TUMBAL HITAM
Hari ini tepat jam dua belas siang gak mendung seperti hari kemarin. Karena kemarin hujan turun terus menerus sepanjang hari, aku pikir sawah dan ladang akan banjir tapi ternyata masih seperti awalnya.
Bulan ini memang hujan datang lebih rajin ke bumi. Tapi kadang juga mendung seharian malahan nyatanya hujan sungkan tuk turun.
Tapi hari ini terik matahari terasa tepat berada dipusaran bumi, walau sudah pakai payung tapi panasnya masih tetap menyengat kulitku, terasa seperti membakar bagai tanpa ampun,
Langkah kaki ini pelan-pelan menapaki jalan menuju kebun cabai tempat Ibu dan Ayahku bekerja, Jalan tanah merah bertaburan daun dan ranting kering yang cukup untuk dua mobil ini sengaja dibuat warga terdahulu untuk mengangkut hasil panen mereka dengan mobil bak terbuka mereka. Tapi bulan ini belum ada panen besar-besaran, palingan cuma sekedar petik beberapa yang sudah masak.
Ditangan kananku menggenggam erat rantang nasi, rantang makan siang orang tua ku. Aku yakin Ibu dan Ayah sangat menantikan rantang ini.
Mereka sudah tau kalau jam segini aku pasti akan mengantarkan makan untuk mereka santap.
Jalan ini sepi, jalan tanah yang berkubang bekas lindasan ban mobil yang biasa orang lewati untuk pergi ke sawah dan ladang.
Di kanan kiri jalan terpampang nyata pemandangan pepohonan besar tumbuh lebat saling berdampingan mereka tumbuh liar dan subur jauh sebelum aku lahir ke dunia ini.
Sebenarnya suasana dijalan ini terasa hening dan sepi tapi nyatanya masih aku dengar suara-suara unggas yang berisik jauh dari dalam pepohonan.
Sebelum bertemu dengan pesawahan dan perkebunan aku dan semua warga di kampung ini memang selalu merasakan dinginnya suasana hutan yang sengaja dibelah.
Tapi untungnya perjalanan gak akan lama hanya butuh sepuluh menit untuk melewatinya. Disini gak ada begal, gak ada penjahat yang akan melukai, jadi setiap orang yang melewatinya siang atau malam gak akan diganggu manusia tapi mungkin binatang buas atau makhluk tak kasat mata.
Mungkin.
Tapi selama ini belum ada kejadian aneh di jalan ini apa lagi di desa tempat aku tinggal
Dalam tengah perjalanan aku bertemu berpapasan Mak Warsih, wanita tua renta yang sudah lama ditinggal mati suaminya. Anak-anaknya pun gak pernah pulang kampung, gosip dari tetangga kalau anak-anaknya pun lama di kota memang hidup miskin sampai-sampai mereka gak bisa pulang ke kampung untuk sekedar menengok orang tuanya, sampai suaminya meninggal pun. Anak-anaknya gak ada yang muncul satu orang pun. Padahal Mak Warsih punya tujuh orang anak. Itu menurut cerita para tetangga yang iba melihat Mak Warsih.
Mak Warsi terkenal selalu murah senyum setiap ia bertemu dengan siapa pun Mak Warsih selalu tersenyum walau giginya sudah habis semua. Ia ramah dan santun.
Ia berjalan tanpa alas kaki, mak Warsih memang sengaja gak pakai sendal. Pernah ada yang belikan tapi mak Warsih gak mau pakai sampai sekarang.
Jalannya gemetar pelan menatap wajahku, tatapan matanya sayu menyorot mataku.
Ia bungkuk,
jalannya pun lemah.
Diatas punggungnya ia menggendong kumpulan ranting setengah kering dengan kain panjang batik yang sudah kusam dan kotor.
Aku menaruh simpatik melihatnya, hatiku bergetar ingin sekedar meringankan bebannya
Aku sebagai orang muda gak sampai hati melihatnya begitu.
Langsung aja aku mulai menyapanya lebih dulu.
