4. KEPAHITAN YANG MENDALAM

Pagi-pagi buta suara adzan shubuh membangunkan ku, terdengar suara gemercik air di sebelah kamarku sepertinya Ibu bersiap untuk sholat. Tapi pagi ini entah kenapa aku malas beranjak untuk Sholat, aku lebih memilih untuk melanjutkan tidur.

Tapi sialnya aku malah mimpi buruk.

Bagaimana enggak, aku bermimpi bertemu dengan Mak Warsih, rupa wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya, dan ini seperti nyata dipenglihatanku seperti benar-benar bertemu dengannya

Ia berjalan sempoyongan menghampiriku membawa buntalan kain yang entah apa isinya. Buntalan kain yang lusuh dan penuh dengan noda tanah yang sudah kering.

Aku juga merasa berada di dimensi yang berbeda, disebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.

Aku gak bisa mendeskripsikan seperti apa tempatnya, yang pasti tempat itu seperti mencekam

Setelah Mak Warsih berdiri tepat di hadapanku kemudian ia mengeluarkan gulungan sirih lalu menyodorkan sirih itu kepadaku.

Langsung aja aku menolaknya. Karena memang aku gak pernah mengunyah sirih

"Gak usah Mak, aku gak doyan Mak" tolakku sambil tanganku mengisyaratkan penolakan

Tapi rupanya Mak Warsih kecewa dengan penolakanku, raut wajahnya berubah cadas, matanya hitam sampai putih matanya pun gak kelihatan, itu membuatnya menjadi seram ditambah tatapan matanya semakin tajam menembus menatapku.

Disitu aku jadi sanksi melihat sikapnya lalu mencoba mengambil sirih yang masih Mak Warsih pegang tapi Mak Warsih malah menepis tanganku dengan tangan kirinya

Terlihat sekali ia marah padaku sambil mengatakan satu hal

"Kamu adalah orang yang akan dikutuk oleh seseorang. Camkan itu!!!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

Mendengarnya aku langsung gemetar tapi meski begitu aku tetap mempertanyakan maksud dari kalimatnya

"Maksudnya apa Mak ? aku gak ngerti"

Tapi Mak Warsih gak mau menjawab apa yang aku pertanyakan, dia malah tetap menunjuk-nunjuk wajahku dan tetap bilang

"Kamu dikutuK !" ucapnya

"Dikutuk ?"

"Kenapa ?"

"Sama siapa ?"

Aku bertanya - tanya dalam hati

Tapi Mak Warsih masih tetap menunjuk wajahku masih dengan tatapan mata yang semakin menusuk sampai jantungku.

Dia bilang padaku "Tumbal Hitam mengincarmu" ucapnya

Mendengarnya aku panik, mataku terbelalak ketakutan tanganku dingin makin gemetar

Gak ada satupun kata-kata aku lontarkan padanya sampai dia melebur lalu menghilang dari hadapanku.

Saat ia sudah pergi aku seperti kembali ke dunia ku yang sebelumnya, sebenarnya aku masih tidur tapi setelah bertemu Mak Warsih tayangan mimpiku gelap begitu aja.

Akhirnya aku dibangunkan Ibu. Rupanya jam dinding kamarku sudah menunjukkan jam delapan pagi.

"Tadi kamu mimpi apa ?" tanya Ibu

Aku memandang wajah Ibu yang terlihat bingung menatapku. Langsung aja aku beranjak duduk tapi masih ditempat tidur

"Tadi kamu ngomong sendiri tapi gak jelas apa yang kamu omong" ucap Ibu

"Aku ngigau ya Bu ?" tanyaku

"Iya kamu ngigau, mimpi apa sih ?" tanyanya "Dari tadi dibangunin gak bangun-bangun, hampir setangah jam loh kamu ngigau" Tambahnya

Mendengar kesaksian Ibu aku jadi mengingat kembali mimpi aku barusan, tiba-tiba bulu kuduk aku merinding seolah itu benar-benar terjadi.

"Bu, badan aku kayak remuk semua nih. Tulang punggung aku sakit banget, nyeri banget" keluhku

Ibu langsung menyentuh punggungku seperti mau mengecek

"Yaudah sini Ibu urut aja yah siapa tau lebih enakan" pintanya

Aku mengangguk lalu membuka bajuku.

Tapi Ibu malah sontak panik histeris

"Astafirughlaallaziimmm!"

Sontak Ibu kaget melihat kondisi punggungku "Kenapa punggung kamu bisa banyak biru lebam begini, kayak habis dipukulin !" paniknya

Aku yang gak bisa melihatnya juga bingung harus panik atau bagaimana tapi kepanikan Ibu cukup membuatku ketakutan.

