NovelToon NovelToon

TUMBAL HITAM

1. RAHASIA AKU DAN AYAH

Hari ini tepat jam dua belas siang gak mendung seperti hari kemarin. Karena kemarin hujan turun terus menerus sepanjang hari, aku pikir sawah dan ladang akan banjir tapi ternyata masih seperti awalnya.

Bulan ini memang hujan datang lebih rajin ke bumi. Tapi kadang juga mendung seharian malahan nyatanya hujan sungkan tuk turun.

Tapi hari ini terik matahari terasa tepat berada dipusaran bumi, walau sudah pakai payung tapi panasnya masih tetap menyengat kulitku, terasa seperti membakar bagai tanpa ampun,

Langkah kaki ini pelan-pelan menapaki jalan menuju kebun cabai tempat Ibu dan Ayahku bekerja, Jalan tanah merah bertaburan daun dan ranting kering yang cukup untuk dua mobil ini sengaja dibuat warga terdahulu untuk mengangkut hasil panen mereka dengan mobil bak terbuka mereka. Tapi bulan ini belum ada panen besar-besaran, palingan cuma sekedar petik beberapa yang sudah masak.

Ditangan kananku menggenggam erat rantang nasi, rantang makan siang orang tua ku. Aku yakin Ibu dan Ayah sangat menantikan rantang ini.

Mereka sudah tau kalau jam segini aku pasti akan mengantarkan makan untuk mereka santap.

Jalan ini sepi, jalan tanah yang berkubang bekas lindasan ban mobil yang biasa orang lewati untuk pergi ke sawah dan ladang.

Di kanan kiri jalan terpampang nyata pemandangan pepohonan besar tumbuh lebat saling berdampingan mereka tumbuh liar dan subur jauh sebelum aku lahir ke dunia ini.

Sebenarnya suasana dijalan ini terasa hening dan sepi tapi nyatanya masih aku dengar suara-suara unggas yang berisik jauh dari dalam pepohonan.

Sebelum bertemu dengan pesawahan dan perkebunan aku dan semua warga di kampung ini memang selalu merasakan dinginnya suasana hutan yang sengaja dibelah.

Tapi untungnya perjalanan gak akan lama hanya butuh sepuluh menit untuk melewatinya. Disini gak ada begal, gak ada penjahat yang akan melukai, jadi setiap orang yang melewatinya siang atau malam gak akan diganggu manusia tapi mungkin binatang buas atau makhluk tak kasat mata.

Mungkin.

Tapi selama ini belum ada kejadian aneh di jalan ini apa lagi di desa tempat aku tinggal

Dalam tengah perjalanan aku bertemu berpapasan Mak Warsih, wanita tua renta yang sudah lama ditinggal mati suaminya. Anak-anaknya pun gak pernah pulang kampung, gosip dari tetangga kalau anak-anaknya pun lama di kota memang hidup miskin sampai-sampai mereka gak bisa pulang ke kampung untuk sekedar menengok orang tuanya, sampai suaminya meninggal pun. Anak-anaknya gak ada yang muncul satu orang pun. Padahal Mak Warsih punya tujuh orang anak. Itu menurut cerita para tetangga yang iba melihat Mak Warsih.

Mak Warsi terkenal selalu murah senyum setiap ia bertemu dengan siapa pun Mak Warsih selalu tersenyum walau giginya sudah habis semua. Ia ramah dan santun.

Ia berjalan tanpa alas kaki, mak Warsih memang sengaja gak pakai sendal. Pernah ada yang belikan tapi mak Warsih gak mau pakai sampai sekarang.

Jalannya gemetar pelan menatap wajahku, tatapan matanya sayu menyorot mataku.

Ia bungkuk,

jalannya pun lemah.

Diatas punggungnya ia menggendong kumpulan ranting setengah kering dengan kain panjang batik yang sudah kusam dan kotor.

Aku menaruh simpatik melihatnya, hatiku bergetar ingin sekedar meringankan bebannya

Aku sebagai orang muda gak sampai hati melihatnya begitu.

Langsung aja aku mulai menyapanya lebih dulu.

