Alwa dan Hanifah turun dari mobil di lobi sebuah gedung mewah perkantoran di sepanjang Jalan Gatot Subroto. Gedung itu sudah terlihat dari kejauhan, dan supir keluarga mereka, Pak Ridwan, bercerita kalau gedung itu adalah salah satu property milik David Yudha, dibawah naungan PT. Yudha Mas Property.
Kedua wanita itu mendengarkan dengan seksama.
Mereka bahkan ternganga takjud.
Terus terang saja, baru kali ini mereka mendengar mengenai pekerjaan suami mereka. Itu pun karena Susan kerap kali menyinggungnya saat bertengkar dengan David, jadi Hanifah iseng bertanya ke Pak Ridwan.
David tidak pernah berbicara mengenai masalah pekerjaan kepada Alwa dan Hanifah.
Plang nama raksasa bertuliskan Yudha Mas Corp terpampang di lantai teratas gedung itu. Alwa dan Hanifah menengadahkan kepala ke atas, menghitung jumlah lantai, dan mereka langsung menyerah beberapa detik kemudian.
Sangat tinggi!
Saking tingginya kemungkinan bisa menembus awan.
Namun Pak Ridwan bilang kalau David tidak berkantor di sini. Setiap ruangan di gedung yang di sini disewakan ke orang lain, ruangannya dinamakan Lot.
Salah satu Lot terbesar disewa oleh Amethys Grup, yaitu perusahaan tempat Susan bekerja. Letaknya di lantai 7.
Alwa dan Hanifah memandangi setiap sudut ruangan lobi dengan takjud.
Mereka sebenarnya tidak mengerti kenapa David meminta mereka mengantarkan sarapan ke kantor Susan. Mereka baru kali ini bepergian jauh. Biasanya hanya ke pengajian dan ke swalayan yang dekat rumah. Atau kalau ada tausiyah dari ustad favorit mereka.
Dilihat dari kondisi gedung, di kanan-kiri banyak restoran mewah, Susan bisa saja sudah membeli sarapan sendiri.
Penampilan kedua wanita itu cukup membuat orang di sekeliling mereka memperhatikan. Mereka berdua mengenakan cadar, dan berjalan dengan ragu sambil berpegangan tangan sambil menoleh kebingungan ke kanan-kiri.
David memang meminta mereka untuk mengenakan cadar kalau keluar rumah.
Dan dunia kerja saat ini cukup asing bagi keduanya.
Orang-orang berjalan terburu-buru dan dengan pakaian yang modis. Sebagian besar menatap mereka dengan sinis.
Seorang security menghampiri Alwa dan Hanifah.
"Maaf, Bu. Mau bertemu siapa?"
Alwa dan Hanifah agak kaget dan ketakutan saat sekuriti dengan perawakan tinggi besar menghampiri mereka. Pandangan menyelidik dan tajam serasa tidak bersahabat, membuat Alwa dan Hanifah tidak nyaman.
"Anu, mau bertemu dengan Susan dari Amethys Grup,"
"Ibu sudah ada janji?"
"Eh, be-belum, Pak,"
"Kalau begitu tidak bisa bertemu, harus membuat janji dulu. Silahkan ke operator," Si sekuriti mengarahkan mereka ke jajaran wanita dengan alat telekomunikasi di telinga mereka. "Mohon tinggalkan KTP Anda,"
"KTP, Pak?'
"Iya KTP,"
Alwa dan Hanifah saling bertatapan. Mereka tidak membawa KTP, karena tidak menyangka akan diminta.
"Eh, Kenapa butuh KTP, Pak? Saya lihat tidak ada yang bawa KTP," tanya Alwa.
"Karena ibu berdua ini tamu, jadi kami harus mendata siapa saja orang umum yang masuk ke gedung demi keamanan dan kenyamanan bersama. Hal ini sudah prosedur dasar,"
"Mbak Hanifah?" sebuah suara familiar menyapa mereka. Galuh menghampiri dengan senyum lembut khasnya. "Benar kan, Mbak Hanifah?" Pria itu tampaknya agak ragu, karena wajah Hanifah tertutup cadar. Tapi Galuh mengenali Hanifah dari suara lembut wanita itu.
"Ah! Mas Galuh! Assalamu'alaikum, a-anu, kami mau bertemu Mbak Susan, disuruh Abi antar sarapan," kata Hanifah.
