Susan sedang mengernyit saat melihat kata-kata yang kurang pas di dokumennya, saat Papanya menelpon.
Suara William Tanudisastro terasa rendah dan menuduh.
"Apa kamu melakukan kewajiban kamu sebagai istri yang baik? Jangan bikin Papa malu," suara Papa Susan terdengar waspada.
"Kewajiban sebagai istri yang baik itu apa? Coba beri contoh, Pah," tantang Susan.
Merusak moodnya saja, padahal ia banyak kerjaan. Setelah ini tinggal ke kantor pajak dan ke notaris mengurusi pengambilalihan saham. Makanya Susan ambil cuti hari ini. Dia berencana ke dua tempat itu setelah Galuh datang.
"Melayani suami kamu sesuai dengan kaidah,"
"Aku bukan pelayan, kami sudah punya 10 ART, belum pengurus yang lain,"
"Suami adalah jalan kamu menuju surga,"
"Iya aku harus melalui hari-hari penuh neraka dunia lebih dulu sebelum mencapai surga,"
"Kenapa kamu selalu menjawab perkataan Papa sih?!"
"Aku sedang di tengah pekerjaan, dan urusan rumah tanggaku sudah bukan urusan Papa. Sejauh David masih mengakuiku sebagai istri, Papa seharusnya tenang-tenang saja di kursi pijat,"
"Susan, David tidak terlihat nyaman saat membicarakan kamu,"
"Baguslah, itu berarti jalan menuju kebebasanku semakin cepat. Assalamu'alaikum Pah, aku banyak kerjaan,"
Dan Susan menutup teleponnya sebelum Papanya selesai berbicara.
Lalu ia menggeram.
Papanya merusak moodnya. Ia bahkan sudah tidak fokus lagi bekerja.
Lalu,
Ia butuh pengalih perhatian.
"Galuh?" Ia menelpon Galuh.
"Bu Susan, mungkin saya bisa sampai siang ada di sekolah Vini dan Vici." Terdengar suara Galuh dari seberang. Vini dan Vici adalah dua putri kembar Galuh yang saat ini berusia 7 tahun
"Tak apa, kamu urusin saja sampai selesai. Besok Sabtu-Minggu kamu ajak Vini dan Vici ke Jungle Land, saya ada tiket gratis. Kamu nggak usah kesini Galuh, saya mau minta ditemani David saja ke notarisnya. Lebih afdol kalau ada dia,"
"Wah, saya terbantu sekali. Terima kasih bu," Galuh menutup teleponnya.
Dan akhirnya Susan menggeliat untuk melepaskan lelah dan pegal di tubuhnya.
Saat sedang mengusap lehernya, ia melihat Raka dan Alwa di kejauhan, di taman belakang.
Keduanya tampak bercanda di depan kolam. Alwa yang memang pembawaannya ceria tampak terbahak saat Raka bercerita.
Kok rasanya seperti ada yang salah, ya?! Batin Susan sambil mengernyit melihat pemandangan itu
"Woy!!" Seru Susan sambil membuka jendelanya. Sontak mereka berdua menoleh ke arah suara Susan. "Kamu berdua bisa bikin orang salah paham! Pembantu di sini mulutnya nyinyir! Kalau mau ngobrol di dalam rumah, sini!" Seru Susan.
Semua pembantu yang sedang bekerja dan memang sembari memata-matai Alwa dan Raka, merasa tersindir dan mencibir. Lalu mereka kembali berlagak menyibukkan diri.
Alwa dan Raka menghampiri Susan sambil menyeringai. Susan menyambut mereka dari pinggir jendela. "Pasti ngomongin saya kan, sampai seru begitu," sindir Susan sambil mencebik.
"Iya Bu, seperti biasa," kata Raka.
"Eeeh, kok Mbak Susan tahuuuuu!" Kata Alwa dengan muka memerah.