"Mau pulang Mak ?" sapaku dengan ramah

Langkahnya terhenti dan berdiri di depanku, matanya tetap menyorot mataku tanpa berkedip.

Ia justru gak jawab satu kata pun, tapi ia cuma tersenyum lepas dengan menatapku dalam-dalam, saat itu entah mengapa aku langsung merinding melihat wajahnya.

Tapi perasaan aneh aku itu gak aku gubris dan itu gak begitu penting sebenarnya, tanpa berlama-lama lagi langsung aja aku menawarkan bantuan untuknya.

"Aku bantu bawa aja ya Mak, aku bawain kayunya. Sekarang Emak pulang aja. Tapi Kayu ini aku bawa dulu ke kebun cabai, nanti setelah dari situ aku antar kayu ini ke rumah Emak. Emak pulang aja dulu aku mau antar nasi dulu,"

usahaku menawarkan bantuan kecil.

Tapi Mak Warsih masih tersenyum dan menggelengkan kepala kepadaku.

Ia lantas melewatiku lalu menepuk pundakku tiga kali. Tepukan yang lemah dan nyaris gak terasa, bahkan bagai tepukan angin.

Aku terdiam melihatnya pergi.

Ia melangkah sangat pelan yang kini membelakangiku , kakinya pun masih gemetar tanpa menghiraukan cuaca siang ini. Tanpa payung tanpa caping tanpa alas kaki tapi ia terlihat kuat.

Tapi ya sudah lah, beliau memang gak pernah mau merepotkan orang lain. Ia selalu berusaha melakukan sendiri. Mak Warsih memang selalu menolak bantuan dari orang lain.

Akhirnya aku melanjutkan perjalanan kembali dan kini melewati jembatan pintu air kecil untuk pengairan sawah.

Dari kejauhan aku sudah bisa melihat Ibu dan Ayah ku duduk-duduk menungguku di saung yang menghadap kebun cabai.

Kebun cabai itu bukan milik orang tua ku, mereka hanya budak di kebun itu. Itu milik Pak Kris.

Aku melihat mereka dari arah samping saung, pandanganku memang masih jauh terlihat saung mereka begitu kecil dimataku.

Langkah ku sangat hati-hati karena ini jalan setapak penuh dengan rumput yang licin tapi sebentar lagi aku akan sampai, saung mulai terlihat besar dan wajah mereka mulai terlihat jelas

Seketika Ayah menoleh ke arahku , rupanya ia sudah merasakan kedatanganku, lalu disambung oleh Ibu yang ikut menoleh ke arahku. Mereka menyambutku dengan senyumnya, aku membalasnya dengan senyuman juga

Setelah sampai tepat di saung , Ayah lantas menyambut rantang tiga tingkat yang aku masak sendiri.

"Akhirnya datang juga" ucapnya sambil gak sabar membuka tutupnya.

Gak lama akhirnya mereka menikmati makanan itu dengan lahap sambil cerita-cerita diantara mereka.

Sementara aku hanya duduk-duduk menikmati pemandangan hijau luas membentang, angin yang sepoi-sepoi mengibaskan rambut panjangku, terasa sejuk serasa membayar perjalanan gersang barusan.

Sampai-sampai mataku sayu menikmati keindahan semesta ini, tiba-tiba saja aku ngantuk dan sempat juga pejamkan mata sesekali.

Saat aku tersadar dari rasa ngantuk, cepat-cepat aku membuka mataku tapi ada yang lain dari penglihatanku.

Tiba-tiba pandanganku terfokus pada satu titik. Aku melihat beberapa warga berdiri dekat di bendungan air. Jembatan yang tadi aku lewati. Meski pandangan itu cukup jauh tapi terlihat jelas warga berkumpul seperti melihat ke dalam sungai. Tapi sayangnya aku gak tau bagaimana ekspresi mereka.

Saking penasarannya aku tanyakan pada Ayah

"Ayah, di sana kenapa rame banget ya ?"

