"Kita mau makan malam di mana?" tanya David sambil menyetir mobil mereka menuju ke keramaian ibu kota di hari menjelang weekend.
"Aku masih banyak pertanyaan," desis Susan.
"Iya pastinya," cibir David. Pria itu agak lelah namun ia masih meladeni Susan. Karena dulu juga, saat ia pulang ke Indonesia, jujur saja, ia bahkan baru tahu kalau ia dapat warisan tak terduga. Ia bertanya macam-macam hal yang terlewatnya ke Suleyman. Dan Suleyman selalu menjelaskannya dengan sabar walaupun kakaknya itu dalam keadaan di ujung maut.
Kelelahan setelah bekerja tidak berarti apa pun, asalkan semua fitnah dapat diluruskan.
"Karena, David, aku tidak merasa hal ini benar. Maksud kamu, Alwa dan Hanifah depresi? Karena apa? Kupikir sudah sembuh waktu Suleyman menikahi mereka!"
"Mereka itu sangat rapuh. Baru bisa tenang setelah diingatkan kembali bahwa bunuh diri itu hanya akan membawa dosa, karena tidak ada yang berhak mencabut nyawa makhluknya selain Allah. Walaupun anak panah sudah menancap di tubuh kita," desis David.
"Dan, Susan, mengenai segala hal berkaitan dengan dosa ini, aku pun capek sebenarnya. Aku bukan seseorang yang religius, oke? Ini hal baru untukku, dan aku hanya ..." David menghela napas. "Hanya ingin menjaga mereka berdua tapi juga tidak melanggar janjiku ke Suleyman. Alwa dan Hanifah mengalami gangguan mental yang sewaktu-waktu saat mereka stress bisa kambuh tanpa mereka sadari,"
"Karena itu kamu selalu membela mereka?"
"Ya, lebih kepada, karena mental kamu lebih kuat. Kamu direndahkan seperti apa pun kupikir pasti bisa bangkit,"
Susan menghela napas mendengar David. Memangnya David pikir Susan tidak punya perasaan?! Siapa yang tidak sakit hati dimaki di depan orang lain? Apalagi di depan dua wanita muda berwajah malaikat seperti Alwa dan Hanifah.
"Itu juga sebabnya kamu membatasi gerak Alwa dan Hanifah?"
David mengangguk, "Dunia ini terlalu luas bagi mereka. Banyak hal yang akan membuat mereka stress. Terkadang lebih baik tidak terlalu tahu banyak hal,"
"Hoy! Pak Sultan! Kalau begitu tidak ada antibody-nya dong! Sampai kapan akan terus begitu?! Mereka justru harus tahu kalau dunia ini sangat luas! Beritahu pelan-pelan, mereka akan jadi bisa belajar mengatasinya!"
"Aku tidak setuju, yang namanya penyakit kejiwaan suatu saat bisa timbul kembali, dengan dilepas ke masyarakat itu berarti melepas mereka ke kandang penuh singa kelaparan!"
"Mereka bisa berpegang ke agama! Kata kamu mereka lebih baik dariku dalam hal membawamu ke Jannah?!" ada nada sindiran di kalimat Susan.
"Kamu pikir semudah diucapkan? Kamu sudah belajar agama sejak kecil, ibu kamu solehah banget, bapak kamu mualaf, tidak menghindarkan kamu dari zina, malah kamu terlihat sangat menikmatinya,"
"Ya iya lah nikmat, kan sama pacar sendiri, orang yang kita suka. Memangnya kamu, se-ks tapi penuh tekanan batin,"
"Aku hanya berusaha tidak menyakiti mereka,"
"Oh ya? Pada akhirnya kamu akan menyakiti mereka. Terutama dengan membawaku kesini. Akan kudidik mereka menjadi lebih kuat!"
"Tidak bisa! Mereka harus tetap sederhana!"
"Ini kenapa malah jadi serasa kita punya dua anak gadis sih?!"
