Ayah masih belum keluar dari kamarnya ia masih meratapi penderitaannya yang membuatnya semakin hancur. Dari semenjak kejadian sampai sekarang ia masih syok dan nasih gak habis pikir dengan apa yang menimpanya. Padahal Ibu sudah berusaha membujuknya untuk tetap tawakal tapi bagaimana pun kasus Ayah saat ini memang benar-benar menyedihkan. Siapa pun yang mengalaminya pasti akan syok dan dan lebih parahnya lagi bisa-bisa lebih memilih untuk bunuh diri saja
Hari ini kebetulan hari minggu jadi pagi-pagi sekali Tiara sudah melengos ke rumah temannya untuk menonton doraemon nanti setelah jam sepuluh dia akan kembali. Tiara sudah terbiasa seperti itu dan memang sudah diijinkan Ibu
Pagi ini aku dan Ibu berada di dapur bersama. Kami mau goreng ubi singkong kesukaan Ayah karena memang Ayah juga belum sarapan meskipun minum segelas air putih pun. Ayah tetap belum mau makan dan minum
Sambil Ibu mempersiapkan bumbunya dan aku mengupas kulit singkong, kali ini Ibu mau membicarakan hal serius padaku, suatu hal yang gak mungkin aku tolak.
"Ra, Ibu mau bicara sebentar sama kamu"
"Iya Bu" ucapku yang masih mengupas
Aku mulai mengambil posisi untuk menyimak Ibu yang sepertinya akan membicarakan hal serius. Sesekali juga Ibu memasukkan kayu bakar ke dalam tungku yang diatasnya sudah ia siapkan kuali dan minyak goreng pemberian Bu Tiwi
"Ibu sudah putuskan untuk gak kerja lagi di kebun karena sekarang inikan Ayah lagi sakit, kalau Ibu ke kebun nanti yang rawat Ayah siapa"
Sambil hati-hati mengupas, aku mendengarkannya
"Oh jadi Ibu gak kerja di kebun lagi ? tapi ya, sebenernya kalau masalah ngerawat Ayah kan bisa sama aku"
Ibu menghela napasnya pelan
"Kamu gak akan sanggup merawat Ayah, karena sekarang ini psikis Ayah sedang terganggu"
"Ya sih"
"Bu, seandainya aku bisa kerja di Jakarta, aku yakin banget pasti bisa berhasil di sana" yakinku
"Kalau memang tekad kamu sudah bulat ya kamu jalankan aja, tapi kan yang jadi masalahnya Ibu belum ada uang untuk ongkos kamu ke sana"
"Iya Bu, tapi kadang aku suka minder liat temen-temen aku ada yang les komputer, ada yang kuliah, ada yang sudah kerja di kota sementara aku, ijasa aja gak keambil sering dihina sama teman-teman aku"
Nadaku melemah menahan air mata, sepertinya Ibu juga tau dari suaraku yang tiba-tiba serak
Saat bersamaan itu Ibu lantas menyemangatiku dengan caranya
"Kamu gak boleh minder loh, selama kamu masih sehat dan punya rencana ke masa depan perjalanan kamu pasti lebih berhasil dari mereka. Kalau sekarang kamu gagal jadi orang kaya ya kamu harus bisa menjadikan anak kamu kaya. Seperti Ibu dan Ayah cuma lulusan SD tapi Ibu menjadikan kamu lulusan SMA. Ada kemajuan kan ?. Dihidup ini pandangan kita harus tetap lurus, boleh lihat kanan kiri asal itu kamu jadikan referensi perjalanan kamu, jangan udah tau itu salah kamu malah ikut, giliran kamu tau itu enak kamu malah keenakan disitu ya akan maju-maju dan malah kesannya gak tau diri" pesannya sambil menggoreng singkong
Mendengar Ibu menasehatiku seperti itu justru semangatku menurun, aku jadi ingat cerita temanku kalau mau bekerja di kota harus pakai ijasa sementara ijasaku belum bisa aku ambil dari sekolah karena aku belum bisa melunasi pembayaran di sekolah
"Bu, kira-kira kepala sekolah mau pinjamkan ijasa aku gak ya ?, aku mau foto copynya aja"
Sejenak Ibu berfikir.