Langsung aja mata Ayah tertuju pada sumber yang aku maksud, meski aku gak menunjuk tapi Ayah tahu arah mana yang aku maksud

"Ooh, palingan ada yang dapat ikan besar, karena kemarin ada yang dapat ikan besar-besar dan banyak"

"Ooh, kirain apa" aku mengangguk-angguk paham.

Oh cuma tontonan ikan besar aja.

Ibu menyahutinya "Iya, ikan lele atau ikan gabus gitu ya, Ibu juga lupa. Pokoknya besar banget"

Mereka menjelaskannya tapi aku masih tetap tertuju pada satu titik itu. Walau ada sedikit yakin atau gak yakin.

Tapi batinku seakan berkata "Ya sudahlah" mungkin memang benar hanya tontonan ikan besar, karena memang hampir setiap hari ada aja yang mancing di situ.

Beberapa menit di Saung akhirnya matahari mulai meredup, meski terang tapi gak sepanas tadi. Awan-awan seolah dipaksa angin menutupi matahari.

Tapi pemandangan hari ini masih sama indah seperti kemarin-kemarin , warna kontras antara langit dan kebun membuat semua orang yang melihatnya mengaku keagungan Tuhan.

Cukup lama aku di kebun kira-kira jam dua akhirnya aku bergegas kembali pulang ke rumah, karena sebentar lagi adik ku. Tiara. Akan kembali ke rumah dari sekolahnya. Ia masih kelas tiga SD dan dia sangat pemalu

Tapi dari saung ini aku masih fokus pada pandanganku, karena warga semakin ramai, tapi Ayah dan Ibuku gak menggubris semua itu justru mereka melanjut kan pekerjaannya kembali.

Lantas aku pamit pada Ibu dan Ayah yang sudah berada ditengah kebun

"Bu, Yah. Aku pulang dulu ya" pamitku dari jauh

Ayah dan ibuku mempersilahkanku.

"Iya hati-hati, jangan lupa Tiara disuruh makan" pesan Ibu padaku

"Iya Bu, aku pulang" ucapku sambil pergi meninggalkan mereka

Kembali melangkah pulang dengan membawa rantang yang sekarang sudah kosong dan sudah dicuci juga oleh Ibu.

Tapi Sekarang langkah aku percepat dengan sengaja tapi tetap hati-hati karena salah-salah nanti aku kepeleset terperosot ke petakan lumpur yang belum ditanam bibit padi.

Karena saking penasarannya aku berharap cepat sampai di tepi sungai yang ramai.

Dan.

Perlahan aku mulai mendekati mereka dan karena penasaran yang semakin kuat akhirnya tanpa bertanya-tanya pada orang yang ada disitu lantas aku ikut menyaksikan apa yang mereka tonton di sungai.

Dan saat itu juga aku merasa bumi ini.

...

Gelap gulita

...

....

Aku jatuh pingsan.

...

....

Ketika aku siuman, aku sudah berada di kamar ku. Rupanya orang tua ku yang membopongku pulang.

Ibu bilang padaku kalau Pak Temo lah yang memberitahu orang tuaku saat aku pingsan.

Tapi aku masih pusing, mual dan masih trauma ketika melihat apa yang aku lihat itu membuat aku panik berkepanjangan.

Mungkin Ayah dan Ibuku akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi di bendungan tadi.

Tapi yang ini memang sulit dipahami.

Bagaimana bisa aku melihat Mak Warsih sudah gak bernyawa mengapung membiru di sungai kecil yang tenang itu. Sementara tadi aku bertemu dengannya di jalan. Aku bertemu dengannya benar-benar sosok manusia, ia menapaki jalannya, ia tersenyum padaku.

Dan itu nyata.

Tapi bagaimana bisa aku melihatnya seperti sudah beberapa hari mengapung dan kenapa baru sekarang ada warga melihatnya, kenapa tadi aku gak melihatnya ? Kenapa orang tuaku juga gak melihatnya ?.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku apakah ini mimpi ? Ini benar-benar membuat pikiranku semakin kacau

Kepalaku makin pusing seperti ditekan beban berat

Tapi rasanya aku mau ceritakan apa yang aku alami tapi mulutku terkunci karena gak yakin mereka akan percaya.