"Wa'alaikumsalam, mau bertemu Bu Susan?" Galuh mengernyit merasa ganjil, namun karena sedang di tempat ramai, daripada menarik perhatian akhirnya ia ia memutuskan untuk membawa Alwa dan Hanifah.
"Ibu di atas sedang meeting. Ayo Mbak, silahkan ikuti saya," Galuh mengangguk ke sekuriti menandakan kalau situasi terkendali.
Saat mereka masuk ke dalam lift, beberapa orang juga ikut masuk. Alwa dan Hanifah merapat ke pojok agar tidak tersenggol.
Reflek Galuh berdiri di depan mereka, berusaha melindungi.
"Hey, Bro!" sapa salah satu pria menyapa Galuh.
"Siapa?" tanya yang lain sambil melirik Alwa dan Hanifah. Tampak wajah beberapa orang langsung waspada.
"Istri Pak David," jawab Galuh santai.
"David? David Yudha yang punya gedung?"
"Yang mana istrinya?"
"Keduanya," jawab Galuh lagi.
Beberapa langsung terkekeh sinis.
"Terus mereka mau lo adu sama Susan Tanudisastro?"
"Mereka memang kesini untuk ketemu Bu Susan," kata Galuh.
"Widiiih, kasus,"
"Jomplang banget, pake cadar. Sementara Bu Susan seksi,"
"Pak David mewajibkan mereka menggunakan cadar kalau keluar rumah," kata Galuh.
"Ngga pake juga ga bakalan ada yang ganggu kali, kan jadi ngga dikenalin kalau begini,"
"Mana kita tau kalau cuma dari suara, ya ga?"
"Gue kalo mau ngerampok juga bakalan pake cadar, mana ada yang tau gue laki-laki, ngga kedetect juga!"
"Hehe,"
"Sekarang teknologi udah canggih bro, dari gerak tubuh udah bisa diidentifikasi," sahut Galuh kalem berusaha bersikap netral.
"Dua bininya begini, sementara bini ketiganya begitu, Pak David udah bosen kali sama yang biasa-biasa aja, jadi dia nikahin Bu Susan. Lebih greeeng!"
"Udah pada liat videonya belom?!"
"Bagi linknya dong!"
"Hahaha! Yudha Mas kan ada perusahaan ITnya, udah pasti dihapus semua!"
"Dia menikah bukan atas dasar nafsu," sahut Galuh. "Juga, sekarang dinding bisa mendengar. Jangan sampai kalian dipenjara gara-gara mulut," desis Galuh tajam, memperingatkan orang-orang.
Semua langsung diam, seketika lift menjadi hening.
Hanya ada suara dentingan perlahan, tanda lift sudah sampai di lantai 7.
"Permisi ya, tolong beri jalan," desis Galuh mempersilahkan Alwa dan Hanifah keluar dari lift.
"Maaf ya Mbak, mereka memang cenderung bersikap gamblang," sahut Galuh merasa tidak enak.
"Eh? Ngga apa-apa Mas, sudah biasa," gumam Hanifah.
Alwa hanya diam, tapi dari pandangan matanya terlihat sebuah kesedihan.
"Aaah, Galuh! Kamu sudah panggilkan ahli?" terdengar seseorang berteriak dari ujung ruangan. Seorang pria keturunan Tionghoa berperawakan rapi dan necis, dengan dasi berwarna emas.
"Nanti sore dia akan berkunjung, Koh," sahut Galuh.
"Jangan kelamaan, gue butuh aura bagus buat terbitin stock besok pagi, yang A atau yang C!"
"Kokoh butuh pendeta juga ngga?"
"Kalo itu dari gereja gue aja! Ahli Fengsui lebih penting! Gue ngerasa ruangan gue panas banget! Pasti ada yang salah sama letak perabotnya!"
Galuh berjalan ke area corporate sekretaris.
"Wina, panggilkan tukang AC untuk menangani ruangan Koh Albert,"
Lalu pria itu menyusuri koridor melewati banyak meja dengan orang berlalu lalang.
Sebagian besar menghentikan aktivitas mereka saat melihat Alwa dan Hanifah. Mereka keheranan melihat Galuh membawa masuk dua wanita dengan penampilan yang mereka anggap unik tersebut.
"Tunggu di sini dulu ya Mbak, mungkin sebentar lagi Ibu selesai meeting," Sahut Galuh sambil mempersilahkan Alwa dan Hanifah duduk di ruangan dengan meja kecil dan sofa yang berada di sebelah Galuh.
"Mau minum apa?" tanya Galuh.