"Mau pulang Mak ?" sapaku dengan ramah
Langkahnya terhenti dan berdiri di depanku, matanya tetap menyorot mataku tanpa berkedip.
Ia justru gak jawab satu kata pun, tapi ia cuma tersenyum lepas dengan menatapku dalam-dalam, saat itu entah mengapa aku langsung merinding melihat wajahnya.
Tapi perasaan aneh aku itu gak aku gubris dan itu gak begitu penting sebenarnya, tanpa berlama-lama lagi langsung aja aku menawarkan bantuan untuknya.
"Aku bantu bawa aja ya Mak, aku bawain kayunya. Sekarang Emak pulang aja. Tapi Kayu ini aku bawa dulu ke kebun cabai, nanti setelah dari situ aku antar kayu ini ke rumah Emak. Emak pulang aja dulu aku mau antar nasi dulu,"
usahaku menawarkan bantuan kecil.
Tapi Mak Warsih masih tersenyum dan menggelengkan kepala kepadaku.
Ia lantas melewatiku lalu menepuk pundakku tiga kali. Tepukan yang lemah dan nyaris gak terasa, bahkan bagai tepukan angin.
Aku terdiam melihatnya pergi.
Ia melangkah sangat pelan yang kini membelakangiku , kakinya pun masih gemetar tanpa menghiraukan cuaca siang ini. Tanpa payung tanpa caping tanpa alas kaki tapi ia terlihat kuat.
Tapi ya sudah lah, beliau memang gak pernah mau merepotkan orang lain. Ia selalu berusaha melakukan sendiri. Mak Warsih memang selalu menolak bantuan dari orang lain.
Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali dan kini melewati jembatan pintu air kecil untuk pengairan sawah.
Dari kejauhan aku sudah bisa melihat Ibu dan Ayah ku duduk-duduk menungguku di saung yang menghadap kebun cabai.
Kebun cabai itu bukan milik orang tua ku, mereka hanya budak di kebun itu. Itu milik Pak Kris.
Aku melihat mereka dari arah samping saung, pandanganku memang masih jauh terlihat saung mereka begitu kecil dimataku.
Langkah ku sangat hati-hati karena ini jalan setapak penuh dengan rumput yang licin tapi sebentar lagi aku akan sampai, saung mulai terlihat besar dan wajah mereka mulai terlihat jelas
Seketika Ayah menoleh ke arahku , rupanya ia sudah merasakan kedatanganku, lalu disambung oleh Ibu yang ikut menoleh ke arahku. Mereka menyambutku dengan senyumnya, aku membalasnya dengan senyuman juga
Setelah sampai tepat di saung , Ayah lantas menyambut rantang tiga tingkat yang aku masak sendiri.
"Akhirnya datang juga" ucapnya sambil gak sabar membuka tutupnya.
Gak lama akhirnya mereka menikmati makanan itu dengan lahap sambil cerita-cerita diantara mereka.
Sementara aku hanya duduk-duduk menikmati pemandangan hijau luas membentang, angin yang sepoi-sepoi mengibaskan rambut panjangku, terasa sejuk serasa membayar perjalanan gersang barusan.
Sampai-sampai mataku sayu menikmati keindahan semesta ini, tiba-tiba saja aku ngantuk dan sempat juga pejamkan mata sesekali.
Saat aku tersadar dari rasa ngantuk, cepat-cepat aku membuka mataku tapi ada yang lain dari penglihatanku.
Tiba-tiba pandanganku terfokus pada satu titik. Aku melihat beberapa warga berdiri dekat di bendungan air. Jembatan yang tadi aku lewati. Meski pandangan itu cukup jauh tapi terlihat jelas warga berkumpul seperti melihat ke dalam sungai. Tapi sayangnya aku gak tau bagaimana ekspresi mereka.
Saking penasarannya aku tanyakan pada Ayah
"Ayah, di sana kenapa rame banget ya ?"
Langsung aja mata Ayah tertuju pada sumber yang aku maksud, meski aku gak menunjuk tapi Ayah tahu arah mana yang aku maksud
"Ooh, palingan ada yang dapat ikan besar, karena kemarin ada yang dapat ikan besar-besar dan banyak"
"Ooh, kirain apa" aku mengangguk-angguk paham.
