Fajar mulai menyingsing. Aku bangun dan bersiap-siap untuk ke vila Refald dan berangkat ke sekolah bersamanya. Saat menuruni anak tangga, nenek memanggilku untuk sarapan. Ada Rio juga disana, ia juga siap untuk ke sekolah.
“Sarapanlah dulu!” kata Nenek.
Aku menghampiri meja makan dan duduk di sebelah Rio.
“Aku senang kau mau tinggal di sini meski hanya sementara!” ucap Rio sambil mengunyah makanan.
Aku hanya tersenyum. Nenek menuangkan nasi dipiringku. Ia mempersilahkanku mengambil lauk yang ingin kumakan. Ada banyak lauk yang disediakan. Tapi entah kenapa aku tidak menyukai semua lauk ini. Aku merindukan masakan ibuku sendiri. Meski lauknya tak sebanyak ini. Bagiku, apapun yang ibu masakkan untukku, pasti terasa enak.
“Kau tidak suka lauknya?” tanya Rio.
“Aku suka!” aku berbohong. Kupilih ikan panggang sebagai laukku dan mencoba melahapnya. Lumayan untuk mengisi perutku yang kosong.
Mbok min memberiku segelas susu. “Terimakasih Mbok ....”
"Sama-sama, Non ...." ucap mbok Min lalu pergi ke ruang dapur.
“Apa hari ini kau dan pemuda itu berangkat bersama?” Tanya nenek tiba-tiba.
Aku merasa nenekku mulai mencampuri urusanku. “Iya! Karena kami satu sekolah," jawabku agak sinis.
“Siapa yang kalian maksud? Pemuda siapa?” tanya Rio.
“Dia cowok yang kita temui waktu itu? Cowok yang dikejar-kejar banteng,” bisikku pada Rio. Ia pun mengangguk paham.
“Kalian satu sekolah?”tanyanya terkejut
“Iya ... dia siswa baru di sekolah kami.”
“Aku senang!”
“Kenapa?”
“Entah alasan apa yang membuatmu pindah kemari, tapi kurasa berkat dia, kau bersedia pindah kemari dan berangkat ke sekolah sama-sama. Apakah kalian berdua pacaran?”
Rio benar-benar orang yang blak-blakan. Suasana mendadak menjadi tegang.
“Nenek suka pemuda itu. Sepertinya ... dia anak yang baik!”
Kata-kata nenek barusan seperti tamparan keras bagiku. Sambil menatapnya marah aku berkata, ”Harusnya Nenek katakan itu saat ibuku masih hidup. Mungkin akan berbeda jika seandainya ... nenek berkata begitu tentang ayahku pada ibu ... mungkin saja ... ibu tidak akan mati secepat itu!”
Bagai tersambar petir, nenek terkejut mendengar ucapanku. Begitu juga dengan Rio. Nenek menatapku, sayu ... tidak ada kemarahan saat aku balik menatap wanita yang sudah beruban itu. Aku memang terdengar kasar tapi aku tidak bisa menahan perasaanku atas apa yang aku alami selama ini.
Seolah paham dengan apa yang kupikirkan. Nenek bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam kamarnya tanpa bicara sepatah katapun. Mungkin ia sedang menangis di dalam.
“Apa yang kau katakan?” Rio berteriak.
Aku berdiri dan bersiap pergi. “Akan berbeda ceritanya seandainya nenek juga menyukai ayahku. Mungkin saja saat ini, ibuku masih hidup dan aku tidak perlu berakhir seperti ini!” Aku balas berteriak kemudian pergi sambil mengalungkan tas selempang dipundakku.
Sepanjang perjalanan aku menangis. Teringat buku diary yang ditulis oleh ibuku. Kisah cinta ibu dan ayahku begitu manis. Tapi berakhir pahit saat nenek bilang tidak menyukai ayah karena alasan perbedaan negara dan budaya. Hubungan ayahku dengan ibuku ditentang oleh nenekku. Itu sebabnya ibu lebih memilih kabur bersama ayah dibandingkan harus menikah dengan orang pilihan nenekku.
