Selepas malam pertama kelam itu, Ibrahim tidak lagi menyentuh Aira. Ibrahim bahkan menjaga jarak dengan istri keduanya. Memilih bersikap seolah Aira tidak ada.
Tiap malam ia selalu menghabiskan waktu bersama istri pertamanya, Sonya.
Kakek Pram tidak menyadarinya, setahu kakek Pram, Ibrahim berlaku adil pada kedua istrinya. 1 minggu bermalam di kamar Sonya dan 1 minggu kemudian tidur di kamar Aira.
Tapi nyatanya, tiap jam 10 malam. Ibrahim akan keluar dari dalam kamar Aira dan tidur di kamar istri pertamanya.
Terus seperti itu hingga pernikahannya dengan Aira menginjak usia 2 bulan.
Seperti malam ini.
Aira, menghembuskan nafasnya lega saat Ibrahim keluar dari dalam kamarnya.
Ia bahkan sedikit berlari dan segera mengunci pintu kamarnya.
Jujur saja, Aira justru senang jika Ibrahim tidak bermalam di kamarnya. Selain takut Ibrahim kembali menyentuhnya dengan kasar, Aira juga merasa tidak bisa bernapas dengan lepas ketika ada suaminya yang dingin itu.
Bahkan seolah pergerakannya sangat terbatas.
Dan ketika Ibrahim keluar dari dalam kamar ini, Aira merasa lega, merasa merdeka. Ia bebas menikmati kamarnya yang luas, ranjangnya yang nyaman dan sesuka hati mau melakukan apa.
“Alhamdulilah,” gumam Aira, riang.
Ia lalu merebahkan tubuhnya dengan kasar di atas ranjang king size itu, tubuhnya bergoyang mengikuti empuknya kasur.
Aira menatap langit-langit kamarnya, lalu menghembuskan nafasnya berat. Baru ingat ternyata besok adalah hari minggu. Hari dimana Ibrahim akan tinggal di rumah.
Aira tidak menyukai itu, Aira lebih suka jika Ibrahim pergi bekerja saja.
“Apa yang harus aku lakukan besok, semoga saja kakek Pram pergi agar aku tidak memainkan peran menjadi istri yang baik untuk Tuan Ibrahim,” gumam Aira.
Ia lalu membenahi tidurnya dan mulai menarik selimut.
Membaca doa tidur lalu memejamkan matanya.
Pagi menjelang.
Hari minggu yang sangat tak disukai Aira akhirnya datang.
Sehabis shalat subuh ia sudah turun ke lantai 1 dan membantu para pelayan di dapur. Sementara Ibrahim pun sudah kembali ke kamar Aira dan tidak menemukan gadis desa itu di sana.
Sama seperti Aira, Ibrahim pun bisa bernapas lega jika tidak melihat gadis kampung itu.
Wajah lugu Aira selalu membuatnya kesal. Ibrahim bahkan berpikir jika Aira memanfaatkan wajah lugunya itu untuk mengelabui sang kakek.
“Mana ada gadis baik-baik yang mau jadi istri kedua jika bukan karena uang,” umpat Ibrahim yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
Tubuhnya basah dan merasa lebih segar.
Sedari awal ia sudah memperingati Aira agar tidak menyentuh semua baju dan barang-barang miliknya. Bahkan dengan tegas Ibrahim mengatakan jika Aira tidak perlu mempersiapkan semua kebutuhannya.
Semua sudah diurus oleh Sonya sebagai istri pertamaku. Ucap Ibrahim saat itu membuat Aira hanya bisa diam dan menganggukkan kepalanya patuh.
Fakta bahwa ia hanyalah istri kedua dan Sonya istri pertama tak bisa diperdebatkan, maka ia hanya bisa diam dan menerima semuanya.
Aira pun sadar diri, jika pernikahannya ini memang bukan berlandaskan cinta. Kakek Pram mengatakan jika ia menginginkan cucu dan Aira meminta kakek Pram untuk membiayai kedua orang tuanya pergi ke tanah suci.
Jika diingat-ingat pernikahan ini seperti sebuah kesepakatan. Karena itulah Aira tak bisa melawan, ia tidak memiliki kuasa.
Apalagi sebulan lalu kedua orang tuanya benar-benar pergi ke tanah suci. Ayah dan ibunya pulang dengan raut wajah yang berseri, penuh syukur.
Melihat itu Aira sangat bahagia dan ia tidak menginginkan hal yang lainnya lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dapur.
Aira langsung menutup mulutnya saat mencium aroma sambal yang menyengat. Ia bahkan langsung berlari ke kamar mandi dapur dan memuntahkan semua isi perutnya.
Sontak saja semua pelayan langsung heboh, tak ada lagi yang fokus dengan makanan yang mereka masak.
Bahkan Bik Sumi sang kepala pelayan di sana pun langsung menyusul Aira ke kamar mandi yang terbuka itu.
Ikut masuk ke sana dan memijat tengkuk Aira.
