan tugas si manis. Membayangkan hal tersebut, aku merasa
ngeri sendiri.
Sebelum terjadi sesuatu yang lebih buruk menimpaku, aku memutuskan untuk
kembali ke kamar melanjutkan tidur malamku. Baru saja aku membalikkan badan,
pemandangan menyeramkan secara tiba-tiba muncul di hadapanku. Yu Darmi sedang
duduk berselonjor di salah satu kursi ruang tamu, dalam keadaan ruang tamu yang
temaram karena cahaya hanya bersumber dari ruang makan, wajah pucat itu
terlihat lebih mengerikan. Secara refleks akupun berlari menuju kamar. Entah
mengapa, meskipun aku sudah berusaha berlari secepat kilat, tapi rasanya butuh
waktu yang sangat lama untuk sampai di kamar.
Kubanting pintu kamar untuk mencegah Yu Darmi masuk ke kamar. Akupun
langsung naik ke atas kasur, melangkahi Mas Diki, dan kerukupan dalam satu
selimut dengan suamiku tersebut. Di dalam selimut, wajahku berhadapan dengan
Mas Diki. Napasku ngos-ngosan menerpa wajah suamiku, sepertinya ia terkejut
dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Terbukti dengan matanya yang tiba-tiba
terbelalak.
“TIDAAAAAKK!!!” Aku berteriak dengan keras. Ternyata sosok yang sedang terbaring
satu selimut denganku bukanlah Mas Diki, melainkan Yu Darmi. Aku langsung
bangkit dari tidurku karena ketakutan.
“Ada apa, Dik?” suara Mas Diki yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“I-i-itu Mas. A-a-ada h-h-hantu,” jawabku terbata-bata sambil menunjuk ke
tempat Yu Darmi berbaring. Aku tersudut di pojok kasur.
Mas Diki berjalan mendekatiku dan menyingkap selimut yang menutupi tubuh Yu
Darmi. Aku terkesiap.
“Ini hantunya?”-ucap suamiku sambil mengangkat benda di balik selimut dan
menunjukkannya tepat di depan netraku-“ini guling, Dik. Bukan hantu.”
Aku terheran-heran, mengapa dalam waktu sekejap, sosok menyeramkan itu
berubah menjadi guling.
“Tapi, Mas. Tadi-“
“Sudahlah, ayo tidur lagi! Mungkin kamu kecapekan saja. Makanya sebelum
tidur, baca doa dulu!” potongnya sambil membaringkanku dan mengusap keningku
yang berkeringat dengan selembar tisu yang ia tarik dari wadahnya di atas meja
kamar.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.
“Mas dari mana barusan?” tanyaku sambil memiringkan badan menghadapnya.
“Dari ruang makan. Mas kehausan, jadi mas ninggalin Kamu di kamar
sebentar,” jawabnya sambil memejamkan mata.
“APAAA??? Jelas-jelas tadi aku yang keluar dan meninggalkan suamiku di
kamar, kenapa ia berkata sebaliknya?”-pikirku-“atau jangan-jangan aku ke luar
kamar tadi hanya di dalam mimpi? Entahlah, pusing aku memikirkannya.”
“Mas ... Mas ....” Aku menggoyangkan badan suamiku yang mulai terlelap.
“Kenapa, Dik? Ayo tidur!” ucapnya sambil memejamkan mata.
“Jangan tidur duluan! Saya takut,” jawabku.
“Ayo buruan tidur! Besok masih banyak yang harus dikerjakan,” ucapnya
sambil memiringkan badan untuk memelukku.
Berada di dalam pelukannya, membuat perasaanku sedikit lebih tenang. Dan
akupun tertidur dengan lelapnya sampai subuh.
***
Keesokan harinya sebelum berangkat ke sekolah, Nur bercerita kepadaku bahwa
tengah malam tadi ia mendengar seseorang memanggil namaku dari balik pintu.
Suaranya masih sama dengan malam-malam sebelumnya, ingin kuceritakan kejadian
aneh yang menimpaku tadi malam, tetapi kuurungkan karena takut mengganggu
pikiran anak semata wayangku itu.
Sebelum berangkat ke pasar bersama suamiku, aku sempatkan memberi makan
kucing yang baru tinggal di rumahku itu. Kelihatannya kucing tersebut sudah
mulai betah tinggal di rumah. Semoga kehadirannya bisa menggantikan si manis. Memandangi
kucing yang sedang makan, mengingatkanku
pada kejadian semalam. Dialah yang menyelamatkanku dari demit yang
memanggil-manggil namaku dari balik pintu, tetapi sayangnya kucing itu berada
di luar rumah, sehingga tidak dapat menyelamatkanku dari gangguan arwah Yu
Darmi semalam di ruang tamu dan di kamar. Nanti malam sepulang dari rumah Yu
Darmi, lebih baik kucing ini kubawa masuk ke dalam rumah saja.
Pukul sepuluh pagi, aku dan suami sudah berada di tengah pasar untuk
berbelanja keperluan nanti malam. Setelah membeli semua barang yang tertulis di
catatan, kami berduapun bersiap menuju ke rumah Yu Darmi. Ketika menenteng
barang belanjaan, tanpa sengaja aku bersenggolan dengan seseorang, sehingga
belanjaanku jatuh ke tanah. Orang tersebut secara refleks membantu memunguti
barangku yang semburat di tanah.