Oh cuma tontonan ikan besar aja.
Ibu menyahutinya "Iya, ikan lele atau ikan gabus gitu ya, Ibu juga lupa. Pokoknya besar banget"
Mereka menjelaskannya tapi aku masih tetap tertuju pada satu titik itu. Walau ada sedikit yakin atau gak yakin.
Tapi batinku seakan berkata "Ya sudahlah" mungkin memang benar hanya tontonan ikan besar, karena memang hampir setiap hari ada aja yang mancing di situ.
Beberapa menit di Saung akhirnya matahari mulai meredup, meski terang tapi gak sepanas tadi. Awan-awan seolah dipaksa angin menutupi matahari.
Tapi pemandangan hari ini masih sama indah seperti kemarin-kemarin , warna kontras antara langit dan kebun membuat semua orang yang melihatnya mengaku keagungan Tuhan.
Cukup lama aku di kebun kira-kira jam dua akhirnya aku bergegas kembali pulang ke rumah, karena sebentar lagi adik ku. Tiara. Akan kembali ke rumah dari sekolahnya. Ia masih kelas tiga SD dan dia sangat pemalu
Tapi dari saung ini aku masih fokus pada pandanganku, karena warga semakin ramai, tapi Ayah dan Ibuku gak menggubris semua itu justru mereka melanjut kan pekerjaannya kembali.
Lantas aku pamit pada Ibu dan Ayah yang sudah berada ditengah kebun
"Bu, Yah. Aku pulang dulu ya" pamitku dari jauh
Ayah dan ibuku mempersilahkanku.
"Iya hati-hati, jangan lupa Tiara disuruh makan" pesan Ibu padaku
"Iya Bu, aku pulang" ucapku sambil pergi meninggalkan mereka
Kembali melangkah pulang dengan membawa rantang yang sekarang sudah kosong dan sudah dicuci juga oleh Ibu.
Tapi Sekarang langkah aku percepat dengan sengaja tapi tetap hati-hati karena salah-salah nanti aku kepeleset terperosot ke petakan lumpur yang belum ditanam bibit padi.
Karena saking penasarannya aku berharap cepat sampai di tepi sungai yang ramai.
Dan.
Perlahan aku mulai mendekati mereka dan karena penasaran yang semakin kuat akhirnya tanpa bertanya-tanya pada orang yang ada disitu lantas aku ikut menyaksikan apa yang mereka tonton di sungai.
Dan saat itu juga aku merasa bumi ini.
...
Gelap gulita
...
....
Aku jatuh pingsan.
...
....
Ketika aku siuman, aku sudah berada di kamar ku. Rupanya orang tua ku yang membopongku pulang.
Ibu bilang padaku kalau Pak Temo lah yang memberitahu orang tuaku saat aku pingsan.
Tapi aku masih pusing, mual dan masih trauma ketika melihat apa yang aku lihat itu membuat aku panik berkepanjangan.
Mungkin Ayah dan Ibuku akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi di bendungan tadi.
Tapi yang ini memang sulit dipahami.
Bagaimana bisa aku melihat Mak Warsih sudah gak bernyawa mengapung membiru di sungai kecil yang tenang itu. Sementara tadi aku bertemu dengannya di jalan. Aku bertemu dengannya benar-benar sosok manusia, ia menapaki jalannya, ia tersenyum padaku.
Dan itu nyata.
Tapi bagaimana bisa aku melihatnya seperti sudah beberapa hari mengapung dan kenapa baru sekarang ada warga melihatnya, kenapa tadi aku gak melihatnya ? Kenapa orang tuaku juga gak melihatnya ?.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku apakah ini mimpi ? Ini benar-benar membuat pikiranku semakin kacau
Kepalaku makin pusing seperti ditekan beban berat
Tapi rasanya aku mau ceritakan apa yang aku alami tapi mulutku terkunci karena gak yakin mereka akan percaya.
Walau itu nyata.