Walau itu nyata.

Ini benar-benar nyata.

Wajah Mak Warsi masih melekat membayang dikepalaku, entah kenapa sosok Mak Warsih tiba-tiba saja seperti mengikutiku, seperti ada disampingku sekarang. Seakan-akan saat ini imanku bagai tergoncang, akal sehatku seperti diuji dan dipaksa memahami apa yang terjadi

Suasana hati dan pikiranku semakin kacau.

Sontak aku teriak dengan keras.

Aaaaaarrrkkkhhh!

Sangat keras.

Aku hanya sanggup menutup wajahku dengan kedua tanganku, lalu mengusap-usap mataku berharap supaya wajah Mak Warsih gak membekas lagi dipikiranku

Ibu dan Ayahku cepat-cepat menghampiriku. Mereka panik dan bertanya-tanya.

"Kamu kenapa Ra ?" tanya Ibuku panik sambil memelukku.

Justru bukannya aku semakin tenang, aku malah semakin emosional lalu menangis sejadi jadinya. Tapi Ibu ku tetap sabar menenangkanku, ia tetap memelukku mengusap-usap kepalaku dengan lembut

Sementara Ayahku mengambilkan aku minum lalu meyodorkan segelas air putih padaku

Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, aku kembali tenang tapi bayang-bayang Mak Warsih masih terasa melekat dikepalaku.

Belum hilang

Kejadian aneh yang gak disangka-sangka, senyuman tadi siang, tepukan yang lemah, kaki yang gemetar sampai akhirnya aku melihatnya diam terbujur kaku tanpa senyuman simpul lagi.

Ini sudah lewat jam lima sore rupanya Mak Warsih sudah dimakamkan selama aku pingsan tadi.

Suasana berkabung masih terasa sekali walau kami sadar Mak Warsih bukan siapa-siapa bagi sebagian warga di kampung kecil ini. Tapi karena sosoknya yang baik kami merasa kehilangan.

Ibu bilang sempat ada polisi yang datang membantu evakuasi Mak Warsih. Tapi gak banyak, cuma dua orang saja.

Tapi sepertinya Ibu juga mulai merasakan keanehan pada sikapku sore ini. Mungkin sepertinya Ibu gak bisa berbuat apa-apa selain mengucap doa.

"Kamu kenapa sih Ra ?" tanyanya dengan lembut

Aku masih diam saja mulut masih terkunci rapat-rapat tapi hati ingin rasanya buka cerita tapi pasti mereka gak akan percaya.

Ayah mulai memancingku untuk bicara, ia duduk disampingku, pertanyaannya masih sama seperti pertanyaan Ibu,

"Ra, coba ceritakan apa yang kamu rasakan" pancing Ayah

Aku masih diam.

"Coba ceritakan" paksa Ayah

Tapi entah kenapa ada rasa gak siap untuk cerita, aku berada dalam trauma yang sulit aku utarakan dan pastinya sulit mereka percaya.

Tiara masuk ke kamarku, ia minta didampingi untuk mengerjakan PR dari sekolahnya. Biasanya aku yang mengajarinya tapi mungkin gak sekarang.

"Kak, aku mau kerjain PR" ucapnya

Aku, Ayah dan Ibu menolehnya.

Tapi Ibu yang menjawabnya

"Yuk, sama Ibu aja kerjain PRnya" ajak ibu sambil menuntun Tiara keluar kamar

Sekarang tinggal aku dan Ayah

Akhirnya aku bersiap untuk meceritakan semua yang terjadi padaku

"Yah, tadi aku ketemu Mak Warsih sebelum sampai di saung" ucapku mengawali obrolan

Ayah menatapku dan gak percaya.

"Ah, kapan ?"

"Tadi jam dua belasan pas aku jalan mau ke kebun. Aku ketemu sama Mak Warsih, aku sempat papasan muka"

Tapi Ayah tetap gak percaya.

"Kamu jangan ngaco, itu Mak Warsih diperkirakan meninggal sudah beberapa hari" ucap Ayah makin gak percaya.

