Susan menggeliat di kasur latexnya yang berbalut seprai katun lembut.
Enak sekali tidurnya semalam, mungkin karena setelah beraktivitas seharian, makan malam yang lumayan lezat dan ...
Hem, siapa yang disebelahku ini?!
Susan menatap tangan yang melingkari pinggangnya. Besar, dengan sembulan urat kehijauan, warna kulitnya putih.
Lalu kepalanya menoleh ke samping.
Wah wah, Pak Komisaris tertidur nyenyak. Pikir Susan senang.
Susan menyunggingkan senyum tipis. Ia mengamati wajah David, suaminya. Hidung pria itu mancung sempurna, alis dan bibir tebal terbuka sedikit memperlihatkan gigi kelincinya yang putih. Rahang tegas dengan wajah bersih dan jambang yang tercukur rapi. Sekilas tampak polos, tapi dibalik kelopak matanya yang sipit itu, cara memandang David penuh kewaspadaan dan tajam.
Begini ya rupa peranakan Amerika-Jepang? Tampak polos dan awet muda, namun tetap terlihat manly.
Lalu pikiran aneh mulai menyelimuti Susan.
Siapa wanita pertamanya?
Bagaimana kehidupan cintanya di Amerika?
Usia berapa dia kehilangan keperjakaan?
Apa keahliannya yang sebenarnya?
Apa fantasi liarnya selama ini?
Seperti apa type wanita idamannya?
Apakah dia religius ataukah hanya untuk pencitraan?
Dan berbagai pertanyaan lain. Susan akan menanyakannya saat waktunya tepat nanti. Kini, ia bahkan ragu dengan perceraian.
Kalau usahanya untuk mendekatkan Alwa dan Raka tidak berhasil, dan dia juga tidak bisa menyingkirkan Hanifah, daripada sakit hati karena tidak bisa memiliki David seutuhnya, mungkin ia akan meminta perceraian itu.
Namun sebelum bercerai, ada baiknya kucicipi dulu. Pikir Susan licik.
Namun hari ini bukan waktu yang tepat, karena,
"Ergh!" keluh Susan sambil buru-buru ke kamar mandi. Tamponnya hampir luber karena sekarang ia sedang haid! Karena itu juga ia bangun sepagi ini, pukul 4 pagi karena merasa tidak nyaman.
Susan tidak suka mengenakan pembalut karena berantakan, dan ia belum biasa mengenakan menstrual cup. Sudah lama ia mengenakan tampon karena alasan kebersihan. Ia juga kurang suka mencuci pantynya yang terkena percikan darah.
Jadi dia cabut benang yang menjuntai keluar, sekalian mandi di bawah shower dengan air hangat, lalu mengganti tamponnya dengan yang baru.
Sudah nyaman, kini waktunya beraktivitas.
Saat wanita itu keluar dari kamar mandi, David sudah bangun dan duduk bersandar di headboard ranjang. Pria itu semalam tidur hanya mengenakan boxernya, dan dia ketiduran karena kelelahan.
Mereka saling bertatapan, dan David menyunggingkan senyum tipis.
Astaga, kenapa jantungku langsung mencelos begini?! Batin Susan. Wanita itu langsung berpikir akan menggunakan segala cara agar David selalu melayangkan senyum seperti itu kepadanya.
"Hey suamiku," Susan mendekat dengan manja dan melum-at bibir David dengan mesra. David menyambutnya dengan bersemangat, bahkan meremas bo-kong Susan.
"Mandi sana, sudah subuh," desis Susan.
"Hem, aku mau ini," terdengar pria itu merajuk sambil jemarinya membelai **** Susan dari luar panty.
"Aku lagi haid, tunggu seminggu lagi,"
"Kamu nggak pakai pembalut,"
"Aku pakai tampon," ralat Susan.
"Seminggu lagi? Lama," keluh David.
"Semalam kamu dua ronde loh, masa kurang? Rahangku sampai kaku nih. Nanti lemas loh katanya mau ke gym?"
"Masa sih dua ronde?" David mengangkat alisnya. "Nggak inget, aku pikir itu mimpi,"
"Sana mandi, aku mau ngopi," Susan mencubit pipi David dengan mesra, lalu turun dari ranjang, membiarkan David bersiap-siap.
Saat Susan keluar dari kamar, Hanifah sudah duduk di depan tv yang menayangkan siaran langsung kegiatan sekitar Ka'bah di saluran tv Mekah. Namun, mata wanita itu menatap Susan. Hanifah tidak menyapa atau pun tersenyum ke Susan. Jadi Susan melewatinya menuju ke dapur.