Aku manangis tersedu-sedu. Hingga tidak sadar kalau aku sudah sampai di depan vila Refald. Penjaga vila membukakan pintu untukku. Segera kuusap air mataku dan masuk ke dalam rumahnya mengikuti langkah penjaga itu.
Vila ini sangat luas dan indah. Ruangannya dibiarkan terbuka. Tidak ada sekat ataupun pintu untuk batas ruang tamu dan ruang makan, yang ada hanya anak tangga berukuran sedang yang menghubungkan kedua ruangan ini.
“Non, tunggu di ruang makan saja, sebentar lagi tuan muda turun.”
Aku mengangguk. Laki-laki paruh baya itu masuk ke dalam ruangan.
Ternyata Refald juga sama sepertiku. Tinggal di rumah sebesar ini sendirian dan hanya ditemani penjaga rumah. Mungkin ini karena lukanya yang disebabkan olehku. Sehingga ia harus ikut mengasingkan diri. Supaya tidak merepotkan orang lain.
Air mata itu kembali jatuh. Aku terlalu terbawa emosi. sampai tidak sadar ada tangan yang mendarat di pundakku. Aku terkejut Refald sudah ada dibelakangku. Buru-buru aku manghapus air mataku.
“Kau menangis? Belum juga sampai di sekolah," ujarnya.
“Bukan begitu, hanya saja ....” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku juga tidak bisa mengontrol emosiku, tanpa ragu aku kembali menangis tersedu-sedu.
“Kau kenapa? Kenapa menangis seperti itu? Tenanglah ... kau bisa cerita padaku. Aku pendengar yang baik. Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”Refald berusaha menenangkanku.
Aku hanya diam. Bagaimana mungkin aku menceritakan masalahku kepada orang asing yang baru saja kukenal. Namun, tiba-tiba saja aku menangis tersedu-sedu lagi dan itu membuat Refald menjadi semakin bingung.
“Aku tidak bisa mengontrol emosiku saat ini, biasanya aku tidak seperti ini. Terlalu menyakitkan bagiku jika teringat tentang ibuku dan masa lalunya. Meski saat ini ibuku sudah tenang di alam sana. Aku tidak bisa melupakan fakta bahwa nenekkulah salah satu penyebab kematiannya.” Tanpa sadar aku mengatakan apa yang terjadi sebenarnya pada cowok asing ini.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin, tapi ia menatapku dengan tatapan penuh haru. Seolah ia tahu semua masalahku.
“Apa yang dikatakan nenekmu?”tanyanya pelan.
“Nenek tak bilang apa-apa ... aku tahu semua kisah ibuku dari buku diary-nya. Buku itu ia tinggalkan untukku sebelum ia meninggal. Dari situ aku mulai tahu ... penyakit ibuku muncul akibat nenekku tak merestui hubungannya dengan ayah. Sejak itu, ibu mengidap stress akut yang membuat kepalanya sakit dan hampir jadi gila. Nenek tak peduli dengan kondisi ibu saat itu. Ia malah mencoba menikahkannya dengan orang lain agar ibuku melupakan ayah. Untuk menyelamatkan ibu, ayahku nekat memasuki rumah dan membawa ibu pergi ke tempat yang jauh dimalam sebelum pernikahan ibu dilangsungkan.
"Meski mereka akhirnya hidup bahagia, tapi penyakit itu terus menghantui ibu sampai akhirnya ia meninggal. Aku menyalahkan nenekku atas apa yang menimpa ibu, tapi nenek malah terus menyalahkan ayah dan melarangnya menginjakkan kakinya di sini. Karena itulah hidupku sekarang berantakan. Kau bisa menebak sendiri apa yang sedang terjadi saat ini. Aku benar-benar menyedihkan, bukan? Lebih menyedihkan lagi kau harus tahu semua kesedihanku meski kita baru saja bertemu.”aku masih menangis, berkali-kali aku menyeka air mataku.