"Tidak usah repot-repot, Mas. Silahkan lanjutkan pekerjaannya," kata Hanifah.
Alwa lebih banyak diam karena sedang mencerna keadaan.
Suasana kantor yang ramai dengan banyak orang berwajah tegang membuat rasa ingin tahunya besar. Tapi dia lebih memilih mengamati saja, dengan seksama tentunya.
Lalu Galuh duduk di kursinya sendiri sambil membuka salah satu tumpukan bantex dan mengetik beberapa kata.
Raka datang dengan terburu-buru, beberapa dokumen dan masuk ke ruangan Susan. Ia menjajarkan berkas yang harus ditandatangan Susan di atas meja kerja, lalu keluar sambil membawa beberapa pakaian Bossnya untuk dilaundry.
"Gal, Pendeta Frans nggak bisa mimpin kebaktian Minggu besok, karena sakit. Katanya delegasi ke anaknya boleh ngga?" tanya Raka.
"Anaknya punya sertifikasi ngga?"
"Dia belum kasih ke gue, tapi gue cari di internet jamaahnya lebih dari 5000 orang,"
"Ikutin prosedur aja, Bro. Biasanya orang-orang punya komuninya sendiri. Meeting selesai lo hadep Pak Ricky deh buat tanya,"
Raka menggaruk kepalanya.
"Kalo disuruh nyari Ustad, gue jabanin deh. Kalo Pendeta gue nyerah! Ngga ngerti," keluhnya sambil beranjak.
Lalu dia mundur lagi.
"Loh? Ada para istri di sini? Assalamu'alaikum Mbak, tumben!" seru Raka riang.
"Wa'alaikumsalam," balas Hanifah pelan.
"Mau antar sarapan buat Bu Susan, katanya. Disuruh bapak," kata Galuh.
"Hah?" Raka tampak tertegun. Lalu ia melirik meja Susan di dalam. Di atas meja sudah tersedia kotak plastik dari restoran mahal dengan menu steak di dalamnya.
Raka menoleh ke Galuh.
Galuh langsung tahu maksud Raka. Lalu pria itu menggerakkan kepalanya ke samping supaya Raka tutup mulut dan enyah dari sana.
"Saya lanjut kerja ya Mbaaaak, Wassalamualaikum!" Raka pun buru-buru pergi dari sana. Biarlah kasus yang sulit Galuh yang mengerjakan.
Keadaan hening beberapa saat, hanya ada suara ketikan Galuh yang kecepatannya di atas rata-rata, dan suara obrolan orang yang sedang sibuk di sekitar mereka.
"Mas Galuh?" Hanifah memanggil Galuh,
"Ya Mbak?" Galuh menoleh.
"Kalau kedatangan kami ke sini mengganggu, kami titipkan saja sarapannya ke Mas Galuh,"
"Yang memutuskan Mbak Hanifah dan Mbak Alwa mengganggu adalah Bu Susan. Kalau saya biasa saja. Kalau saya menganggap kalian mengganggu, saya tidak akan menyapa kalian saat di lobi tadi," Galuh menyeringai.
Hanifah tampak berpikir, ia memiringkan kepalanya.
"Baik Mas, kami tunggu saja Mbak Susannya," kata Hanifah sambil kembali menyandarkan tubuh mungilnya ke kursi.
Tidak berapa lama seseorang berseru,
"Meeting udah selesai!" orang itu terburu-buru ke mejanya dan membereskan berkas.
"Mampus! Belom selesai pula!" seru yang lain sambil kalang kabut.
"Tadi bantex yang gue taroh di sini mana woy!!"
Dan berbagai teriakan lainnya. Semua berlarian kesana kemari.
Pemandangan yang menakjudkan, pikir Alwa.
Bagaikan adegan di film.
Yang tampak santai paling hanya Galuh yang tampak sedang mengetik di layar komputer yang penuh grafik warna-warni.
Lalu berikutnya, dari arah ujung, ruangan yang paling besar, pintu raksasa dari kayu jati berukir terbuka. Beberapa orang dengan jas rapi keluar dari sana dengan wajah serius. Para wanita-wanita cantik dengan map dokumen di tangan mereka mendampingi masing-masing pria ber jas.
Sepatu hak tinggi mereka membentur lantai dan menimbulkan musik yang sinkron.
Susan, keluar dari ruangan dan memecah barisan. Semua memberinya jalan lebih dulu.