"Mmmm, Ibu kurang tahu tapi coba nanti kamu ke sana aja, tapi nanti Ibu temani deh"
Aku senang mendengarnya kalau Ibu mau temani aku minta foto copy ijasa
"Iya Bu, kita ke sana besok ya Bu ?" tiba-tiba semangatku naik dua kali lipat
"Iya, kita coba minta foto copynya aja dulu siapa tau kepala sekolahnya ngertiin kondisi kita"
"Iya Bu"
"Oh ya, Kamu mau bantu Ibu kerja gak ?"
"Kerja, maksudnya ?, dimana bu ?" tanyaku
"Iya nanti kita kerja di pasar dulu jadi kuli angkut. Jadi kalau ada sayuran turun kita bantu angkut" jelas Ibu
"Oh gitu, kapan bu ?" tanyaku lagi
"Besok subuh kita ke sana. Tapi kamu siap kan ?"
"Iya Bu, aku siap"
Matahari sudah mulai bergerak melewati atas atap rumah begitu juga sebentar lagi singkong sudah siap disajikan, Tiara juga sudah pulang.
Tiara menemui kami di dapur rupanya ia menyium aroma singkong goreng yang menggoda selera makannya
"Haruuummm" ucapnya tiba-tiba saja muncul dari pintu dapur
Ibu yang sekarang sudah menggoreng menolehnya sebentar lalu fokus lagi ke kualinya.
Tiara mendekati Ibu tepatnya mendekati baskom plastik berisikan singkong yang sudah digoreng, Sepertinya karena saking gak tahan dengan aroma enaknya Tiara langsung aja ambil satu potong singkong
"Aku ambil satu ya Bu" pintanya sambil memilih yang sudah dingin dan langsung ia makan
Sambil menggoreng Ibu mengangguk tanpa menolehnya.
"Iya ambil aja"
Sementara aku menata singkong goreng di piring kaca hadiah sabun lalu membuatkan kopi untuk Ayah. Kemudian aku tata keduanya di atas nampan lalu aku berikan pada Tiara untuk diberikan kepada Ayah yang sampai detik ini aku lihat masih tidur di kamarnya
"Tolong kasih Ayah ya" pintaku padanya yang sekarang jadi menonton Ibu menggoreng sambil makan singkong yang ia ambil tadi
Tiara menurutinya "Iya" lalu langsung mengambil nampannya dariku lalu beranjak pergi dengan hati-hati ia membawa nampannya
Beberapa menit ia kembali lagi ke dapur.
"Bu, dari tadi aku bangunin Ayah kok gak bangun-bangun ya ?" ucapnya kebingungan
Aku dan Ibu lebih panik mendengarnya dan langsung bergegas ke kamar Ayah. Sampai-sampai Ibu gak peduli lagi kalau masih ada singkong yang masih digoreng
Aku dan Ibu melangkah cepat saking paniknya
Setibanya di kamar Ibu langsung mengoyakkan tubuh Ayah beberapa kali, posisi Ayah yang terbaring miring membelakangi kami membuat hati kecil curiga tapi berusaha tetap berfikir yang baik
Apa lagi Ayah gak bergerak dan menyahut sama sekali ,badannya juga agak sedikit kaku.
Ibu berusaha membalikkan badan Ayah sampai bisa menghadap kami tapi usaha itu sia-sia. Saat itu aku bisa melihat raut wajah Ibu yang khawatir mendalam, Ibu memeluk ayah dari belakang tangannya menyentuh dada Ayah lalu menangis tanpa suara sambil mengucap
"lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"
Ibu menangis terisak seolah gak sanggup menahan pedihnya yang ia alami.
Aku memeluk Tiara, aku menangis begitu aja. Tiara memelukku ia menangis juga
Ibu masih memeluk Ayah tapi aku gak sanggup melakukannya karena kisah ini terlalu pedih untuk aku lalui
Beberapa menit kemudian Ibu melepaskan pelukannya lalu memeluk aku dan Tiara. Pelukan itu seolah pertanda kalau Ibu benar-benar sudah berada di titik kelumpuhan dan kami lah obatnya.
Kami menangis bersama di kamar yang semakin mencekam, kami menangis sejadi-jadinya di samping jasad Ayah yang pergi begitu saja tanpa pamit tanpa pesan.