Ini benar-benar nyata.
Wajah Mak Warsi masih melekat membayang dikepalaku, entah kenapa sosok Mak Warsih tiba-tiba saja seperti mengikutiku, seperti ada disampingku sekarang. Seakan-akan saat ini imanku bagai tergoncang, akal sehatku seperti diuji dan dipaksa memahami apa yang terjadi
Suasana hati dan pikiranku semakin kacau.
Sontak aku teriak dengan keras.
Aaaaaarrrkkkhhh!
Sangat keras.
Aku hanya sanggup menutup wajahku dengan kedua tanganku, lalu mengusap-usap mataku berharap supaya wajah Mak Warsih gak membekas lagi dipikiranku
Ibu dan Ayahku cepat-cepat menghampiriku. Mereka panik dan bertanya-tanya.
"Kamu kenapa Ra ?" tanya Ibuku panik sambil memelukku.
Justru bukannya aku semakin tenang, aku malah semakin emosional lalu menangis sejadi jadinya. Tapi Ibu ku tetap sabar menenangkanku, ia tetap memelukku mengusap-usap kepalaku dengan lembut
Sementara Ayahku mengambilkan aku minum lalu meyodorkan segelas air putih padaku
Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, aku kembali tenang tapi bayang-bayang Mak Warsih masih terasa melekat dikepalaku.
Belum hilang
Kejadian aneh yang gak disangka-sangka, senyuman tadi siang, tepukan yang lemah, kaki yang gemetar sampai akhirnya aku melihatnya diam terbujur kaku tanpa senyuman simpul lagi.
Ini sudah lewat jam lima sore rupanya Mak Warsih sudah dimakamkan selama aku pingsan tadi.
Suasana berkabung masih terasa sekali walau kami sadar Mak Warsih bukan siapa-siapa bagi sebagian warga di kampung kecil ini. Tapi karena sosoknya yang baik kami merasa kehilangan.
Ibu bilang sempat ada polisi yang datang membantu evakuasi Mak Warsih. Tapi gak banyak, cuma dua orang saja.
Tapi sepertinya Ibu juga mulai merasakan keanehan pada sikapku sore ini. Mungkin sepertinya Ibu gak bisa berbuat apa-apa selain mengucap doa.
"Kamu kenapa sih Ra ?" tanyanya dengan lembut
Aku masih diam saja mulut masih terkunci rapat-rapat tapi hati ingin rasanya buka cerita tapi pasti mereka gak akan percaya.
Ayah mulai memancingku untuk bicara, ia duduk disampingku, pertanyaannya masih sama seperti pertanyaan Ibu,
"Ra, coba ceritakan apa yang kamu rasakan" pancing Ayah
Aku masih diam.
"Coba ceritakan" paksa Ayah
Tapi entah kenapa ada rasa gak siap untuk cerita, aku berada dalam trauma yang sulit aku utarakan dan pastinya sulit mereka percaya.
Tiara masuk ke kamarku, ia minta didampingi untuk mengerjakan PR dari sekolahnya. Biasanya aku yang mengajarinya tapi mungkin gak sekarang.
"Kak, aku mau kerjain PR" ucapnya
Aku, Ayah dan Ibu menolehnya.
Tapi Ibu yang menjawabnya
"Yuk, sama Ibu aja kerjain PRnya" ajak ibu sambil menuntun Tiara keluar kamar
Sekarang tinggal aku dan Ayah
Akhirnya aku bersiap untuk meceritakan semua yang terjadi padaku
"Yah, tadi aku ketemu Mak Warsih sebelum sampai di saung" ucapku mengawali obrolan
Ayah menatapku dan gak percaya.
"Ah, kapan ?"
"Tadi jam dua belasan pas aku jalan mau ke kebun. Aku ketemu sama Mak Warsih, aku sempat papasan muka"
Tapi Ayah tetap gak percaya.
"Kamu jangan ngaco, itu Mak Warsih diperkirakan meninggal sudah beberapa hari" ucap Ayah makin gak percaya.