Akhirnya Ibu punya akal lalu mengambilkan cermin yang cukup besar lalu memantulkan punggungku supaya aku bisa lihat.

Dan.

Ini kejutan dipagi yang cerah untukku.

Langsung aja kaki ku lemas, sekelujur tubuhku dingin dan merinding

"Kenapa bisa begini sih Ra ?" tanya Ibu yang masih panik melihatnya

Seketika aku menangis sejadi-jadinya

Hu..hu..hu..hu..hu!

Ibu jadi ikutan menangis melihatku, ia memelukku sangat erat.

"Bu, apa aku bakalan mati hari ini ?" tanyaku masih menangis sampai terisak

Langsung ibu menepis pertanyaanku

"Kamu ngomong apa ? kamu gak boleh ngomong begitu Ra " tegasnya

Tapi aku masih menangis dan mengingat kembali peristiwa yang aku alami akhir-akhir ini. Apa ini ada hubungannya dengan Mak Warsih ? atau apa memang Mak Warsih yang sebenarnya mau menumbalkanku. Tapi apa maksudnya "Tumbal Hitam" itu ?

Kalaupun Mak Warsih mau menumbalkan ku, apa salah aku ? apa kesalahan keluargaku ?

Ibu mengecek suhu tubuhku

"Badan kamu dingin sekali, pakai bajumu lagi. Kita ke puskesmas lagi ya" ajaknya

Tapi mendadak aku malah menolaknya dan aku sudah berhenti menangis

"Gak usah Bu"

"Kenapa ?" Ibu bingung dengan jawabanku

"Demam aku sudah sembuh"

"Tapi punggung kamu biru-biru, hampir satu punggung kamu semuanya lebam biru"

Tapi aku tetap menolaknya

"Gak usah Bu, nanti juga hilang sendiri" yakinku

Mendengarku bilang begitu akhirnya Ibu menatapku tapi air matanya jatuh. Ia menarik napasnya dalam-dalam dan menyetujui penolakanku.

"Ya sudah sekarang kamu mandi ya, jangan lupa makan. Ibu mau susul Ayah ke kebun. Oh ya nanti gak usah anter makan ya, Ibu sudah bawa makan siang juga"

Aku mengangguk paham

Lalu setelah pamit Ibu pergi meninggalkanku sendirian, sementara Tiara nanti akan pulang dari sekolah jam dua siang.

Setelah mandi air hangat aku jadi merasa lebih baik. Sambil menunggu Tiara pulang aku merapikan rumah, mencuci piring , mencuci baju, menyapu setiap ruangan sampai akhirnya selesai pada jam satu siang.

Saat aku duduk untuk beristirahat sebentar aku merasakan ada sosok yang masuk ke dalam rumah, ia seperti berdiam berdiri memantauku dari pintu dapur.

Tapi aku gak merinding sama sekali, justru aku tetap tenang seperti gak merasakan apa-apa, cuma memang aku merasakan ada yang memperhatikanku dari situ.

Karena langit mulai redup dan di dalam ruangan rumah pun sudah mulai gelap aku putuskan untuk menyalakan lampu tapi rupanya listrik lagi padam.

Jam dua siang sudah tiba, Tiara juga sudah pulang setelah ia mengucap salam dan mengganti seragamnya. Aku buatkan ia makan dan susu.

"Kak, hari ini aku gak main" infonya padaku

Karena memang setelah makan biasanya Tiara main ke rumah temannya untuk menonton tivi atau sekedar bermain permainan bersama temannya, sekitaran jam empat sore ia kembali pulang

"Memangnya kenapa ?" tanyaku

"Karena lagi mati lampu" Jawabnya

Oh iya benar juga lagi mati listrik. Rupanya dia tau juga

"Tau dari mama Tia ?" tanyaku, kali ini aku sambil rebahan di sampingnya

"Tadi di sekolah mati lampu, trus sekalian lewat pulang, temen aku nanyain ke Mamanya kata Mamanya di rumahnya mati lampu juga jadi gak bisa nonton tivi" jelasnya

"Oh gitu, tapi kan gak harus nonton tivi juga bisa main tak umpet atau main taplak main rumah-rumahan banyak lah permainan"

"Iya tapi aku lagi gak mau keluar main hari ini" jawabnya dengan raut wajah yang murung

"Kenapa ? kok tumben. Biasanya juga main" tanyaku

"Gak apa-apa" cueknya

"Kamu lagi marahan ya ?" tebakku

Tiara diam saja dan membawa piringnya yang sudah kosong untuk ia cuci ke dapur.

