Dengan ragu-ragu, Aira mulai mengetuk kamar tidur istri pertama suaminya, Nyonya Sonya.
Ia sungguh tak kuasa untuk memanggil Sonya hanya dengan sebutan Mbak. Merasa tidak pantas, merasa derajatnya jauh dibawah istri pertama suaminya itu.
Bahkan dia pun ingin memanggil Ibrahim dengan sebutan Tuan, karena lidahnya terasa kelu untuk memanggil Mas.
Pelan-pelan, Aira mulai mengetuk pintu itu.
Tuk tuk tuk.
Tidak ada sahutan, membuat ia jadi gugup sendiri. Bahkan kedua tangannya sudah basah oleh keringat dingin.
“Bagaimana ini ya Allah,” gumam Aira takut-takut. Ia ingin kembali ke kamarnya sendiri tapi takut untuk bertemu dengan Ibrahim. Sementara suaminya itu meminta dia untuk belajar menjadi istri yang baik dengan nyonya Sonya.
Bimbang, namun akhirnya Aira memutuskan untuk kembali mengetuk pintu itu lagi, dengan sedikit keras.
Tok tok tok.
Aira tidak tahu, jika di dalam sana Sonya tengah menertawakan dirinya. Sonya dan Ibrahim terhubung dalam panggilan telepon.
“Aku tidak sanggup untuk menyentuh gadis kampung itu, ubahlah penampilannya agar aku sedikit berminat,” ucap Ibrahim pada istri pertamanya.
Sonya tertawa dengan begitu keras.
“Nikmati saja Mas, siapa tau dia masih perawan.”
“Apa gunanya perawan kalau tubuhnya kotor.”
Tawa Sonya makin pecah dibuatnya.
“Istri keduamu sudah sampai, aku akan membuka pintu.”
“Hem.”
Dan panggilan itu terputus.
Masih dengan bibir yang tersenyum lebar, Sonya membukakan pintu untuk madunya, Aira.
Pintu itu terbuka, namun Sonya tidak memberi akses Aira untuk masuk. Ia berdiri diambang pintu dengan melipat kedua tangan didepan dada.
“Ada apa?” tanya Sonya sinis, lengkap dengan tatapan tak suka.
Seketika, Aira kembali menurunkan pandangannya. Ia tak berani menatap istri pertama suaminya ini.
Ia sungguh takut dan gugup sekaligus.
“Ada apa?!” tanya Sonya lagi dengan suara yang lebih tinggi.
Melihat Aira yang hanya diam saja membuat ia geram. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu apa tujuan Aira datang kesini, namun ia ingin mempermalukan gadis kampung ini.
“Ma-maaf Bu_”
“Apa?! Bu!” potong Sonya cepat, ia makin bersuara dengan nada tak suka.
“Wajahmu saja terlihat lebih tua daripada aku, berani-beraninya memanggil aku ibu! Tidak tahu diri!”
Aira semakin merunduk, ia bahkan meremati kedua tangannya sendiri yang terasa dingin.
Tak ingin aksinya dipergoki kakek Pram, Sonya langsung menarik Aira masuk ke dalam kamarnya. Menariknya kuat lalu mendorong asal. Dan setelahnya mengambil tissue untuk membersihkan tangannya yang terasa kotor.
“Aku tanya sekali lagi, apa apa datang kesini?” tanya Sonya, lalu melempar asal tisu yang ia pakai ke atas meja.
“Mas Ibra memintaku untuk datang kesini Mbak_”
“Haih! Mbak mbak mbak! Panggil aku Nyonya, panggil aku dengan sebutan kampung itu jika di depan kakek dan orang tuamu saja.”
“Baik Nyonya!” jawab Aisyah patuh dan cepat, tidak ingin membuat Sonya semakin marah padanya.
“Mas Ibra_”
“Panggil mas Ibra dengan sebutan Tuan. Kamu belum jadi istri yang sesungguhnya, ingat itu!”
“Baik Nyonya.” Jawab Aira lagi, patuh. Rasanya memang ia belum pantas untuk menyandang status istri. Ucapan nyonya Sonya itu terasa benar dibenaknya.
“Tuan Ibra meminta saya untuk datang kesini, kata beliau anda akan membuat saya lebih layak untuk disentuh,” ucap Aira, ia masih menunduk dan menggigit bibir bawahnya kuat.
Ketika mengucapkan kata-kata itu, entah kenapa ada denyutan sakit yang ia rasa dihati. Seolah Aira baru saja merendahkan dirinya sendiri dihadapan orang lain.
Sonya berdecak dan Aira bisa mendengarnya dengan jelas.
“Apa tubuhmu memang kotor? Kalau bersih tidak perlu kemari, katakan saja pada suamimu jika tubuhmu itu bersih,” balas Sonya, dengan terkekeh. Tawa menghina yang ia berikan.
“Tu-tubuh saya memang kotor nyonya,” jawab Aira.
Nyaris saja air matanya jatuh andai ia tak buru-buru memejamkan matanya.