"Abi tidak ada di kamarnya saat kubangunkan untuk sholat Subuh berjamaah," kata Hanifah muram sambil menatap tajam Susan.
Susan menyalakan rokoknya. Wanita itu hanya tersenyum sekilas.
"Hari ini bukan jadwal Mbak Susan," tambah Hanifah lagi.
"Bodo amat," sahut Susan.
"Kenapa sih Mbak Susan selalu seenaknya?" nada suara Hanifah semakin tinggi.
"Kenapa kamu jadi rebel begitu? Merasa kalah karena saya skakmat kemarin?!"
"Aku tidak perlu merasa rendah diri karena Mbak Susan membiayai semuanya, karena Abi yang menyuruh Mbak Susan seperti itu. Jadi, itu sudah kesepakatan kalian. Tidak ada hubungannya dengan aku," kata Hanifah.
"Oh, itu hasil semedi kamu semalaman? Pencerahan dengan cara membela diri? Memangnya berguna untuk menjatuhkan saya?" Susan menyeringai. Menurutnya, Hanifah itu lucu. Seperti anak abege marah karena tidak dibelikan ponsel terbaru.
Jadi Susan menghampiri Hanifah dan duduk di sebelahnya.
"Memangnya, kenapa kemarin kamu minta ikut bekerja, Ip...ehm. Ha-ni-fah?" tanya Susan.
Saatnya perbincangan woman to woman. Lebih tepatnya, ibu dan anak perempuannya.
"Untuk apa saya utarakan ke Mbak Susan?"
"Karena saya tidak tertarik menjadikan kamu saingan. Kamu pasti kalah, nanti bisa-bisa bipolar kamu kambuh,"
Mata Hanifah membulat. "Bagaimana Mbak Susan ... " Hanifah tampak kuatir.
"David menceritakan semuanya. SEMUANYA, dan hal pribadi lain yang saya ragu kalian berdua tahu," desis Susan.
"Kenapa dia menceritakan semuanya?!"
Susan menghirup rokoknya dan mengeluarkan asapnya melalui hidung, dengan mata tetap menatap Hanifah. Hanifah terbatuk karena asap rokoknya.
"Hanifah, selayaknya suami-istri, komunikasi itu hal penting. Dengan menginformasikan berbagai hal, ikatan pernikahan bisa terjalin sempurna," Kata Susan.
"Dan komunikasi bisa terjalin kalau kedua insan saling mencintai dengan kadar yang sama. Setelah itu barulah hal yang lebih penting lagi mulai timbul. Yaitu, rasa pengertian," tambah wanita itu.
Susan lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Hanifah. "Sejauh apa kamu mengenal David? Apa yang biasa kalian obrolkan? Apa kebiasaannya yang tidak diketahui banyak orang? Apa kegemarannya waktu sengang?"
Hanifah diam terpaku. Ia tidak tahu. Ia sama sekali tidak mengenal David.
"Kami sering kali menyakannya, tapi dia malah balik bertanya mengenai kami," kata Hanifah tegang.
Susan mengangguk. "Tahu kenapa?"
"Kenapa?"
"Karena David, walaupun statusnya adalah suami kamu, tapi dia tidak memiliki kamu. Kalian berdua milik Suleyman. Walau pun beliau sudah meninggal,"
"Aku tidak mengerti,"
"Pernahkah terpikir kalau Suleyman tidak ada, apakah David akan senantiasa menarik kalian dari panti untuk jadi istrinya?"
Bagaikan petir di pagi hari menyambar Hanifah. Pikirannya langsung terbuka saat itu. Selama ini kehidupannya berjalan dengan otomatis. Harmonis dengan Alwa, damai dan sudah merasa cukup.
Bagaikan robot!
Ia tidak pernah berpikiran macam-macam dan merasa bersyukur dengan apa pun yang ia terima.
Namun, Susan datang dan mengacak-acak semuanya.
"Orang seperti David, paling hanya akan donasi ke panti, lalu pergi sekeperluannya. Ia menikahi kalian hanya karena amanah dari Suleyman. Yang seharusnya, saat seseorang meninggal, hal itu sudah bukan urusannya. Kalau David sampai terbebani dan tidak ikhlas menjalani, Suleyman juga akan berdosa walau sudah meninggal," tambah Susan sambil menghembuskan asap rokoknya.
Hanifah menatap Susan dengan gemetar. Ia mau menangis, tapi ia sedang dalam posisi mengakui perkataan Susan. Ia juga marah namun sedih.
"Susan," panggil David dari arah belakang. Kedua wanita itu reflek menoleh ke arah David.
Pria itu hanya mengenakan selembar handuk putih di pinggangnya.