“Ya ampun Nyonya,” ucap Bik Sumi yang merasa iba. Aira terus muntah hingga wajahnya berubah jadi merah.
“Bik ...” Belum sempat Aira berucap, ia kembali mual dengan sangat dahsyat, apalagi disini ia pun masih mencium aroma cabai yang menyengat itu.
Dirasa isi perutnya habis, Aira langsung menutup hidungnya rapat-rapat dan keluar dari sana.
“Bik, aku tidak bisa mencium bau cabai apalagi sambal, aku mual Bik,” jujur Aira dengan mata yang masih berkaca-kaca.
Seketika itu juga Bik Sumi memerintahkan semua pelayan untuk membuang sambal dan cabai di dapur. Bahkan membuka jendela agar baunya segera pergi.
Merasa aman, Aira akhirnya membuka hidungnya dan menghirup udara banyak-banyak.
“Nyonya, sepertinya anda hamil,” ucap Bik Sum.
Membuat kakek Pram langsung terkejut, baru saja ia sampai di dapur dan mendengar ucapan Bik Sumi.
“Apa Sumi? Aira hamil?” tanya Pram yang langsung saja menghampiri keduanya dan bertanya dengan antusias.
Aira terdiam, juga menggigit bibir bawahnya kuat. Pasalnya ia pun tak tahu, kini ia hamil atau tidak.
Tak ingin banyak berasumsi, akhirnya Aira langsung memeriksakan dirinya sendiri. Menggunakan test pack yang dibelikan oleh salah satu pelayan akhirnya Aira kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara kakek Pram, Ibrahim dan Sonya sudah menunggu dengan cemas.
Sonya terus berharap jika semua dugaan orang-orang salah, Aira tidak hamil dan hanya masuk angin.
Ibrahim pun nampak tak antusias, meski dalam hati kecilnya ia pun berharap Aira benar-benar hamil. Hati kecil Ibrahim tidak bisa bohong, bahwa ia pun menginginkan seorang keturunan, anaknya, darah dagingnya.
Dengan was was mereka menunggu di ruang tengah rumah itu, hingga 5 menit kemudian Aira kembali mendatangi mereka semua.
Duduk di salah satu sisi dan mulai menunjukkan testpack itu.
“Aku hamil Kek,” ucap Aira lirih. Tidak mengatakan kepada suaminya, Aira malah mengatakannya kepada kakek Pram.
Bukan apa-apa, Aira paling tahu diantara mereka semua, kakek Pram adalah orang yang paling berharap atas kehamilan ini.
Dan mendengar ucapan Aira itu kakek Pram langsung mengucapkan kata syukur. Ia bahkan ia langsung bangkit dan mengelus pucuk kepala Aira dengan sayang.
“Alhamdulilah sayang, masya Allah kakek bahagia sekali. Terima kasih ya,” ucap Pram tulus, bahkan sangat tulus.
Saking bahagianya ia bahkan sampai meneteskan air mata. Sangat bersyukur cucunya akan lahir dari rahim Aira, gadis yang sholehah.
Sonya langsung pergi dari sana, sementara Ibrahim hanya terpaku di tempatnya duduk. Anak yang dikandung Aira adalah anak dirinya, namun Aira membuat seolah anak itu adalah anak kakek.
Ibrahim merasa tidak dianggap.
Namun tetap saja hatinya merasa berbunga mendengar kehamilan Aira itu.
Seminggu semenjak Aira dinyatakan hamil, Sonya terus saja membuat hidup Aira tidak nyaman, bahkan berulang kali Sonya mengucapkan kata-kata kasar dan jahat.
“Setelah anak itu lahir, mas Ibra akan menceraikan mu dan akulah yang akan menjadi ibu sambungnya,” ucap Sonya.
Sebuah ucapan yang membuat hati Aira bagai diiris sembilu, tiap malam ia terus menangis dengan memegangi perutnya yang masih rata.
Hingga saat di usia kehamilan ketiga bulan Aira mengalami pendarahan.
Kakek Pram sungguh terpukul. Hingga akhirnya kakek Pram meminta kepada Ibrahim untuk lebih memperhatikan Aira, lalu meminta Sonya untuk meninggalkan rumah mereka untuk sementara waktu.
Sonya meradang namun ia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi saat Ibrahim menyetujui keputusan kakek Pram.
“Awas kamu Aira,” umpat Sonya, sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan rumah. Lalu tinggal di rumah lain yang cukup jauh dari kediaman utama kakek Pram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
komalia komalia
Itu lah kalay hidup mengandalkan warisa jadi hidup nya cuma bisa di atur,coba kalau bisa berdiri di atas kaki sendiri semua dia yang nentuin bahkan jodoh sekali pun
2025-01-27
1
ALNAZTRA ILMU
kena kau.. tak layak dipanggil suami
2025-01-16
0
andi hastutty
Bagus kakek Pram
2024-09-06
0