Aku yang merasakan kenyataannya semakin berusaha membuat Ayah percaya

"Beneran Yah, aku bener-bener ketemu sama Mak Warsih. Sekarang gini deh, kenapa tadi Ayah gak lihat Mak Warsih di sungai ? Padahal kan Ayah sama Ibu ngelewatin jembatan itu"

Kali ini penekanan kalimat dan nadaku semakin aku perjelas supaya Ayah, aku yakinkan kalau aku gak mengada-ngada.

Akhirnya raut wajah Ayah mulai sedikit percaya tapi Ayah seperti memikirkan sesuatu dikepalanya.

Suasana hening sejenak.

Tapi suasana itu pecah karena ada bunyi dari balik jendela kamarku.

Brukkk..Brukk..Brukkk!

Aku dan Ayah sontak kaget menoleh ke sumber suara

Brukk..brukkk...brukkk!

Pintu jendelaku dikibas oleh angin yang kencang. Rupanya diluar mendung.

Ayah menutupnya lalu kembali duduk disampingku.

"Kamu yakin kamu merasakan itu semua ?" tanyanya

Aku mengangguk.

"Iya, aku berani sumpah,Yah. Aku memang bertemu dengan Mak Warsih. Tapi dia gak ngomong apa-apa, dia cuma senyum terus pergi" ceritaku lagi

Sepertinya ayah mulai percaya dengan ceritaku tapi masih terlihat keraguan diwajahnya.

"Ra, kalau memang cerita kamu ini nyata, sebaiknya kamu dan Ayah aja yang tahu. Kamu gak perlu cerita ke Ibu ke Tiara bahkan ke warga sini. Karena akan heboh" pinta ayah padaku.

Aku paham yang dimaksud ayah.

Aku mengangguk setuju.

"Iya, Yah. Tapi aku jadi takut tidur sendirian"

"Kalau gitu nanti Ibu sama Tiara yang temani kamu tidur ya, Ayah panggil mereka dulu"

"Iya" aku mengangguk

Sementara Ayah panggil Ibu dan Tiara yang lagi belajar di ruang tamu. Entah kenapa padahal cuma sebentar tapi aku merasa lama sekali dan aku ketakutan menunggu mereka, Karena mendadak aku merasakan suasana kamar ini sangat dingin mencekam

Ibu dan Tiara masuk ke dalam kamarku, tapi Ayah gak masuk

"Ayah ke mana Bu ?" tanyaku

"Ke warung katanya mau nongkrong" jawabnya

"Ooh"

Sementara Tiara naik ke atas kasurku lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Kamu mau makan dulu Ra, atau mau mandi dulu ?" tanya Ibuku.

Jujur, sebenarnya aku masih takut untuk mandi tapi karena Ayah bilang jangan ceritakan ke Ibu, akhirnya aku beranikan diri untuk mandi.

Hari sudah semakin gelap, Tiara pun sudah selesai menyelesaikan PR nya. Aku juga sudah selesai mandi dan makan. Saatnya tidur ditemani Ibu dan Tiara.

Tapi sialnya aku terbangun ditengah malam, aku melihat Ibu dan Tiara sangat pulas.

Mataku terjaga, melirik ruangan kanan kiri atas bawah seolah waspada akan suatu hal yang tiba-tiba muncul.

Malam sunyi mencekam tepat jam dua

Terdengar satu kali bunyi pintu terbuka pelan

kreeekkk...kkk!

Tapi aku gak tahu pintu yang mana tapi suara terasa sekali dikupingku. Mungkin aja itu Ayah atau angin yang mendorong pintu

Tiba-tiba hujan turun begitu deras, suara ranting pohon saling beradu, deru hujan disertai angin kencang dan suara gemercik air jatuh ke punggung genting akhirnya membuat aku ngantuk kembali.

Aku kembali tidur .

Tiba-tiba saja aku sudah bangun jam lima subuh. Tapi aku gak mimpi apa-apa.