Aku tau apa yang dia rasakan saat ini karena dulu pun aku sempat merasakan rasanya diejek oleh teman-teman karena bayaran sekolah yang menunggak, seragam yang lusuh dan sepatu yang rusak. Saat itu aku benar-benar gak sanggup melewatinya tapi akhirnya setelah lulus sekolah semua seperti berlalu begitu cepat.

Jam lima Sore Ayah dan Ibu pulang mereka pulang sekaligus membawa kayu bakar, aku membantunya menaruh kayu bakar dilumbung kayu belakang rumah begitu pun Ayah yang juga turut menyimpannya sementara Ibu sedang di dapur bersiap-siap masak untuk makan malam.

Tiba-tiba Ayah menjerit kesakitan lalu tersungkur di tanah halaman belakang

"Aarhhkkk !"

Sontak aku dan Ibu langsung menghampirinya kemudian disusul kedatangan Tiara

Ibu yang terlihat sangat panik melihat Ayah meronta-ronta kesakitan. Ayah terus-terusan memegang kaki kanannya aku dan Ibu gak kuat menahan kendali Ayah sampai-sampai ia berguling-guling.

Sementara Tiara menangis sejadi-jadinya melihat Ayah kalang kabut menahan kakinya yang tiba-tiba sakit

"Kaki ku putus haduh sakit ! sakit ! tolong!" teriak Ayah.

Aku dan Ibu semakin bingung lalu Ibu mencoba menenangkan Ayah

"Sabar Ayah..sabar..!" ucapnya yang terus menenangkan

Sementara Tiara masih menangis melihat peristiwa yang gak jelas asal nya itu.

"Kakiku nyut-nyutan, ampuunnn.. kaki ku mau copot rasanya" keluh Ayah

Ia masih memegang kakinya dan masih terbaring di tanah.

Melihat kejadian miris itu spontan saja didalam hati aku mengucap doa untuk kesembuhan Ayah, sampai aku gak menyadari air mataku sudah membasahi pipiku.

Tiara memelukku ku dengan erat ia terlihat sangat ketakutan.

Tapi Ayah masih meringis kesakitan meski gak separah tadi, lama kelamaan ayah mulai tenang seperti sudah bisa menahan rasa sakit yang dia derita.

"Sakit banget Bu, ini kenapa ya ?" tanyanya pada Ibu yang sebenarnya Ibu juga gak bisa jawab

"Ibu gak tau , memangnya masih sakit, Yah ?" tanya Ibu

Ayah mengangguk tapi sambil berusaha berdiri dan berjalan walau dibantu Ibu untuk masuk ke dalam rumah.

Ayah duduk melantai diruang tengah sementara Kbu memijat pelan kaki Ayah. Tiara memeluk Ayah, ia masih menangis tesendat-sendat tapi Ayah berusaha menangkannya

"Ayah gak apa-apa. Ayah cuma sakit biasa" ucapnya.

Dalam kondisi seperti ini aku mulai menghubung-hubungkan kejadian hari ini dengan mimpi aku semalam.

Apa ini ya yang dimaksud "Tumbal Hitam" itu ?

Aku pergi ke Kamar lalu membuka setengah bajuku aku melihat bagian punggung, aku mau lihat lagi kondisi punggungku tapi rupanya masih lebam masih sama seperti tadi pagi.

Sempat aku terdiam memikirkan apa yang terjadi tapi karena ini sudah mau masuk maghrib jadinya aku harus menggantikan Ibu memasak, karena Ibu akan merawat ayah untuk sementara waktu

Setelah masakan sudah matang aku lanjut hidangkan dihadapan Ayah, Ibu dan Tiara.

Kami makan bersama seperti biasanya gak ada yang berbeda masih sama seperti hari-hari biasanya.

Setelah selesai makan Ayah beranjak ke dapur tapi ketika mau berdiri Ayah gak bisa

Ayah langsung panik "Kaki aku kenapa ini kok kayak gak bisa berdiri lagi ya ?"

Ibu langsung mendekat mencoba menopang Ayah tapi hasilnya sama aja.

"Gak bisa Bu, kaki Ayah yang ini gak bisa berdiri lagi. Kaki Ayah lumpuh satu..hu..hu..hu..hu" ucap ayah lalu menangis histeris sambil bersujud

Kami yang melihat Ayah menderita begitu jadi ikut menangis dibuatnya.

Hu..hu..hu..hu!

Tapi Ibu yang menjadi penengah kami, ia berusaha menenangkan hati kami walau aku tau Ibu juga dalam kesedihan mendalam

Terpopuler

Comments

Rania Puspa

Rania Puspa

Bu tiwi yg mau menumbalkan tiara pasti krn blom knal kok dy baik bgt

2022-03-01

1

Kustri

Kustri

Ya Allah kasian😢

2022-02-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!