Lalu Alwa melihat Susan masih dengan piyama one piece tembus pandangnya, sangat jelas terlihat kalau Susan tidak memakai apa pun di baliknya, dengan belahan dada sangat rendah berdiri bersandar di pinggir jendela. "Raka, dokumen sudah selesai ditandatangan, kamu bisa antarkan ke kantor. Kemungkinan Galuh hari ini tidak masuk ya," Susan mengulurkan dokumen dari jendela.
"Siap Bu," Raka memeriksa per lembarnya dengan tenang.
"Alwa, kamu bisa siapkan saya sarapan? Sekalian saya mau bicara,"
"Eh? Bicara? Emmm..." Alwa tampak was-was. Ia takut kalau ditanya macam-macam oleh Susan seperti kemarin.
"Jangan diintimidasi ya bu, Mbak Alwa lagi nggak enak badan tuh!"Kata Raka.
"Ya iya lah nggak enak badan, orang semalaman nangis, suaminya saya rebut,"
Mata Raka membesar, "Lah, katanya kemarin gembar-gembor ngga mau disentuh Pak David, sekarang malah ngerebut laki orang! Nggak jadi cerai bu?!"
"Lama-lama mulut kamu saya lem alteco" desis Susan kesal. Ia langsung menyangka kalau Alwa dan Raka sepertinya saudara kembar yang terpisah dari bayi saking miripnya tingkah mereka. "Maksudnya, David memundurkan jadwal giliran intimnya dengan Alwa dan memilih membahas pekerjaan dengan saya,"
Raka reflek langsung mundur, "Oh, hehehehe, pembahasan itu di luar kuasa saya, duh maaf nih yaaaa!"
"Kamu sudah sarapan, Raka?" Tanya Susan.
"Belum, nanti di kantor saja bu,"
"Masuk ke dalam sini, saya juga belum sarapan. Temani saya makan. Alwa, bisa minta tolong siapkan?"
"I-iya mbak," Alwa sedikit merengut. Ternyata dirinya mudah ditebak Susan. Kegalauannya langsung terkuak secepat kilat.
Di dalam rumah, di ruang makan.
"Bu, sudah bicarakan pengambilalihan saham itu ke Papa Bu Susan? Itu kan aslinya perusahaan beliau," Raka berbicara sambil mengunyah.
"Tidak perlu, dia ngefans banget sama David, jadi sudah pasti setuju," Susan melambaikan tangan.
"Tapi bu, kalau ibu dan Pak David bercerai, ibu kehilangan semuanya dong?"
"Pembagian harta gono gini mengatur aset sebelum saya menikah," Susan mencondongkan tubuhnya ke arah Raka. "Saya memang tadinya mau gempur habis Amethys Grup. Terlalu banyak lintah di dalamnya, harus ditaburi garam banyak-banyak. Ini hanya salah satu cara," desis Susan dengan suara rendah, seakan di sana banyak yang sedang menguping pembicaraan.
Raka mengangguk perlahan. Dari luar, Susan terkesan seenaknya. Tapi di dalam nyatanya ia sangat cerdas. Itu yang membuat Raka nempel terus padanya, karena seakan ilmu yang diajarkan Susan tak ada habisnya.
"Setelah ini, saya akan menitipkan Galuh ke David. Kemampuan Galuh lebih tinggi dari saya dalam mengelola bisnis, terus terang saja. Dia pasti akan banyak berguna bagi David," sahut Susan.
Alwa dan Hanifah ikut mendengarkan perbincangan mereka dengan minum teh, namun sama sekali tidak mengerti yang dibicarakan.
"Anuuu," Alwa membuka suara. "Kok kayaknya mengelola sebuah perusahaan sangat rumit ya Mbak Susan?"
"Begitulah, sama seperti main catur, posisi saya dan David adalah Ratu karena bisa bergerak ke berbagai arah. David lebih ke Raja sih karena dia komisaris jadi kerjaannya cuma skak mat," ada nada sindiran di kalimat Susan.
"Galuh dan Raka para menteri, lawan kami bukan hanya pesaing, tapi juga orang dalam dan pemerintah dengan segala birokrasinya, sisanya kuda dan pion, bisa diatur pergerakannya," kata Susan.