Bagiku ini adalah suasana siang yang paling rapuh bagi kami sampai-sampai kami sudah gak perduli lagi masakan Ibu yang tadi ditinggal sudah menjadi gosong dan kayu bakarnya pun sudah menjadi bara.
Suasana menjadi sangat dingin, duka yang mendalam seolah merobek semua harapan ku dimasa depan. Pikiranku kacau, penyemangatku hilang satu.
Dengan ketegaran Ibu dan meski pun matanya masih basah ia bergegas ke luar rumah untuk memberitahukan kepada warga kalau Ayah sudah meninggal.
Sementara aku hanya bisa menyelimuti Ayah tapi selimut itu cuma sampai bahunya aja, karena aku gak mau menyelimutinya sampai menutupi kepalanya walau aku gak mau melihat wajahnya. Aku mau Ayah terlihat tidur pulas hari ini.
Sebenarnya aku mau peluk Ayah tapi batinku menolaknya, karena masih gak sanggup dengan bayangan hari esok tanpa sosok Ayah.
Jujur aja aku gak siap dan gak akan pernah siap ditinggalkan Ayah dengan cara begini. Tapi jika semesta yang meminta pastinya siapapun gak bisa berontak
Air mataku jatuh ke bajunya pertanda hatiku hancur sehancur-hancurnya menyaksikannya kaku gak berdaya.
"Yah, aku minta maaf selama ini aku gak bisa jadi anak yang berbakti...hu..hu..hu...aku gak bisa memberikan kebahagiaan materil yang sebenarnya Ayah mau dariku...hu..hu..hu"
Aku masih menangisi Ayah, begitupun Tiara yang cuma bisa menangis berdiri disamping Ayah sambil panggil-panggil Ayah
Beberapa menit kemudian beberapa warga sudah datang ke rumah lalu dengan cepat saling membantu mengurus jenaza Ayah.
Saat itu rumah penuh dengan tamu yang melayat, bendera kuning tertancap di depan rumah, doa yang diucapkan dengan bersamaan pun semakin terdengar pilu. Ibu memang sudah gak menangis lagi tapi sembab matanya gak bisa berbohong.
Setelah pemakaman selesai suasana rumah mendadak sepi sekali, hening seperti tanpa penghuni. Aku melihat Ibu duduk melamun di ruang tengah saat itu Tiara sudah tidur. Aku mendekati Ibu tapi Ibu tau maksudku
"Bu" ucapku sambil memeluknya dari samping tanpa aku sadari aku menangis, karena aku menangis Ibu jadi ikut menangis tapi Ibu yang menenangkan aku
Ibu mengusap-usap kepalaku dengan lembut
"Jodoh, rejeki, kematian kita gak pernah tau kapan datangnya, Ra" ucapnya, suaranya serak dan berat. Aku tau sebenarnya dia hanya berpura-pura kuat aja
Tapi aku gak ngejawab apa-apa, aku cuma bisa menangis dan tetap memeluknya semakin erat
"Ra, kalau kamu mau ke Jakarta. Pergilah. Ibu doakan kamu berhasil di sana. Ibu baru ingat kalau bos sayur di pasar yang mau terima kita kerja juga kirim sayurannya ke Jakarta. Siapa tau dia bisa nolongin kamu. Kasih kamu tumpangan"
Mendengar saran ibu tiba-tiba selera pergi ke Jakarta sudah hilang. Mungkin saat ini duka masih menjadi pemenangnya
"Tapi seblumnya , besok kita pergi dulu ke pasar, jam enam kan sudah pulang ke rumah lagi, nanti setelah menyiapkan Tiara pergi ke sekolah kita langsug pergi ke sekolah kamu untuk minta foto copy ijasa, sehabis itu besok shubuhnya baru deh kita omongin ke Bos sayurnya" ucapnya dengan yakin
Aku mengangguk saja dengan rencananya Ibu meski air mataku masih belum berhenti mengalir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Eka Agustina
mengandung bawang.😭😭
2022-03-10
1
Rania Puspa
mungkin jadi tumbal Ayahnya krn terlalu tiba² tpi Allah pemilik khendak atas umatnya kita bisa apa??
2022-03-01
1
Iwana Weo
asli seperti yg ku rasakan.kematian ortu yg tiba2 tanpa pesan ato firasat
2022-02-13
1