Lalu hening.
Semua dengan pemikirannya masing-masing, sampai secara otomatis kaki David menginjak pedal gas dan membawa mereka ke restoran Korea di tepi jalan.
"Ngomong sama kamu bikin laper," keluh David.
"Ngomong sama kamu bikin pusing," balas Susan.
Dan tanpa banyak bicara, setelah mobil terparkir sempurna, mereka berdua keluar dari mobil dan masuk ke restoran, mengambil sebanyak mungkin daging untuk dibakar.
-----***-----
"Mbak Alwa, itu, Mbak Hanifah ngga keliatan?" tanya Raka.
Pria itu selesai sholat maghrib dan menyadari kalau rumah ini terasa sepi.
"Habis diomeli Mbak Susan, dia belum keluar kamar lagi, Mas,"
"Diomeli kenapa?"
"Tiba-tiba saja Kak Hani ingin ikut Abi bekerja, lalu Mbak Susan bilang kalau Kak Hani hanya akan mengganggu pekerjaan kalau sampai ikut,"
"Hem, memangnya Mbak Hanifah tertarik sama dunia bisnis?"
"Eh, setahu saya sih nggak ya Mas, dia malah sering bilang ke saya kalau jangan terlalu ingin tahu masalah pekerjaan Abi, nanti mengganggu. Kenapa dia sekarang berbalik, ya saya malah bingung," Alwa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Saat itu lah Raka melihat tanda itu.
Jelas terlihat, guratan menyilang di area pergelangan tangan Alwa, saat lengan baju wanita itu tersibak.
Raka tertegun dan tidak melepaskan pandangannya, hal itu membuat Alwa tersadar dan langsung menutupi lengannya. Kalau di rumah, wanita itu melepas mansetnya karena sesak, hal itu membuat lengan bajunya menjadi lebih longgar.
"Eh, hehe, ini bekas ..." mau bilang bekas jatuh, bohong. Mau bilang itu bekas dosa masa lalu, malu. Alwa salah tingkah, berharap Raka tidak mempermasalahkannya.
"Saya juga punya tanda itu, kok." desis Raka sambil tersenyum getir. Tanda yang tidak akan hilang sampai kapan pun, mengiringi tatapan tajam orang-orang yang melihatnya. Juga merupakan penyebab lain dirinya tidak lepas dari Susan.
"Hah? Mas Raka juga pernah mau bunuh diri?!" tanya Alwa kaget.
Raka mengangkat alisnya. Alwa secara polos terpancing untuk mengakui.
"Bukan bunuh diri, Mbak," seringai menghiasi bibir Raka.
Pantas saja Pak David mati-matian menyimpan Alwa dalam sangkar, orangnya naif begini, pikir Raka.
Tapi kok, manis ya?! Pikir pria itu kemudian.
"Eh? Bu-bukan ya, eh ... " Alwa menyadari kesalahannya. Ia malah membuka sendiri aibnya.
Raka membuka gulungan lengan di kemejanya. Sebuah tato tebal menghiasi sepanjang tangan kanannya.
Alwa sampai-sampai terbelalak melihatnya.
"Coba sentuh," Raka menyodorkan lengan bergambarnya ke Alwa.
"Eh, hehe, bukan muhrim mas," Alwa ragu.
"Sentuh saja, kamu akan tahu," kata Raka. Wajahnya yang biasanya ceria, berubah muram.
Dengan tangan gemetar, Alwa menempelkan jemarinya ke lengan Raka. Tersentuh undakan yang tidak asing.
Bekas sayatan.
Seperti milik Alwa.
Namun,
Sangat banyak jumlahnya! Berderet memenuhi lengan Raka. Tertutupi tatto tebal, namun saat disentuh terasa nyata.
"Ma-ma-mas?" rasanya Alwa menjadi pusing. Seketika ia menyadari kalau keceriaan Raka hanyalah kedok untuk menutupi masa lalunya yang hitam. Alwa sudah belajar hal ini dari Suleyman. Salah satu dosa yang menghancurkan diri sendiri, dan akibatnya sangat fatal.