"Bu Susan, ngomong ke Mbak-mbak istri yang ringan-ringan saja dulu," kata Raka.
"Aku sebenarnya pingin loh kerja di kantor, kayaknya keren gituuu, terus banyak temennya, banyak yang bisa dipelajari khususnya interaksi sosial," Kata Alwa.
"Kamu pernah belajar bisnis?"
Alwa menggeleng, "Abi Suleyman melarang kami, katanya itu urusan laki-laki sebagai kepala keluarga, lalu Abi David tampaknya juga enggan mengajari kami,"
"Siti khadijah adalah pedagang, wanita karier, jadi apa yang menghalangi kalian? Utarakan saja ke David," kata Susan.
"Eh, anuuu, Abi berpendapat bahwa, ehem!" Alwa berdehem, sementara Hanifah sudah melotot padanya untuk mencegah Alwa bicara lebih lanjut. Susan menyadari hal itu dan malah mendesak Alwa.
"Apa?! Nggak usah perhatiin Ipah, sini liat ke saya aja. David ngomong apa?!" judesnya Susan kembali timbul.
"Hemmm, beliau takut kami jadi seperti Mbak Susan, umbar-umbar belahan dada ke lawan jenis dan ke klien, dosa besar Mbak," gumam Alwa.
Raka langsung terbahak sambil memukul-mukul meja.
"Kasihan patokannya malah Bu Susan hahahaha! Ibu sudah bikin reputasi wanita karier jadi tercoreng! Hahahahaha!"
Susan mencibir sambil menjewer telinga Raka.
"Memangnya Mas Raka nggak masalah ya kalau Bu Susan pamer belahan dada?" tanya Alwa dengan begitu polosnya.
"Eh? Bu Susan telan-jang di depan saya, saya juga nggak bakalan tegak Mbak. Yang terbayang judesnya, sih,"
"Woy! Sialan bener ya kamu!" Seru Susan.
"Eh? Te-te-tegak Mas?" Muka Alwa langsung merah.
"Tadinya saya sampai mengira saya ini impoten loh bu, akhirnya saya ke spa plus-plus untuk membuktikan saya masih lurus. Untung saja saya normal,"
"Woy! Aib ngga usah disebar-sebar!"
"Sssh! Ibu nggak berhak ngomong begitu ke saya," Raka mengangkat telunjuknya ke wajah Susan sambil menatapnya jahil. "Bu Susan saking mulusnya sampai-sampai nggak beda sama manekin,"
"Semprul!" Guman Susan sambil memukul betis Raka dengan sandalnya.
"Bagaimana caranya biar bisa mulus seperti manekin?" tanya Alwa malah antusias.
Raka diam.
Susan juga diam.
Mereka saling melirik.
Hanifah pun juga jadi ingin tahu.
"Hm, biaya perawatan Bu Susan dari ubun-ubun sampai mata kaki, kalau ditotal per bulannya bisa Dua ratus jutaan," kata Raka akhirnya.
Susan mengangkat bahunya.
Alwa dan Hanifah ternganga.
"Du-dua ratus juta?! Subhanallah!!" Seru Alwa dan Hanifah.
"Itu dari gaji saya ya, nggak minta siapa-siapa!" Desis Susan sambil mengibaskan rambutnya, merasa bangga karena bisa menghasilkan tanpa menyusahkan orang lain. "Karena itu, kalau kalian bisa menghasilkan uang dari hasil jerih payah sendiri, hal itu menjadi nilai plus. Kepuasan yang dirasakan berbeda,"
"Tapi dengan catatan yah, Mbak Alwa dan Mbak Hanifah, suami harus mengizinkan. Karena restu dan ridho mereka adalah kunci keberhasilan. Begitu pun sebaliknya,"
Susan mencibir. "Kerja ya kerja aja, ngapain bilang-bilang suami," gerutunya.