Alwa sampai-sampai menarik napas gugup. Aura Susan di antara yang lain tampak bersinar. Ia memiliki penampilan yang berbeda. Lebih eksklusif, dan langsung tertangkap mata karena mencolok.
"Albert! Sekali lagi kamu minta anggaran buat rombak ruangan gara-gara fengshui, kamu buka kantor saja sendiri! Tidak ada budget dekorasi sampai target kamu melebihi 120%!" seru Susan tegas.
Koh Albert langsung melipir masuk ruangan.
"Pak Ricky, jamaah Pendeta Frans tidak sebanyak itu sampai kita harus menyediakan selusin botol wine! Kalau mereka masih menunggak biaya sewa ruangan, tidak ada botol wine yang akan mereka terima!" seru Susan lagi.
"Raka, coba periksa jadwal Ustad Abdul Somad, kita masih bisa mengajukan untuk endorse minuman kemasan teh rasa kolak untuk puasa tahun depan atau tidak,"
"Mereka tanya izin MUI, Bu," sahut Raka.
"Baru saja keluar tadi pagi,"
"Siap bu!" Raka langsung ke arah mejanya untuk menelpon.
"Begitu saja ya, Susan," Pria tinggi berparas tampan berbicara dengan Susan sebelum wanita itu masuk ke ruangannya. "Kalau kamu tidak mendapatkan investor sampai minggu depan, bulan depannya kita akan menutup pabrik di Pulogadung,"
"Ya Pak, saya usahakan," sahut Susan lemah.
Lalu pria itu tertegun saat melihat Alwa dan Hanifah yang duduk di samping Galuh.
"Tamu kamu?" tanyanya ke Susan.
Susan menoleh sambil mengernyit ke arah Alwa dan Hanifah.
Lalu alisnya langsung terangkat.
"Ngapain kalian di sini?" tanya Susan.
"Mereka diminta Bapak ke sini menemui Ibu," kata Galuh sambil tetap mengetik.
"Siapa?" tanya si Pria tinggi.
"Oh, ini. Istri-istrinya suami saya,"
Semua langsung hening. Sejenak, semua pasang telinga dan menghentikan pekerjaan mereka.
"Istri-istrinya suami kamu," si Pria tinggi mengulangi kata-kata Susan. Terasa lucu kalimat itu saat diucapkan.
"Padahal kamu bisa saja menikah dengan saya yang duda, atau pilih saja salah satu sekretaris kamu yang masih single, tapi kamu rela dijadikan yang ketiga,"
Susan tersenyum dingin. "Suami saya jauh lebih kaya raya Pak," dia seakan menantang semua laki-laki di ruangan itu.
"Hm, ya kalau yang itu sih saya menyerah," desis Pria tinggi itu sambil menyeringai. Ia berbalik meninggalkan Susan untuk menuju ke ruangannya sendiri.
Susan balik badan ke arah Galuh dan mencibir, "Kalo Pak Dirut lebih kaya juga saya ngga bakalan mau jadi bininya! Dikira kita ngga tau kelakuannya di luar?!" gerutu Susan sambil berbisik ke Galuh.
"11 12 sama Bu Susan lah ya," sahut Galuh.
"Lidah kamu itu perlu disekolahin!" sungut Susan.
Galuh hanya tersenyum lembut khasnya.
"Terus, kenapa Ipah dan Wawa di sini?" tanya Susan, seenaknya saja mengganti nama orang.
"Hanifah dan Alwa, Bu Susan," ralat Galuh. "Ibu kan juga ngga mau nama ibu diubah jadi Ucan,"
"Begini, Mbak. Kami diminta Abi mengantarkan sarapan. Tadi kan belum sempat makan," kata Hanifah.
"Hm," Susan menatap Hanifah sambil menopang dagunya di atas kubikel Galuh.
Ini sih hanya akal-akalan David agar ketiga istrinya akur.
Seperti dijelaskan di awal, Susan tidak membenci Alwa dan Hanifah, tapi sekaligus juga tidak menyukai mereka, sih.
Yang ia benci hanya David. Walaupun Susan tahu, sebenarnya David sangat baik mau membantu melindunginya dari aib, namun Susan merasa pasti ada maksud lain di balik bantuan itu.
Karena seorang bussiness man, tidak mungkin melakukan semuanya dengan cuma-cuma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Lia Kiftia Usman
buka hatimu ucan...
2024-09-04
0
L A
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
author nih bisaan
2024-04-22
0
Asngadah Baruharjo
cerita nya fress on oven 🤣🤣🤣🤣
2024-03-08
0