Narkoba.
Tanpa bisa ia tahan, Alwa meneteskan air matanya.
"Saya menutupinya dengan tatto. Karena terasa memalukan. Ini terjadi waktu usia saya masih sangat muda, waktu itu saya belum diadopsi ibu dan bapak saya, masih tinggal di panti. Hem ... Daripada di sebut panti, lebih cocok disebut sarang penjahat kali ya, hehe,"
Alwa tidak mengerti kenapa Raka bahkan masih bisa tertawa.
"Sekolah pun tidak lulus, hidup acak-acakan. Akhirnya setelah diadopsi di usia saya yang ke 15, saya masuk pesantren. Sudah mulai agak adem tuh. Tapi masalah kembali muncul saat saya lulus dari pondok dan kesulitan mencari pekerjaan," Raka duduk bersandar di sofa. "Mau kuliah nggak punya duit, mau cari kerja dikira preman, digebukin sana-sini,"
Alwa duduk di sebelahnya dengan prihatin.
"Mas Raka, kenapa ... " Alwa menelan ludah. "Kenapa lari ke narkoba?"
"Saya merasa sakit. Waktu itu hanya rasa sakit yang bisa saya rasakan. Saya juga korban pelecehan seksual, Mbak. Tapi karena saya laki-laki dan anak jalanan, jadi tidak ada yang mau memprosesnya. Kami tumbuh begitu saja, di dunia yang kejam ini, drugs membantu saya melupakan segala rasa sakit itu, walau pun semu,"
Hanya ada bunyi detik jam yang berikutnya menghiasi suasana malam itu. Sesaat pikiran mereka berdua kembali ke masa lalu.
Sampai tiba-tiba para ART datang membawakan makan malam dan menatanya di pantry dapur bersih.
"Anuu, Bu Alwa dan Pak Raka mau minum apa?" tanya Bibi.
Mereka berdua menoleh ke arah bibi dengan tatapaan masih menerawang.
Bibi, yang langsung merasa tidak seharusnya mengganggu obrolan, jadi merasa tidak enak hati.
"Eeeh, saya bikinkan kopi luwak saja yaaaaa," desis Bibi sambil menghilang ke dalam dapur.
-----***-----
"Saya sudah tidak apa-apa. Bu Susan begitu baik memberi saya pekerjaan yang layak, bahkan terasa berlebihan," Raka mengangkat tangannya menghapus bekas air mata Alwa di pipi wanita itu.
"Karena saya sudah tidak apa-apa, Mbak Alwa juga begitu, kan? Sudah tidak apa-apa?"
Alwa diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
Bukannya Raka tidak mengerti keadaan Alwa. Tapi ia hanya tidak ingin mengutarakannya lebih dulu karena takut menyinggung.
Bahwa sebenarnya, saat melakukan penyelidikan diam-diam bersama Galuh mengenai keluarga ini, David dan kedua istrinya ini, tanpa pernah memberitahu hasilnya ke Susan sampai sekarang, Raka dan Galuh menemukan bahwa kecelakaan Suleyman sebenarnya memiliki cerita lain di baliknya. Karena itu juga, di sini David menempatkan banyak agen untuk mengawasi keadaan sekitar.
Namun, itu akan kita bahas di lain hari saja.
"Abi yang sekarang sangat berbeda dengan Abi Suleyman," gumam Alwa.
Raka mengangguk, namun ia menghentikan kalimat yang akan diucapkan Alwa. "Mbak Alwa, jangan mengumbar persoalan keluarga ke orang lain. Apalagi ke saya yang bukan muhrim. Tapi saya mengerti maksud Mbak Alwa dan kenapa sampai bersusah-susah ingin meniru Bu Susan," Pria itu tersenyum lembut.
