Hanifah, Sang istri pertama, tertegun melihat berbagai perabotan mewah dan barang-barang bermerk diangkut satu per satu di kamar tengah.
Kamar tengah dirancang untuk kamar tamu. Paling luas diantara kamar lain karena kerabat David yang bertamu biasanya membawa keluarganya juga.
David siang itu masih di kantor, jadi Hanifah segan mengganggunya untuk menelpon mengenai perihal kepindahan ini.
Suaminya itu tidak berkata apa pun mengenai barang-barang yang masuk.
Tapi,
"Begini kata Bu Susan," seorang pria, tinggi dan wajahnya tampak tegas, memperlihatkan isi pesan singkat di ponselnya.
"Angkut barang-barang saya di kamar tengah," Hanifah membaca isi pesan singkat itu sambil bergumam.
"Hanya ini pesannya?" tanya Hanifah ragu.
"Iya, saya juga ragu sama seperti Mbak Hanifah," kata pria itu. "Apalagi Bu Susan masih ada meeting di kantor jadi belum bisa kesini. Oh iya, Saya Galuh. Saya sekretaris Bu Susan,"
Pria itu menunduk sedikit untuk memberi salam ke Hanifah.
Hanifah ingat, kemarin saat semua heboh karena Susan pulang duluan di resepsi pernikahan, pria ini datang dan berbicara dengan David. Mereka berdiskusi berdua di pojok ruangan mengenai situasi yang tidak terduga itu. Akhirnya David mengumumkan ke para tamu kalau Susan sedang tidak sehat.
"Ah, iya Mas Galuh. Tapi, kami sebenarnya sudah menyiapkan kamar untuk Mbak Susan di area yang bersebelahan dengan kamar saya, di bagian belakang,"
"Iya, Bu Susan sudah baca denahnya dan langsung menolak," Galuh berbicara tanpa ekspresi. Kemungkinan dia juga sedang kesal.
"Lalu, perabotan lama semua dikeluarkan?"
Galuh mengernyit merasa tidak enak, "Bu Susan punya selera yang berbeda. Saya lebih baik diomeli Pak David dari pada dimaki Bu Susan. Mbak Hanifah mungkin sudah mendapat kesan pertama dari Boss saya kemarin,"
Hanifah langsung teringat saat pertama kali berkenalan dengan Susan dan langsung menipiskan bibirnya. Terus terang ia memang keki, tapi sosok Susan yang sangat cantik bagaikan bidadari sebenarnya membuatnya tertarik untuk mencari tahu lebih jauh.
"Oh iya, tampaknya Pak David belum tahu mengenai hal ini, bukan ranah saya sepertinya. Saya sarankan Mbak Hanifah juga tidak usah ikut-ikutan. Biarkan mereka berdua berdiskusi sendiri," Galuh tersenyum lembut dan menundukkan kepala untuk kembali membantu mengangkut barang.
"Astaghfirullah," Hanifah mengelus dadanya, "Bagaimana ini ya?"
Ia juga kebingungan.
-----***-----
Susan datang sekitar pukul 15 dan langsung masuk tanpa mengucapkan salam.
Dentingan sepatu hak tingginya berbentur di lantai granit yang dingin.
Saat itu Hanifah sedang membuat kue, sesuatu yang menjadi hobinya, di dapur bersih dekat meja makan.
"Loh? Assalamu'alaikum Mbak Susan, sudah pulang?!" Sapa Hanifah.
"Kamar saya sudah siap?" Susan berjalan tanpa menoleh ke arahnya, bahkan tidak membalas salamnya.
"Eh, sudah sepertinya," Hanifah juga tidak yakin karena ia tidak berani mendekat diantara pria-pria yang sibuk mendekorasi.
Apalagi Hanifah segan terhadap Galuh. Pria itu begitu mengintimidasi kondisi yang ada.
Susan langsung masuk ke kamar tengah, Hanifah hanya berani mengintip.
Tak lama Susan keluar sambil mengernyit.
"Siapa yang mendekor kamar saya?" tanyanya.
Duh, serem banget tampangnya!
Pikir Hanifah langsung mundur.
"A-a-anu, Mas Galuh, Mbak," Hanifah tergagap.
"Sini kamu, kamu istri pertama David kan?"
Astaga, panggilannya ngga enak banget!
Batin Hanifah.
"Saya Hanifah, Mbak," sahut Hanifah.
"Hm," dengus Susan. Tampaknya ia juga tidak peduli nama Hanifah. "Sini masuk ke sini," Susan melambaikan tangannya.
Hanifah mengikuti Susan masuk ke kamar wanita itu, dan terperangah.
Dekorasi klasik berkilauan yang menurutnya setara dengan istana raja. Kristal dimana-mana, rangkaian bunga raksasa, jajaran botol-botol berbentuk unik di atas rak.
