Meja Makan

Pagi harinya,

Cuaca mendung, semendung hati Susan.

Zircon,

Huh!

Susan mendengus kesal sambil menatap ke luar jendela kamarnya. Pemandangan taman dalam terhampar di depannya.

Ia baru saja merias diri dan akan bersiap-siap ke kantor. Selagi memilih perhiasan yang akan ia pakai, ia melihat cincin pemberian Jefry dan tertegun.

Galuh waktu itu memang minta izin untuk membawakan cincin itu setelah Susan pulang di hari resepsi. Ia tidak menyangka pria itu membawanya untuk di tes atas suruhan David.

Paling tidak, sekarang ia tahu pria macam apa si Jefry itu.

Tidak sudi ia bertemu lagi!

Secara kasat mata, dudukan cincin terbuat dari emas putih. Dan mata berkilauan yang bersinar. Ia kira berlian, ternyata zircon.

Sayup-sayup tercium wangi masakan dari luar.

Bau croisant baru dipanggang dan daging pastrami.

Hanifah baru selesai memanggang sarapan. Walaupun memiliki banyak ART, Alwa dan Hanifah mengurusi kebutuhan suaminya sendiri. Makanan, pakaian, bahkan membersihkan sepatu dan tas David, mereka yang melakukannya.

Mereka berdua juga tidak sekamar dengan David, namun rutin membersihkan kamar David.

Perut Susan langsung keroncongan.

Jadi ia memasukan cincin Jefry ke dalam kotak perhiasan kecil, lalu meraih tas dan sepatunya dan keluar kamar.

"Assalamu'alaikum Mbak Susaaaaaannnn!" Alwa yang sedang membereskan meja makan menyapanya dengan riang.

Susan tidak membalas salamnya. Ia memperhatikan meja makan.

Biasanya David duduk di sudut utama meja makan, mengarah ke jendela. Mungkin ia suka melihat pemandangan taman saat makan. Alwa dan Hanifah menempati kursi di kiri dan kanannya.

Ia melihat ada set plate di sebelah Alwa, Susan menebak kalau itu kursinya.

"Kamu, istri kedua, nama kamu siapa?" sahut Susan sambil menegakkan dagunya.

"Eh, saya Alwa Mbak,"

"Umur kamu?"

"hem, 23 tahun,"

"Saya 4 tahun lebih tua dari kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran saya mau duduk di sebelah kamu?"

Alwa diam.

Hanifah juga langsung tegang karena memperhatikan dari jauh.

"Juga, jangan berani-berani menyamakan saya dengan kamu dan Hanifah. Ngga sebanding. Hidup kalian bergantung pada David, berbeda dengan saya, bisa cari uang sendiri!"

Alwa menarik napas.

Dia gemetaran.

Sungguh, ia tidak bermaksud menempatkan set plate Susan di sebelahnya. Hal itu terjadi secara otomatis saat menata meja, angka ganjil dengan ganjil, genap dengan genap.

"Ka-ka-kalau mau, Mbak Susan bisa menempati kursi saya di kanan Abi," Alwa tergagap ketakutan.

"Saya juga ga sudi yang itu," Susan berjalan ke ujung satunya. Lalu duduk membelakangi jendela.

Biar saja pemandangan taman David terganggu dengan adanya diriku,

Pikir Susan jahil.

"Posisi saya bukan di belakang David, tapi di samping. Setara. Ingat itu," geram Susan.

"Ba-ba-baik Mbaaaaak," Alwa langsung setengah berlari ke dapur, lalu sembunyi di punggung Hanifah.

"Tapi Mbak Susan," Hanifah mencoba membela Alwa. "Sudah sepantasnya suami itu adalah Imam di keluarga, kita ini makmum tidak bisa setara, Mbak,"

"Saya sebagai makmum bisa ganti-ganti Imam kalau saya merasa ceramahnya membosankan. Imam mana bisa pilih makmum?!" sahut Susan.

Alwa dan Hanifah melongo.

"Astaghfirullahaladziiim," mereka berusaha sabar.

"Jadi, perumpamaan kamu itu ngga masuk akal,"

"Dosa paling utama istri adalah melawan suami, makanya wanita paling banyak menempati neraka," sahut David datang. Ia sudah mendengar ribut-ribut dari dalam kamarnya.

"Istri melawan suami ada maksudnya dong, siapa tahu suaminya dirasa mendzolimi istri," sahut Susan.

"Kami menanggung semua hidup dan dosa kalian, apa salahnya nurut sedikit. Toh ngga disuruh kerja paksa,"

"Bukan itu konsep pernikahan. Dua orang saling mencintai dan menghargai, tidak ingin pihak satunya menderita. Konsep sembah menyembah cium kaki suami ngga ada dalam kamusku. Tapi kalau kamu mau cium kakiku ya boleh saja sih,"

David mengernyit.

"Selama ini hidup kamu seperti itu?"