"Saya akan bantu Mbak Alwa dengan segala hal itu. Namun, satu syaratnya, tolong minta izin ke Pak David,"
-----***-----
Susan dan David makan malam seperti belum makan 2 hari. Dalam diam mereka membolak balik daging, menyumpal mulut mereka dengan nasi, pesan daging lagi, minum softdrink beberapa kaleng, begitu terus sampai restaurant itu hampir tutup.
"Beneran merusak dietku! Besok harus bisa bertahan hanya dengan kopi dan rokok seharian!" gumam Susan.
"Aku mau ke gym agak pagi, sudah pasti bakalan pusing gara-gara lemak tak jenuh kalau tidak dibakar," desis David sambil meraup daging patty.
"Aku tidak terlalu suka olahraga, lebih baik ke sauna,"
"Di sana ada sauna, mau ikut?"
Susan mengangguk. Ia penasaran seperti apa gaya David kalau berada di gym. Juga, ia mulai cukup bisa menerima David sebagai teman.
"David," Susan meletakkan gelas air putih hangatnya, "Aku tidak membenci Alwa dan Hanifah,"
David mengangguk, "Iya aku percaya. Aku juga tidak terlalu kuatir dengan keberadaan dua asisten kamu itu, sebenarnya,"
Susan menghela napas, selama ini ternyata mereka berdebat tanpa tujuan. Hanya ingin melampiaskan emosi.
"Galuh itu," Susan mulai bercerita, "Sangat mencintai Almarhum istrinya. Walaupun tahu kalau hidup Rika tidak akan lama lagi, dia tetap menikahinya. Sejak SMP, Rika didiagnosa leukimia, namun bisa bertahan sampai dewasa walau sering sakit-sakitan,"
David menghentikan aktivitas makan malamnya dan mendengarkan Susan.
"Galuh sebenarnya tidak terlalu setuju saat Rika ingin hamil. Namun Rika ingin agar sepeninggalnya ada buah hati mereka berdua yang akan menemani Galuh sampai tua nanti. Setelah melahirkan si kembar, kondisi Rika menjadi semakin parah, sesuai dengan yang diprediksi," Susan menyesap airnya. Lalu kembali menarik napas panjang.
"Rika, adalah temanku dari SMP. Manis dan pintar. Selalu menyemangatiku walaupun dia lagi sakit. Dia selalu ada saat aku sedang sedih karena kesulitan berinteraksi dengan orang lain, kamu sendiri tahu bagaimana tabiatku,"
David mengangguk. Susan yang unik ini, kemungkinan memang tidak banyak memiliki teman.
"Dan Galuh, Rika bertemu Galuh saat kami kuliah. Galuh punya coffe shop di daerah Tebet. Kami sering nongki cantik di sana. Saat itu mereka mulai jatuh cinta. Setelah mereka menikah, aku memberi Galuh pekerjaan di Amethys karena aku butuh asisten yang bisa kupercaya. Bisnis Papa berantakan soalnya. Sejak itu Galuh selalu memback-up aku dalam segala hal. Aku hanya berusaha yang terbaik untuk Galuh dan si kembar, para Rika Kecil kesayanganku," Susan menunduk, lalu mendengus.
"Huh! Astaga," Wanita itu mengusap air matanya dengan ujung jemarinya. "Pengaruh daging kali ya, jadi mellow begini,"
"Tak apa, hidup seperti roda. Kalau begini aku juga jadi tahu kebenarannya," kata David sambil duduk bersandar. Terus terang pria itu merasa lega dengan cerita Susan. Hubungan Susan dan Galuh tidak seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Mulai sekarang ia akan berhenti menuduh Galuh macam-macam.
"Bagaimana dengan yang satunya? Raka?" tanya David.