Aku yang merasakan kenyataannya semakin berusaha membuat Ayah percaya
"Beneran Yah, aku bener-bener ketemu sama Mak Warsih. Sekarang gini deh, kenapa tadi Ayah gak lihat Mak Warsih di sungai ? Padahal kan Ayah sama Ibu ngelewatin jembatan itu"
Kali ini penekanan kalimat dan nadaku semakin aku perjelas supaya Ayah, aku yakinkan kalau aku gak mengada-ngada.
Akhirnya raut wajah Ayah mulai sedikit percaya tapi Ayah seperti memikirkan sesuatu dikepalanya.
Suasana hening sejenak.
Tapi suasana itu pecah karena ada bunyi dari balik jendela kamarku.
Brukkk..Brukk..Brukkk!
Aku dan Ayah sontak kaget menoleh ke sumber suara
Brukk..brukkk...brukkk!
Pintu jendelaku dikibas oleh angin yang kencang. Rupanya diluar mendung.
Ayah menutupnya lalu kembali duduk disampingku.
"Kamu yakin kamu merasakan itu semua ?" tanyanya
Aku mengangguk.
"Iya, aku berani sumpah,Yah. Aku memang bertemu dengan Mak Warsih. Tapi dia gak ngomong apa-apa, dia cuma senyum terus pergi" ceritaku lagi
Sepertinya ayah mulai percaya dengan ceritaku tapi masih terlihat keraguan diwajahnya.
"Ra, kalau memang cerita kamu ini nyata, sebaiknya kamu dan Ayah aja yang tahu. Kamu gak perlu cerita ke Ibu ke Tiara bahkan ke warga sini. Karena akan heboh" pinta ayah padaku.
Aku paham yang dimaksud ayah.
Aku mengangguk setuju.
"Iya, Yah. Tapi aku jadi takut tidur sendirian"
"Kalau gitu nanti Ibu sama Tiara yang temani kamu tidur ya, Ayah panggil mereka dulu"
"Iya" aku mengangguk
Sementara Ayah panggil Ibu dan Tiara yang lagi belajar di ruang tamu. Entah kenapa padahal cuma sebentar tapi aku merasa lama sekali dan aku ketakutan menunggu mereka, Karena mendadak aku merasakan suasana kamar ini sangat dingin mencekam
Ibu dan Tiara masuk ke dalam kamarku, tapi Ayah gak masuk
"Ayah ke mana Bu ?" tanyaku
"Ke warung katanya mau nongkrong" jawabnya
"Ooh"
Sementara Tiara naik ke atas kasurku lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Kamu mau makan dulu Ra, atau mau mandi dulu ?" tanya Ibuku.
Jujur, sebenarnya aku masih takut untuk mandi tapi karena Ayah bilang jangan ceritakan ke Ibu, akhirnya aku beranikan diri untuk mandi.
Hari sudah semakin gelap, Tiara pun sudah selesai menyelesaikan PR nya. Aku juga sudah selesai mandi dan makan. Saatnya tidur ditemani Ibu dan Tiara.
Tapi sialnya aku terbangun ditengah malam, aku melihat Ibu dan Tiara sangat pulas.
Mataku terjaga, melirik ruangan kanan kiri atas bawah seolah waspada akan suatu hal yang tiba-tiba muncul.
Malam sunyi mencekam tepat jam dua
Terdengar satu kali bunyi pintu terbuka pelan
kreeekkk...kkk!
Tapi aku gak tahu pintu yang mana tapi suara terasa sekali dikupingku. Mungkin aja itu Ayah atau angin yang mendorong pintu
Tiba-tiba hujan turun begitu deras, suara ranting pohon saling beradu, deru hujan disertai angin kencang dan suara gemercik air jatuh ke punggung genting akhirnya membuat aku ngantuk kembali.
Aku kembali tidur .
Tiba-tiba saja aku sudah bangun jam lima subuh. Tapi aku gak mimpi apa-apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Bill Sall
asikk bangettttt
2022-02-13
1
Mawar
👍👍
2022-02-13
1
Anggra
awalny dah seruuu...lanjuttt
2022-02-12
1