"Astaghfirullah, Abi!" Hanifah langsung menunduk dengan wajah sangat merah.
"Pakaianku di mana?" tanya David.
"Hmp!" Susan hampir saja tertawa geli melihat tingkah Hanifah yang begitu malu melihat suaminya sendiri telanjang.
"Abi! Astaghfirullah!" Alwa berteriak kaget saat keluar dari Mushola dan langsung menutupi matanya.
"Woy! Tubuh suami kalian bukan hal zina! Lebay!" seru Susan.
"Ta-ta-ta-tapiiiii ... " Alwa tidak meneruskannya dan dia malah berdzikir.
"Baju kamu kumasukan box laundry, biar nanti dicucikan Raka," kata Susan.
"Oke," dan David berjalan menuju kamarnya sendiri.
"Kalian ... Semalam tidur berdua?" Alwa berkata sambil membelalakkan mata.
"Kenapa hal itu seakan hal tabu? Dia suami saya ya jelas kami tidur berdua! berpelukan telan-jang sampai fajar menyingsing setelah bercinta bikin anak, itu sudah SEWAJARNYA," kata Susan, sedikit membumbui perkataannya.
Alwa dan Hanifah memandangnya dengan kaget.
"Telan-jang? Tidur berdua?" gumam Alwa berulang-ulang.
"Abi tidak pernah begitu terhadap kami," Hanifah menjadi semakin tegang.
"Bagaimana dengan Suleyman?"
"Abi Suleyman sering memelukku sampai pagi harinya setelah kami melakukannya, tapi Abi tidak pernah,"
"Juga dengan tetap berpakaian?" tanya Susan dengan nada menyindir. Hanifah tidak menjawab, Susan menganggap tebakannya benar.
"Sekarang tahu kan? Saya dibandingkan kalian seperti apa? Tidak usah bertanya ke saya lagi, tanya ke David sana," desis Susan.
Alwa dan Hanifah hanya bisa termangu.
-----***-----
Sarapan pagi hari itu diiringi dengan Hanifah yang tetap muram, Alwa yang masih bingung mengenai hal yang terjadi, Susan yang sibuk dengan ponsel dan rokoknya, dan David yang mengamati ketiga istrinya.
David langsung tahu ada hal yang tidak beres. Apa yang Susan katakan ke Alwa dan Hanifah tadi pagi? Semoga tidak keluar batas. Pikir David sambil mengunyah sarapannya dengan perlahan. Ia tidak lapar, tapi ia butuh sarapan.
"David," gumam Susan.
"Hm?"
"Daripada Hanifah terus-terusan melirikku dengan tatapan penuh kebencian, lebih baik kita luruskan lebih cepat," gumam Susan lagi dengan mata tetap tertuju ke ponselnya.
"Hah?" desis David.
Hanifah langsung menoleh ke arah Susan. Darimana Susan tahu? Pikir Hanifah.
"Aku sudah biasa dibenci orang, jadi aku lumayan sensitif terhadap tatapan tajam," kata Susan seakan bisa membaca isi hati Hanifah.
"Meluruskan apa?" David meletakkan alat makannya dan meminum air. Ini pasti akan menjadi perbincangan yang serius.
"Kedua istri kamu harus tahu siapa kamu," kata Susan sambil mematikan rokoknya di asbak. Wanita itu pun menyesap kopi pahitnya.
"Oh," David duduk bersandar dengan melipat kedua lengannya ke depan dada. "Apa yang kalian mau tahu Hanifah? Alwa?"
"Eh? Kami? Apaaaa yaaaa?" Alwa menggaruk kepalanya kebingungan.
"Banyak hal, Abi," kata Hanifah muram.
"Dan apa itu?"
Hanifah melirik Susan.
Hanifah ingin bertanya, tapi ia takut David tersinggung. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, dan sebenarnya sudah tercetus dari jauh hari. Namun karena kehidupannya sangat nyaman, hal-hal itu urung ditanyakannya.
"Apa?" tanya Susan ke Hanifah. "Harus saya yang mewakilkan? Takut David marah? Jadi kalian ini menganggap kalau saya yang bertanya, sekurang ajar apa pun pertanyaannya, tersinggung atau tidaknya David, tidak akan berpengaruh ke saya, begitu? Ish ish ish, diam-diam kamu licik juga ya Ipah,"
Brakk!!
Hanifah dengan emosi berdiri dan menggebrak meja makan. Seumur hidupnya ini pertama kalinya ia merasa sangat marah sampai-sampai keluar dari tindakannya yang selalu bersahaja.
David kaget, namun hanya diam.