"Kami bertemu di rumah sakit saat Rika menjalani kemoteraphy pertamanya. Raka waktu itu luka-luka digebukin preman dan rumah sakit menolak pengobatannya karena ia tidak memiliki uang. Miris sih, makanya aku memberinya sedikit bantuan. Apalagi waktu aku mendengar namanya. Rika dan Raka, dengan senyum yang sama. Aku menganggap sudah takdirku bertemu mereka berdua," Senyum tersungging di bibir merah Susan. "Lalu orang tua Raka datang, dan bercerita kalau Raka berusaha mencari pekerjaan untuk membantu keluarga, namun para preman dari masa lalu Raka selalu datang mengganggu,"
"Masa lalunya?" tanya David.
Susan mengangguk, "Jadi di masa lalu, Raka itu ..."
-----***-----
"Assalamu'alaikum Abiiii! Mbak Susaaaaan," Alwa menyambut David dan Susan dengan senyum secerah mentari pagi, padahal saat itu sudah hampir tengah malam.
David sampai-sampai agak mundur karena binar mata Alwa terlalu silau. "Wa'alaikumsalam," jawab David.
"Hm, Salam," jawab Susan langsung badmood karena kekenyangan suara Alwa membuat telinganya berdengung.
"Abi mau disiapkan air mandi? Atau mau sholat malam dulu? Ih bau daging, yakiniku ya Abi! Jahat ih kalian berdua nggak ajak-ajak akuuu," rajuk Alwa sambil mengambil tas dan jas David.
David dan Susan termangu melihat tingkah Alwa yang menurut mereka senang berlebihan.
"Mbak Susan mau dipijit? Mau teh apa? Cammomile saja ya biar tidurnya enak!" Dan Alwa berbalik hendak ke dapur.
Tapi Susan menarik lengannya dan langsung menyudutkannya ke dinding.
"Hem," Susan mendekatkan wajahnya ke Alwa sambil memicingkan mata dengan curiga. Alwa bagaikan kelinci sedang diincar burung elang, merapat dan meringkuk ke dinding dengan waspada,
"Intuisi saya merasa ada yang aneh. Apa yang sedang kamu tutupi?!"
"Eh? Ah! Mbak Susan ini bicara apa, sih? Hehehehehehe,"
"Nggak usah pura-pura ketawa Wawa! Kamu habis ngapain?!"
Mata Alwa membesar.
"Kamu berlebihan, Susan," desis David. Tapi pria itu juga ingin tahu, dan tidak berusaha menghentikan Susan.
"Sebentar David, kalau masalah feeling sensitif, aku jagonya," Susan bagaikan seorang ibu yang mendapati anak gadisnya pulang dari club malam padahal izinnya belajar kelompok di rumah teman.
"Tadi Raka kesini?" tanya Susan.
Mata Alwa semakin membesar, lalu ia mulai melirik ke atas, ke kanan, ke kiri, intinya tidak fokus. "Iya Mbak, seperti biasa, meletakkan dokumen dan mengambil cucian Mbak Susan,"
Susan semakin menyipitkan matanya, "Ada sesuatu yang penting yang kalian obrolkan?" Susan memiringkan wajahnya, menginterogasi Alwa.
Nakutin bangeeeetttt!! Pikir Alwa sambil menutupi mulutnya demgan jas David. Wajah Alwa jadi meringis takut.
"Jadiiii, aduh hehe, ehm, akuuuu ... " Alwa melirik David dengan takut. David sekarang memperhatikannya dengan wajah kaku.
"Akuuuu ... Besok minta izin ke salon dan spa, dan Mas Raka bersedia mengantarkan aku, hehe, boleh nggak Abi?"
Mata David langsung membesar.
Sementara Susan langsung menyadari kalau,
Ini ide yang sangat baik!
Dan wanita itu menyunggingkan seringai penuh kelicikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Cut SNY@"GranyCUT"
setuju pendapat susan.
2024-08-20
0
🍊 NUuyz Leonal
nyesek ya mendengar kisah masa lalu Raka dan Galuh
2023-10-07
0
Yuan Dhinie
seger banget liat David n Susan... ya ampun kiyuut banget sih mereka🤗
2023-03-29
0