"Karena itu aku bisa di posisi puncak," Susan mengangkat bahunya. "Lebih tinggi dari laki-laki. Bahkan Papaku,"

"Selama kamu masih pakai emosi, posisi puncak hanya akan ditempati sebentar. Lihat saja sekarang, jatuh juga kan. Makanya pemimpin dicari yang bisa pakai logika. Yaitu kami, para Imam,"

"Mau ngomongin ini sampai kapan? Aku jabanin,"

"Oh, sudah nyerah kalah?"

"Bukan nyerah kalah, capek aja meladeni pria sok hebat macam kamu, karena aku lapar dan jam 9 harus meeting," Susan membuka jendela dan menyulut rokoknya.

"Hanifah, bikinin kopi," sahut Susan.

"Baik Mbak,"

"Ngga usah," potong David. "Dia bisa bikin sendiri, Hanifah bukan pembantu,"

"Oh, bukan?! Kupikir dia pembantu kamu. Habis tampangnya planga-plongo, Bi, bikinin Kopi,"

"Jangan, Susan bisa bikin sendiri kopinya," sahut David.

Bibi ART kebingungan.

"Saya bayar 3x lipat dari gaji bibi sekarang, kalau bibi mau melayani saya selama saya tinggal di rumah ini. Kalau masih tidak mau juga, saya panggil Raka dan Galuh untuk masuk dan membuatkan saya kopi," Susan tersenyum licik. "Mereka bahkan bisa menerjang badai kalau saya perintah,"

"Sa-sa-saya bikinkan kopi," sahut Bibi ART. Bukan karena gaji, tapi ia hanya tidak ingin ada pertengkaran di pagi hari.

Brakk!

David menggebrak meja makan. Ia tidak sabar dengan tingkah Susan.

"Aku tidak suka peraturan di rumah ini diacak-acak seenaknya. Sikap kamu yang tidak beradab itu sudah membuat perasaan semua orang jadi tidak harmonis. Tidak semua bisa kamu perintah-perintah seenaknya!"

Susan menatap David tanpa ekspresi. Yang jelas ia tidak ketakutan seperti Alwa dan Hanifah yang langsung melipir ke sudut dapur.

Semua ART mengintip-intip ingin melihat keributan yang terjadi.

Senyum sinis tersungging di bibir merah Susan. Ia mematikan rokoknya ke atas meja kaca, karena ia tidak diberi asbak, lalu bangkit dan berjalan ke arah kursi David.

Wanita itu duduk di atas meja, di hadapan David.

Lalu menyilangkan kakinya.

Menunduk sedikit agar David bisa mendengar kata-katanya lebih jelas.

"Semakin kamu mencoba untuk mengendalikan hidup aku, semakin aku akan melawan. Kamu pikir konsep agama akan bisa membuat hatiku tergugah? Coba cari cara lain, Tuan Imam Besar,"

"Aku berharap Allah memberikan kamu hidayah," gumam David.

"Aku berharap Allah memberikan kamu kesadaran, kalau tidak semua wanita bisa disuruh berlutut ke hadapan kamu, cuma dengan modal akad," Susan menegakkan duduknya.

"Aku bercinta dengan banyak pria, tapi cuma kamu yang tidak ingin kusentuh," bisik Susan.

Wajah David langsung memerah karena amarah.

Tawa Susan yang menyebalkan bergema di telinganya. Wanita itu menyambar tasnya dan berjalan pergi dengan penuh kemenangan.

"Kak," bisik Alwa sambil terisak, "Ini gara-gara akuuuuu, bagaimana ini?"

"Ssh, kupikir kamu ngga salah apa-apa kok, Dek," bisik Hanifah sambil mengelus punggung Alwa.

"Tapi jadi berantem lagi merekaa," Isak Alwa.

"Hanifah, Alwa," panggil David.

"I-iya Abi?" jawab mereka serentak.

"Sini, sarapan,"

"Oh iya Abi," dan mereka masing-masing menempati kursinya sambil makan dalam diam.

"Tadi Susan sudah makan?" tanya David.

"Belum, dia hanya merokok, Abi,"

"Hanifah, minta tolong antarkan roti ke kantornya, kamu bisa pergi dengan supir saya setelah sarapan," sahut David.

"Aku mau ikut, boleh Abi?" tanya Alwa. "Kejadian ini terjadi karena aku salah mengatur meja makan,"

"Boleh saja," gumam David. "Dan juga, kamu ngga salah apa-apa, Susannya saja yang bebal,"

Terpopuler

Comments

Putri Dhamayanti

Putri Dhamayanti

wkwkwkwk 🤣 somplak

2024-06-15

0

Asngadah Baruharjo

Asngadah Baruharjo

ngeri ngeri sedaaaapppppp ceritanya 😀😀😀

2024-03-08

0

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

Yah ada aja sih jawabannya mba Susan😁

2024-02-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!