Alwa menatap Hanifah dengan tegang.
Susan?
Malah menyeringai senang melihat Hanifah mengeluarkan emosinya.
Wah, ternyata si Ipah manusia biasa, syukurlah David tidak memperistri mesin. Pikir Susan. Ternyata itu tujuannya membuat Hanifah kesal.
"Jadi saya benar kan? Kamu takut menyinggung David. Kalau dia tersinggung, hidup kamu akan terancam. Benar kan?! Karena itu kamu selama ini tidak bertanya macam-macam," desis Susan sambil tersenyum penuh kemenangan.
David menghela napas panjang, lalu menyuruh Hanifah duduk dan istighfar.
"Sebenarnya ada apa ini? Susan? Aku masih berpikir kamu biang masalahnya," desis David dengan wajah dingin
"Betul. Aku masalahnya," Susan menyeringai. "Pemicunya adalah kamu yang dianggap oleh kedua istri kamu tidak bersikap adil. Namun mereka takut bilang karena kalau memang benar kamu tidak bersikap adil, kamu harus menceraikan kami semua,"
Alwa ternganga mendengarnya. Ia jelas tidak ingin terlibat dalam keributan ini. Berbeda dengan Hanifah yang memang dari dulu bersikap lebih dewasa dan lebih sensitif, Alwa menjalani hidupnya dengan santai.
"Aku nggak mau bercerai! Baiklah, Abi memang sedikit-sedikit mbak Susan, tapi hal itu kuanggap wajar karena Mbak Susan memiliki banyak keahlian. Salahku kalau Abi tidak perhatian padaku, akunya juga nggak secantik Mbak Susan! Aku lalai tidak merawat diriku selama ini!" seru Alwa sambil berdiri dan berjalan mundur karena ketakutan.
"Jadi, itu tujuan kamu minta diizinkan ke spa dan salon," gumam David.
"Bukan hanya itu Abi, tapi juga waxing, dokter kulit, kelas yoga, manicure pedicure pakai cat kuku halal, mendaftar senam zumba dan nanti lihat Mas Raka mau mengantarkanku kemana," desis Alwa.
"HAHAHAHAHAHAHAH!!!" tawa Susan langsung pecah. Dua istri David benar-benar menghibur hidupnya yang dianggapnya membosankan. "Usah kuduga itu tujuannya, pasti karena David memundurkan jadwal giliran! Ah memang seharusnya kami bertiga tidak satu rumah, David," Susan menghapus air matanya akibat tertawa.
"Dek, kamu mau ke semua tempat itu?" tanya Hanifah dengan wajah kuatir.
"Iya Kak, aku langsung bertekad untuk mempercantik diriku. Mengingat video por-no Mbak Susan yang beredar waktu itu, sangat wajar kalau Abi terpikat. Sampai ke dalam-dalamnya putih bersih glowing, Kak! Dibanding aku yang hitam dan bentuknya aneh begitu!"
David hampir-hampir tersedak ludahnya sendiri karena menahan tawa.
Hanifah ternganga tak percaya, "Dek! Cantik atau tidaknya wanita tergantung dari hati dan keimanannya! Bukan dari wujudnya! Jasad yang kita miliki bisa saja rusak!"
"Tapi Kak, mempercantik diri kita untuk menyenangkan suami, pahalanya super duper besar!"
"HAHAHAHAHA!!" terdengar lengkingan tawa Susan lagi. "Yaaah, semuanya benar siiiih," desis Susan akhirnya.
"Alwa, darimana kamu dapat video Susan?" tanya David.
"Eh, dari ibu-ibu pengajian, Abi, tapi sudah aku minta dihapus di depan mataku,"
"Thank's," desis Susan sambil mengerling ke Alwa. Alwa hanya menipiskan bibirnya.
"Sudah sudah sudah, Saya menyerah. Tolong kalian duduk, saya akan bertanya ke David mewakili kalian," desis Susan sambil menyesap kopinya.
"Serius? Jadi ini judulnya menginterogasiku, begitu?!" gumam David langsung waspada.
"Begitulah, tapi lebih ke kenyamanan bersama. Agar mereka mengenal kamu lebih dekat. Bagaimana pun mereka semua istri kamu. Mereka berhak tahu," kata Susan.
David menghela napas, ia tidak bisa menghindar karena ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Lia Kiftia Usman
setahu ku... memang tidak boleh punya istri lebih dari satu .. jadi satu rmh
2024-09-04
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Suka dengan ceritanya
2024-08-20
0
🍊 NUuyz Leonal
wkwk susan Susan ih keren ya pinter banget mancing mancing 😂😂
2023-10-08
1