"Kalo niatnya udah jelek pingin merasa lebih hebat ya jadinya rusak macam begini nih! Tiap hari kerjaannya marah-maraaah terus! Karena nggak ada urusan yang lancar. Coba senyum dikit gitu loh buuu kan nggak usah tanam benang biar hemat dikit biaya perawatannya!"
"Sok tau kamu!" Susan mencubit pinggang Raka. Pria itu menunduk sambil mengaduh menahan perih. "Cowok yang saya kenal julid ampun-ampunan cuma kamu!"
"Galuh juga julid, tapi dipendem dalam hati. Kalo dia lagi ngedumel, nggak dikeluarin lewat mulut, tapi uratnya bersembulan di jidat,"
"Iya saya juga tahu!" Dengus Susan. "Kamu sana anterin dokumen ke kantor, udah jam 10 nih. Saya telepon David dulu minta anterin ke notaris,"
"Eh, Mbak Susan," Hanifah ragu-ragu dengan tindakan Susan, "Abi sudah bilang kalau bisa pada saat jam kerja kirim pesan singkat saja karena takutnya dia sedang di tengah meeting,"
"Hem," Susan sudah menekan panggilan telepon. "Hei Tuan Sultan! Bisa diganggu nggak?"
Hanifah dan Alwa langsung tahan napas.
Terdengar helaan napas David dari seberang. Susan meloud-speaker pembicaraannya.
"Assalamu'alaikum Susan, biasakan salam dulu sebelum ..."
"Kamu sibuk nggak? Anterin ke notaris dong! Aku tungguin jam 12an ya, sekalian makan siang," potong Susan.
"Aku lagi di tengah meeting,"
"Urusan akan jadi lebih mudah kalau ada kamu. Lagipula itu juga berkaitan dengan Yudha Mas Corp,"
Helaan napas dari David sekali lagi. "Ya sudah aku ikut dan ikhlas kamu gangguin, tapi dengan syarat,"
"Apa?" tanya Susan.
"Kamu mulai bulan ini bayar listrik, air, gas, dan kebutuhan dapur ya. Aku bayar STNK mobil kamu dan mobil aku, juga gaji para ART dan pengurus rumah tangga," tembak David.
Alwa dan Hanifah saling menatap. Mereka terkejut karena David memperlakukan Susan dengan berbeda. Selama 2 tahun pernikahan mereka, belum sekalipun David menuntut macam-macam ke Alwa dan Hanifah. Perlakuannya ke Susan bagaikan teman.
"Nafkah aku bagaimana?" Tuntut Susan.
"10 juta per bulan,"
"Pelit amat sih! Kebutuhanku paling nggak bisa 300jutaan per bulan!"
"Kan lumayan aku subsidi 10 juta,"
"Gaji kamu per bulan bisa lebih dari 2 milyar, David!"
Alwa dan Hanifah ternganga.
"Itu tabungan buat anak-anak kita kelak," ujar David, "Aku lebih baik sedekah sebanyak-banyaknya daripada kasih ke kamu, pasti beli yang aneh-aneh yang urusannya duniawi,"
"Memberi nafkah istri juga ladang pahala, loh!"
"Memangnya istriku cuma kamu,"
"Ya salahnya punya istri banyak-banyak!"
"Jangan boros! Kujilbabin sekalian biar nggak perlu ke dokter kulit!"
"Woy!"
"Jam 12 aku pulang ke rumah, kamu udah di depan pintu ya, nggak pake lama!" Dan David menutup teleponnya.
"Kalau udah kenal, keluar taringnya nih laki!" Gerutu Susan sambil bersungut-sungut dan masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap.
Alwa dan Hanifah duduk terpaku di meja. Mereka masih kaget dengan sifat David yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
L A
kaget kak 😄😄😄
2024-04-22
0
Asngadah Baruharjo
alah mbuh THOORRR,sakit perut aku 🤣🤣🤣
2024-03-08
0
🍊 NUuyz Leonal
ini mah Kaka othor nya jenius luar biasa dalam meracik alurnya
2023-10-07
0