Ya, tubuhku memang kotor, aku belum membersihkan tubuhku semenjak acara pernikahan tadi, bahkan aku masih menggunakan baju pengantin. Batin Aira, menyemangati dirinya sendiri. Membuat semua ini jadi lebih masuk akal.
Bukan sebuah penghinaan atas dirinya.
Puas menghina Aira, Sonya lalu meminta madunya itu untuk mandi di kamar mandi miliknya. Menggunakan wewangian yang disukai oleh suaminya.
Mau tidak mau, ia memang harus membuat Aira layak untuk disentuh suaminya. Sonya, tidak ingin mengulur waktu memelihara Aira di rumah ini.
Ia ingin segera tahu bahwa Aira pun tidak bisa memiliki anak seperti dirinya. Dan untuk itu, Ibrahim harus menyentuhnya.
“Gunakan pakaian ini,” ucap Sonya, seraya melempar sebuah lingerie diatas ranjang.
Lingerie berwarna hitam pekat yang akan nampak kontras di kulit putih Aira.
“I-itu apa Nyonya?” tanya Aira bingung. Dimatanya itu bukanlah baju, meski ia tidak tahu apa namanya.
Kain yang sangat tipis, bahkan ********** pun begitu kecil dan hanya berbentuk segitiga.
Tidak, aku tidak mau memaki itu. Batin Aira, ia bahkan sedikit menggelengkan kepalanya.
“Pakailah, itu lingerie namanya. Di malam pertama setiap wanita memang memakai baju itu. Kamu tau apa gunanya? Untuk membangkitkan gairah suamimu.” Balas Sonya, sengit. Ia memilih duduk di sisi ranjang dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Lingerie itu adalah lingerie miliknya yang belum sempat ia pakai, karena kekecilan. Tubuhnya lebih tinggi dan berisi ketimbang Aira.
“Tapi Nyonya, sa-saya tidak pernah memakai baju seperti itu.”
“Hauh!” keluh Sonya, jengah. Paling malas ia mendengar keluh kesah apalagi cerita dari gadis kampung ini.
“Cepatlah pakai! Jangan membuatku marah. Pakai dan kembalilah ke kamarmu!” titah Sonya yang kembali meninggikan suaranya.
Aira, tidak punya keberanian untuk membantah. Meski hatinya merasa sesak, namun ia tetap mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Membenarkan ucapan nyonya Sonya, bahwa baju ini memang harus ia pakai, untuk membangkitkan gairah suaminya.
Ada air mata yang jatuh saat ia menggunakan baju itu, baju yang dimatanya sangat hina.
Menggunakan jubahnya, Aira lantas kembali ke kamarnya sendiri. Kamar dimana Ibrahim berada saat ini.
Mengetuk dan masuk ketika sudah mendapatkan izin.
Lalu berdiri tepat di hadapan Ibrahim yang duduk di sisi ranjang.
Ibrahim, kembali menatap dan menilai penampilan Aira.
Rambut panjang dan lurus, khas rambut rambut gadis desa. Kulitnya nampak putih bersih, tapi semua tubuhnya tidak ada yang bersisi. Membuat Ibrahim sampai geleng-geleng kepala. Bingung bagaimana agar ia bisa menyentuh Aira, karena hingga kini pun ia tidak berselera.
“Buka jubahmu.” Titah Ibrahim.
Membuat Aira mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak ingin diperlakukan seperti ini.
“Buka!”
“Baik Tuan,” jawab Aira takut-takut, matanya sudah nampak berkaca-kaca.
Pelan-pelan, Aira membuka jubah itu dan memperlihatkan semua tubuhnya yang hanya dibalut baju transparan.
Dan setelahnya, Ibrahim menariknya kuat hingga terbaring diatas ranjang.
Malam itu, jadi malam pertama yang paling kelam bagi Aira. Suaminya sendiri, memperlakukannya begitu kasar. Seolah ia bukanlah istri yang berharga.
Bahkan Ibrahim tidak peduli saat ia menangis merasakan sakit yang begitu dalam di inti tubuhnya.
Puas menumpahkan semua hasrat, Ibrahim langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Aira yang tubuhnya sudah terkoyak-koyak.
Air mata mengalir di sudut mata Aira, namun dengan segera ia menghapusnya.
Lalu meringkuk dan menarik selimut.
“Tidak apa-apa Aira, dia adalah suamimu, dia berhak atas tubuhmu. Tidak apa-apa Aira, tidak apa-apa.”
Tidak apa-apa.
Tidak apa-apa.
Terus Aira bergumam, menguatkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
Tidak apa-apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Akbar Razaq
Mirisnya jadi miskin jadi sarana perlakuan tak manusiawi dr si kaya yg arogan.Ujung ujungnya kata maaf sudah bs menghapus duka lara si miskin bahkan memberi kesempatan ke 2.
2024-12-16
0
ALNAZTRA ILMU
sakitnya bila diperlakukanntak selayaknya.. sedih
2025-01-16
0
komalia komalia
kasihan banget
2025-01-27
0