Kamar impian semua wanita!
Lalu closet pakaiannya dirancang seperti di mall, penuh baju-baju yang ditata berdasarkan warna dan tas-tas eksklusif berjajar rapi.
Hanifah pernah melihat yang seperti ini di media sosial, tapi tidak menyangka akan melihatnya sendiri di depan matanya.
Ia tertegun beberapa saat sampai tersadar saat Susan memanggilnya.
"Hei, Ipah, jangan bengong! Saya lagi nanya ini,"
Ipah?
Memangnya aku pembantu rumah tangga?!
"Nama saya Hanifah, Mbak Susaaaaaan," Hanifah mulai jengkel.
"Whatever lah, tuh liat. Karangan bunga di nakas samping ranjang." Susan menunjuknya dengan dagu.
Rangkaian mawar putih berukuran besar yang indah, dan terlihat menakjudkan di mata Hanifah menghiasi nakas silver bergaya klasik di samping ranjang.
"Bagusnya diletakkan di mana menurut kamu?" tanya Susan.
"Eh? Mbak Susan bertanya ke saya?"
"Memang kamu melihat ada orang lain di sini?!"
"Ehm," Hanifah berdehem. Sikap Bossy Susan memang benar-benar bikin kesal. Untung saja Hanifah lebih sabar.
Lalu wanita itu berpikir mengenai dekorasinya. Ia sejak tinggal di rumah ini memang diserahi tugas untuk menata perabotan, namun baru kali ini ia melihat ada furniture dan barang-barang seglamor dan sebanyak milik Susan. Kamar Susan sudah seperti bagian dari Istana Versailles.
"Jadi, karena itu bunga hidup, menurut saya tidak diletakkan di nakas karena takutnya berebut oksigen dengan Mbak Susan, napas bisa sesak," kata Hanifah.
Susan tampak berpikir mempertimbangkannya.
"Anu," Hanifah kembali memberikan pendapatnya. "Lebih baik barang-barang sederhana saja yang diletakkan di samping tempat tidur, seperti Al Quran dan Tasbih,"
Susan meliriknya dengan meremehkan. Ia tidak mendebat Hanifah, juga tidak mengiyakannya.
"Lalu menurut kamu, di mana saya harus meletakkannya? Meja rias?" tanya Susan.
"Eh, anuuu kalau meja rias takutnya wanginya balapan sama parfum. Jadi Mbak Susan tidak bisa menentukan wangi dengan lebih spesifik. Juga kasihan bunganya kalau tersemprot cairan makeup,"
"Benar juga. Pinter juga kamu. Saya letakkan di foyer depan pintu saja," sahut Susan sambil beranjak dan mengangkat vas bunga ke meja panjang di depan pintu.
Hanifah menghela napas lega.
"Anuuuu Mbak Susan, kalau berkenan mencicipi, saya sedang bikin kue,"
"Nanti saya ke meja makan, setelah menata barang-barang. Sense of style-nya Galuh kacau balau, memang ngga bisa mengandalkan laki-laki kalau urusan dekorasi," gerutu Susan.
Sebelum keluar kamar, Hanifah tertegun melihat meja kecil di tengah closet pakaian. Ia melogok isinya dari atas. Lalu terperangah.
Di balik kaca, terlihat koleksi jam tangan Susan.
Tampak mahal dan berkilauan.
Hanifah mengenali mereknya. Rolex, GC, Coach.
Koleksi sebanyak ini.
Tampak menggiurkan.
"Bagaimana mempertanggung jawabkan manfaat koleksinya di akhirat?" gumam Hanifah reflek.
Susan meliriknya.
Wanita itu memang sering mendengar kalimat yang mirip dengan yang diucapkan Hanifah.
Selama ini Susan tidak ambil pusing. Ia menjalani hidup sesuai keinginannya, senyamannya dia.
"Kalau butuh uang tinggal dijual. Koleksi saya semua bisa dijual lagi ke kolektor barang mewah," begitu pembelaan Susan.
Terdengar klise dan seenaknya, tapi Hanifah tidak bisa melawannya.
"Kalau kamu mau, ambil saja. Saya bisa beli lagi," sahut Susan dengan gaya angkuhnya.
"Eeeh?!" seru Hanifah kaget.
"Saya lihat kamu tanpa perhiasan, polos dan tidak menarik. Suami kamu itu seorang komisaris dari perusahaan demgan aset bernilai puluhan triliun, setidaknya kamu menjaga nama baiknya dengan bergaya sedikit," kata Susan.
Hanifah hanya lulusan SMP. Ia tidak bisa membayangkan seberapa banyak puluhan triliun itu.
Dan apa artinya aset?