Aku terus menangis sampai terisak. Refald diam menatapku. Perlahan ia meraih tubuhku dengan lengan kirinya dan memelukku. Ia berusaha menenangkanku. Aku kira ia akan mengejekku dan merasa puas setelah mendengar kisah sedih yang kualami. Ternyata aku salah. Refald tidak sejahat itu. Ia malah bersikap sebaliknya.
Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan ini. Aku jadi rindu pada ayah. Sudah tujuh tahun lamanya aku tidak pernah merasakan pelukan sehangat ini. Ayahku selalu memelukku seperti ini setiap kali aku menangis. Aku benar-benar merindukan ayahku. Juga ibuku yang kini sudah tiada. Aku terus menangis mengingat mereka.
Dengan sabar Refald menungguiku menangis. Tangannya yang panjang membuatku nyaman. Sesekali ia mengusap kepalaku agar aku berhenti menangis. Setelah aku tenang, Refald baru melepaskan pelukannya.
“Kau sudah makan?" tanyanya lembut.
Aku menghapus air mataku. Refald memberiku tissyu, “Aku sempat sarapan tadi ....”
“Berarti kau belum selesai sarapan. Ayo kita makan. Suapi aku, dan kau juga harus makan. Aku tidak mau kau pingsan nanti. Karena hari ini akan sangat berat.”
Aku melakukan apa yang ia katakan. Kami sarapan bersama. Kukira aku sangat membencinya, tetapi ternyata ia punya sisi lain yang berbeda sehingga membuatku tidak bisa lagi membencinya. Refald bisa jadi sosok yang hangat. Ia pun juga tidak membahas pembicaraan tentang kehidupanku yang menyedihan itu lagi. Ia sangat pengertian.
Setelah selesai sarapan, kami berangkat ke sekolah menggunakan motor scoppy miliknya. Aku menyetir dan Refald duduk di kursi belakang. Dengan ragu, ia melingkarkan tangan kirinya dipinggangku. Aku hanya tersenyum mengamatinya. Sejujurnya, ini pertama kalinya aku membonceng seorang cowok dan anehnya aku tidak merasa canggung sama sekali. Aku sangat yakin semua siswi di sekolah pasti heboh jika melihat kami berboncengan seperti ini.
Jarak dari rumah ke sekolah hanya memakan waktu 30 menit. Sehingga kami sampai 15 menit lebih awal dari jam masuk sekolah. Parkiran juga belum begitu ramai. Sepertinya baru sedikit siswa yang datang ke sekolah.
Syukurlah, paling tidak. Aku bisa sedikit tenang karena tak banyak yang tahu kalau aku dan Refald datang bersamaan.
Aku selesai memarkir motor, Refald meraih tanganku dan mengatakan sesuatu, “Tetap bersamaku.”
“Sebaiknya kita jalan terpisah.” aku menepis uluran tangannya.
Aku jalan duluan dan berjalan lebih cepat darinya. Semua mata memandangku. Bahkan ada yang sengaja menggunjingku.
Mereka benar-benar sangat berisik! Tapi bukan aku namanya kalau tidak cuek, tenang, seperti biasanya. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.
Bukkkk!
Tiba-tiba saja ada yang menabrakku. Tidak! Lebih tepatnya ... ada yang sengaja mendorongku.
Aku jatuh tertelungkup dan hampir saja kepalaku terbentur pavling. Tapi aku menahan tubuhku dengan tanganku, sehingga kepalaku tertahan tepat di atas lantai pavling. Hanya saja, bukuku jadi berantakan karena terlempar. Saat aku merapikan buku-bukuku, lututku terasa sakit, ternyata ada luka lecet di sana.
“Kau tidak apa-apa?” Refald yang dari tadi mengikutiku langsung berlari membantuku berdiri setelah melihatku terjatuh. Ia memeriksa lukaku.
“Aku baik-baik saja.” aku berusaha menolak bantuannya.
Aku berjalan tertatih-tatih. Membiarkan mereka menjadikanku pusat perhatian. Sedangkan Refald hanya memandangiku yang masuk ke dalam kelas. Lalu ia pun masuk kekelasnya sendiri yang berada di sebelah kelasku dengan wajah serius penuh amarah.