“Mbak Sinta?” pekik perempuan yang bersenggolan denganku.
“Siti?” pekikku.
“Ya Tuhan, gimana kabarnya Mbak?” tanya Siti.
“Alhamdulillah sehat, Kamu mau kemana? Bukannya kamu sudah kembali ke
kampung halamanmu?” Aku balik bertanya.
“Nah itu dia, Mbak. Beberapa bulan yang lalu, aku memang pamit berhenti
bekerja ke Bu Darmi karena mau dinikahkan oleh orang tua,” jawabnya.
“Terus?” telisikku.
“Ternyata calon suamiku itu sudah punya anak istri. Aku ogahlah kalau harus
menjadi yang kedua,” lanjutnya.
“Terus, Kamu ke sini rencananya mau apa?” tanyaku kembali.
“Rencananya aku mau ketemu Bu Darmi. Aku mau kerja lagi di lapaknya, Mbak,”
jawabnya memelas.
“Kamu belum dengar, Siti?” ucapku pelan.
“Dengar apa, Mbak? Bu Darmi sudah punya karyawan baru, ya?” tanyanya
penasaran.
“Bukan,” jawabku.
“Terus apa, Mbak?” tanyanya penasaran.
“Yu Darmi baru saja meninggal empat hari yang lalu,” jawabku.
“Apa Mbak? Sampean bercanda, kan?” tanya Siti.
“Tidak, Siti. Saya serius! Yu Darmi meninggal setelah beberapa hari
kondisinya drop,” jawabku lemah. Perlahan mataku menjadi sembap.
“Ya Allah, Mbak.” Siti menghambur ke arahku, dia memelukku erat. Tangisnya
pecah seketika.
“Mengapa orang sebaik Bu Darmi harus pergi secepat ini? Kalau saja aku tahu
Bu Darmi mau mangkat, aku nggak akan pulang waktu itu, Mbak. Aku akan membantu merawatnya
saat sakit,” suara Siti di sela-sela tangisnya.
Kesedihan merasuk ke dalam sukmaku. Aku tidak menyangka, Yu Darmi yang
dikenal judes oleh orang-orang ternyata masih meninggalkan kesan yang baik di
hati karyawannya. Mas Diki ikut bersedih melihat kami yang menangis bersama
saling menguatkan.
Tak enak berlama-lama menangis berangkulan di tengah pasar, akupun mengajak
Siti ke rumah Yu Darmi. Aku berboncengan dengan Mas Diki, sedangkan Siti
kusewakan jasa ojek pangkalan.
***
“Siti, Kamu nggak usah pulang dulu ya?
Bantu-bantu Saya di sini sampai hari ketujuh,” ucapku setelah mengantar Siti ‘nyekar’
ke makam Yu Darmi.
“Iya, Mbak dengan senang hati,” jawabnya.
“Terima kasih ya, Siti,” ucapku.
“Sama-sama, Mbak. Saya senang masih diperkenankan membantu,” jawab Siti
sambil tersenyum.
Hari ini Bu Titi pamit tidak dapat membantuku karena diajak Bu Mimin
kulakan di Pasar Gede. Bu Mimin juga titip salam melalui Bu Titi, tetapi
untunglah masih ada Siti sehingga aku tidak perlu takut berada di rumah Yu
Darmi.
“Siti, coba kamu cicipi kuahnya!” ucapku padanya.
“Eeeeeeee anu, Mbak,” ucapnya tidak jelas.
“Kenapa, Siti?” tanyaku.
“Anu, Mbak. Aku tidak bisa makan makanan orang mati,” jawabnya sambil
tersenyum malu-malu.
“Aduh, sama kalau begitu denganku. Minta tolong siapa ya? Mas Diki pulang,
Bu Titi dan Bu Mimin juga nggak ada,” ucapku.
“Bu Mimin istrinya Pak Sukirno?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
“Oalah, ternyata mereka tetanggaan dengan Bu Darmi,” ucapnya kembali.
“Iya,” jawabku.
“Mau minta tolong siapa, ya? Duh ...” ucapku kebingungan sambil
menggaruk-garuk kepala. Tiba-tiba ...
“Sudah sedep kuahnya, Mbak.” Terdengar suara
Siti dari arah belakangku.
Aku menoleh ke arahnya, Siti meletakkan
sendok yang baru saja ia gunakan untuk mencicipi kuah di atas meja.
“Kamu-“
“Nggak apa-apa, Mbak. Demi Bu Darmi,”
jawabnya sambil tersenyum.
“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanyaku cemas,
takut terjadi sesuatu dengannya nanti.
“Iya, Mbak. Santai saja! Oh ya, Mbak. Siapa
yang tidur di rumah ini kalau malam?” tanyanya tiba-tiba.
“Nggak ada. Yuli dan Fery ngekost di dekat
sekolah dan kampus mereka. Kalau saya sich tiap hari selalu pulang ke rumah,”
jawabku.
“Sampai malam ketujuh, boleh nggak aku
nginep di rumah ini?” tanyanya dengan nada enteng.
“APAAAA???” pekikku tak percaya dengan yang
baru saja ia katakan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 290 Episodes
Comments
Pelangi Biru
semangat terus berkarya kak
2022-11-06
0
rajes salam lubis
boleehhh
2022-05-09
0
Adhy comel
apaaa aaaa,,, 🤯🤯😱😱😱😱
2022-03-14
2