Selama ini dia home schooling setara SMA dengan Suleyman yang menjadi guru pribadinya. Namun ia tidak diajarkan mengenai bisnis.
"Anu, kapan saya berkesempatan memakai yang seperti ini?" Hanifah bertanya balik ke Susan.
Susan berdecak meremehkan.
"Kamu ini entah culun atau memang polos ya," gerutu Susan sambil menghampiri Hanifah.
"Kalau bingung, lebih baik kamu pilih yang di laci sini saja. Pasti kamu lebih familiar." Susan menekan tombol sidik jari pada laci di bagian tengah.
Lalu menarik pegangannya.
Koleksi berlian.
Cincin, gelang, kalung, bros cantik yang membuat mata Hanifah langsung silau,
"MasyaAllah!" seru Hanifah penuh kekaguman.
"Pilih saja yang bisa digunakan sehari-hari. Ukuran di sana cocok untuk jari tengah saya. Mungkin kalau di kamu, muat dipakai di jari manis," sebenarnya ini sindiran untuk postur tubuh Hanifah yang lebih berisi dibanding Susan. Namun Hanifah tidak menyadari karena sibuk mengagumi koleksi perhiasan Susan.
Akhirnya Hanifah memilih satu cincin berlian dengan model sederhana. Ia tampak mengagumi saat perhiasan itu melingkari jari manisnya.
Saat ia keluar dari kamar Susan, bertepatan dengan Alwa pulang dari pengajian.
Alwa mengucapkan salam dan menghampiri Hanifah yang masih linglung.
"Kenapa kak?" tanya Alwa ceria.
"Dek, lihat deh," Hanifah mengangkat jari manisnya.
"Woooow," desis Alwa takjud.
-----***-----
Saat makan malam,
David pulang dari kantor disambut kedua istrinya. Mereka mencium tangan David, menerima tas kerjanya, membantu membuka sepatunya, jasnya, dan menyiapkan air hangat untuk David mandi di kamarnya.
David tertegun melihat kamar tengah dengan kondisi 'agak' berbeda.
"Susan?" tanya David.
"Heeeeem, begini Abi," Hanifah tampak ragu menjelaskannya. "Mbak Susan meletakkan perabotannya di kamar tengah, dia tidak mau menempati kamar belakang, katanya sempit,"
Alis David terangkat.
"Jadi?"
"Jadi, yaa," Hanifah kebingungan.
Wajah David tidak seperti biasanya. Raut wajahnya muram dan capek.
Bertepatan dengan itu, Susan keluar dari kamar dan menuju meja makan.
Mata David melotot saat melihat Susan keluar dengan piyama seksi dan kimono satin yang tipis.
Ia duduk di ujung tengah dengan santai, meminta salah satu ART menyiapkan teh, sandwich untuk makan malam, dan,
Menyulut rokoknya.
Ketiganya ternganga melihat Susan.
Wanita itu santai dengan teh, sandwich, dan rokok. Sesekali jemarinya menekan layar ponsel memeriksa berita viral hari ini.
"Susan," tegur David.
"Hm?" gumamnya.
"Tidak bisakah kamu melihat ke arahku saat bicara?"
"Aku muak melihat wajahmu,"
"Astaghfirullah!" seru Alwa dan Hanifah.
"Jangan merokok di dalam ruangan," gerutu David mencoba bersabar.
"Oke," dan Susan meminta ART memindahkan semuanya ke gazebo depan kolam renang, lalu melenggang dengan ringan.
David mencengkeram lengannya, menghentikannya.
"Setidaknya jaga sikapmu di rumahku," desis pria itu.
"Bukan keinginanku pindah ke sini. Aku di kamar tengah, ya. Aku tidak mau di kamar belakang, aku ini bukan pembantu kamu," Susan menepis tangan David dan berjalan ke gazebo.
"Semua istri menempati kamar belakang,"
"Iya benar, aku istri kamu. Jadi aku menuntut kamar paling luas di rumah ini. Kalau istri yang lain terserah saja. Kalau aku sih tak sudi dianggap pembantu,"
"Ada alasannya kenapa kamar kamu di belakang, dan aku di depan. Kalau ada sesuatu terjadi, kalian aman di belakang,"
"Ya kalau rampoknya lewat depan, kebanyakan rampok itu lewat belakang." Dan Susan berpaling meninggalkan David dan kedua istrinya yang tertegun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Renesme
wkwkwk nyebelin tapi realistis jeng Susan ini 🤣🤣
2024-11-11
2
Asngadah Baruharjo
setujuuu Susan 😀😀😀
2024-03-08
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Kalo d pikir² memang betul tidak salah 😄😄😄😄🤣🤣🤣🤣👉👉
2024-02-11
0