Di dalam kelas masalah yang kuhadapi juga belum selesai. Mereka terus menghujaniku dengan ratusan pertanyaan. Seperti yang sudah dikatakan Yua, mereka semua penasaran tentang hubunganku dengan Refald. Apalagi setelah melihat aku dan Refald datang bersama. Rasa penasaran mereka jadi semakin memuncak.
Aku sudah tidak tahan dengan suara berisik mereka yang seperti bunyi petasan renteng. Aku menembus kerumunan mereka dan berdiri di depan kelas.
“Diantara kami berdua tidak ada hubungan apa-apa.” Aku mulai menjelaskan kepada penggemar Refald layaknya sebuah konferensi pers. “Ada kesalah pahaman yang terjadi, dan aku berusaha menyelesaikannya. Jika kalian semua menyukainya ... silahkan! Aku sama sekali tidak keberatan. Aku bahkan akan berterima kasih kepada kalian semua jika diantara kalian ada yang berhasil menjauhkannya dariku. Jadi, berhenti bertanya seolah-olah aku adalah pelakor yang merebut suami kalian. Aku harap semua sudah jelas. Jangan ada lagi pertanyaan karena hal ini juga membuatku gila. Aku heran ... Apa yang kalian suka darinya? Apakah hanya dia satu-satunya cowok yang ada di dunia ini? Masih banyak cowok lain yang jauh lebih baik darinya. Kenapa kalian bersikap seperti ini padaku?”
“Lalu kenapa kau mau jalan dengannya?” tanya seseorang yang diikuti anggukan kepala yang lainnya.
Terus terang aku tidak begitu hafal nama-nama semua teman-teman cewek di kelas meski sudah enam bulan kami bersama. Itu karena selain dengan Yua dan dua temanku yang lainnya, aku jarang bicara. Apalagi setiap tahun, kelas kami dirolling. Sehingga tiap kenaikan kelas, kami punya teman yang berbeda.
“Sudah kubilang ada kesalahpahaman yang harus kuselesaikan dengannya, dan aku tidak bisa menjelaskan apa itu. Tapi kalian semua akan mengetahuinya suatu hari nanti. Aku harap kalian bisa mengerti. Jika kalian ingin mendekatinya, aku akan sangat senang. Secara tidak langsung kalian bisa membantuku menjauhinya. Oh iya satu lagi, aku tidak jalan dengannya. Dialah yang memaksaku untuk selalu berjalan disebelahnya! Jadi jangan salah paham!”ujarku kesal.
Mereka semua diam, kurasa mereka sudah sedikit mengerti.
Baguslah ... mudah-mudahan tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan bodoh yang bisa membuatku jadi gila!
Bel tanda masuk berbunyi. Kami duduk di bangku kami masing-masing karena pelajaran akan segera dimulai.
Yua menggenggam tanganku dan tersenyum padaku. Ia mendukungku. Tapi ini sungguh sangat konyol. Mereka semua tidak bisa menghakimiku hanya karena cowok yang populer di sekolah ini mengenalku terlebih dulu.
Meski begitu aku senang mereka tidak bertanya lagi. Walaupun mata mereka masih menyimpan rasa penasaran. Ini jauh lebih baik dari pada harus terus terusan di hujani dengan ribuan pertanyaan.
Pelajaran pertama dimulai, yaitu mata pelajaran Matematika. Salah satu mata pelajaran yang aku suka. Kami semua mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan khidmad untuk menimba ilmu sebanyak mungkin agar cita-cita kami semua bisa tercapai.
Setelah pelajaran Matematika adalah olahraga. Kami semua bergegas ke lapangan belakang sekolah setelah mengganti seragam kami dengan seragam olahraga.
Masalah dengan teman sekelasku memang sudah selesai. Tapi tidak dengan cewek cewek yang ada di kelas lain, belum lagi kakak kelas juga ikut membullyku karena tidak terima jika Refald dekat denganku.
Hari ini sungguh membuatku gila, mereka semua menatapku, menggunjingku bahkan ada yang dengan sengaja melabrakku. Aku terus menyakinkan diriku bahwa aku tidak apa-apa. Ini bukanlah masalah besar. Aku hanya perlu bertahan selama satu bulan. Begitu aku dan Refald selesai. Maka aku bisa kembali kekehidupanku yang normal seperti biasanya. Aku hanya harus menghadapi hujatan dan cibiran karena kecemburuan yang tidak masuk akal saat ini. Teror, intimidasi, dikerjai, dijauhi, dilabrak akan menjadi makananku setiap hari.
Tanpa terasa bel istirahat sudah berbunyi. Kami berganti seragam lagi dan menuju ke kelas kami. Saat kembali ke kelas, aku melihat Refald sudah berdiri di depan pintu, hal itu semakin memperburuk keadaan. Penggemar beratnya menatapku dengan tatapan ingin membunuh. Aku menatap balik mereka semua.
“Tanyakan padanya apa yang ingin kalian tanyakan. Menatapku seperti itu tidak ada gunanya. Akan kuberikan hadiah jika kalian bisa menyingkirkannya untukku.”
Aku melenggang pergi masuk kedalam kelas tanpa bicara pada Refald yang berdiri menungguku sambil menatapku. Ia ingin masuk mengikutiku, tapi ditahan oleh beberapa penggemarnya. Sejumlah pertanyaan langsung dihantamkan padanya. Tapi Refald hanya diam menatapku. Langkahnya yang akan menghampiriku selalu ditahan oleh cewek-cewek itu.
“Kenapa kau tidak membantu pacarmu. Sepertinya dia kualahan ...” Tanya Via. Kekasih Epank. Pacarnya adalah cowok yang disukai Yua.
Benar, di kelas ini hanya dia yang tidak tergila-gila dengan pesona Refald. Itu karena ada Epank yang masih berstatus sebagai pacarnya.
“Biarkan saja, aku tidak mau ikut campur, dan dia bukan pacarku. Jadi, jangan sebut dia seperti itu lagi di depanku,”cetusku agak kasar karena kesal.
“Oh iya? Tapi dia baru saja bilang kepada kami semua bahwa kau adalah pacarnya?”
Aku tersedak saat minum air mineral dari botol minumanku. “Apaaaa? Kau bilang apa barusan?”
“Saat kau berganti pakaian tadi, ia melabrak cewek yang tadi pagi menabrakmu. Karena ini adalah jam istirahat, semua orang tahu itu. Ia bilang kalau kau adalah pacarnya ....”
Aku tidak percaya ini. Mungkinkah ini yang ia maksud semalam. Ia mengatasi ketegangan penggemar berat dadakannya dengan mengakuiku sebagai pacarnya? Ini luar biasa gila.
“Kalian harus dengar semuanya!” suara Refald terdengar lantang dan menggelegar. “Lafeysionara adalah pacarku, dan sebentar lagi kami akan bertunangan. Jadi, jangan sampai kalian mengganggunya ataupun melukainya. Jika sampai itu terjadi, kalian semua akan berurusan denganku.”
Refald menatapku, kami beradu pandang dengan emosi masing-masing.
Astaga ... aku tidak pernah percaya ada orang gila seperti dia. Apa yang dia pikirkan? Bagaimana ini bisa terjadi? Dan Bagaimana dia tahu nama panjangku?
Kepalaku terasa sangat berat, mataku berkunang-kunang dan tiba-tiba saja semua menjadi gelap. Aku tidak sadarkan diri.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 312 Episodes
Comments
Abinaya Albab
kisahnya ternyata 11 12 sama Leo adk sepupunya yg sengklek gk ada akhlak itu 😂🤭
2023-10-31
0
Mara
Bengek emang si refald 😂😂😂anak orang sampai kolaps
2023-04-03
0
Jibril Fathony
hem.... sama seperti suamiQ blak2kan dan juga nggak ada romantisnya sma sekali
2023-01-30
0