2. JATUH SAKIT

Kicauan burung membangunkanku kira-kira dipagi hari, mataku masih terjaga tapi tubuhku masih terbaring lemas dikasur kapuk. Kepalaku pusing dan tubuhku panas tetapi telapak tangan dan kaki terasa dingin.

Saat aku mulai beranjak bangun dari tempat tidur rupanya aku gak sanggup seperti ada yang menahan, sepertinya ini bukan rep repan tapi karena memang saat ini badan aku memang terasa lemas sekali.

Mau memanggil orang tua aku aja rasanya sulit sekali, mulut juga seperti dibekap sekalipun bersuara bunyinya pun pelan sekali, yang bisa mendengar cuma kuping aku aja.

"Ibu, Ayah, Tiara !" panggilku tapi pelan, mulutku pun gak bisa membuka seperti normalnya, mulutku terbuka ceper dan suaranya halus tipis.

Tapi kok kenapa lama kelamaan kepalaku gak bisa menoleh ke kanan, ke arah pintu kamar ku. Aku coba tes menoleh ke kiri pun juga gak bisa akhirnya aku cuma bisa melirik kanan kiri seadanya, meskipun pandangan wajahku tetap lurus menghadap jendela

Aku berusaha lagi memanggil Ayah dan Ibuku juga Adikku, sekali lagi. Siapa tau salah satu dari mereka mendengar, niasanya jam segini memang Ayah dan Ibu sudah berangkat ke kebun tapi pastinya setidaknya mereka tahu kalau aku belum bangun biasanya Ibuku datang membangunkanku atau Tiara masuk ke kamar ku sekedar membuat gaduh. Tapi kali ini rasanya gak ada satupun yang mengingatku, atau memang belum sempat ke kamar atau lupa padaku.

Ini adalah pikiran burukku saat ini.

Aku mencona memanggil kembali.

"Bu, Ayah, Tiara!" panggil ku lagi.

Tapi lagi-lagi panggilan itu hanya aku yang bisa mendengarnya.

Miris.

Tapi kali ini aku coba mengumpulkan suara sekuat tenaga dalam dadaku, aku berharap aku bisa teriak

Tapi suaraku masih gak bisa keras "Buu...!!!!..Ayaahh..!!.Tiara..!!"

Akhirnya aku putus asa, karena memang suaraku tertahan.

Beberapa menit berlalu akhirnya aku putuskan untuk coba tenangkan diri sendiri, berdiam sebentar sambil gak lupa berdoa dalam hati, menikmati kicauan burung saling bersahut-sahutan.

Sinar mentari mulai menelusup, ia menyala terang menembus celah bilik kamar ku.

Kreekk..!

Pintu kamarku dibuka oleh Ibu, lalu ia masuk sambil membawakan sarapan untukku, segelas teh manis hangat dan kue putu ayu yang disusun rapi dalam pinggan ia diletakkannya di meja samping lemari dekat pintu.

Langsung aja aku mengucap syukur dalam hati, walau aku masih belum bisa menolehnya

"Alhamdulliah"

Ibu menghampiriku lalu merapikan selimutku yang sudah turun sampai betis

Lalu duduk di sampingku sambil mengusap-usap rambutku yang sudah lepek.

"Sebentar lagi kamu Ibu antar ke puskesmas ya" ucapnya.

Aku diam saja tapi merasakan hangatnya belaian lembut seorang Ibu.

"Semalam badan kamu panas banget, kamu juga sempat kejang-kejang, Ibu bingung tapi ya Ibu cuma bisa doa aja saat itu" ucapnya.

Rupanya, semalaman aku sudah sempat separah itu. Justru aku malah gak ingat apa-apa

"Kamu sarapan dulu ya, nanti sebentar lagi kita berangkat ke puskes" ucapnya sambil mengambil makanan yang ia bawa lalu menyuguhkannya padaku

"Ayah ke kebun, Bu ?" tanyaku pelan

"Iya, dia baru aja berangkat ke kebun" jawabnya

Beberapa menit berlalu akhirnya selesai juga ia menyuapi ku sepiring putu ayu. Aku juga makannya sampai lahap bahkan sampai lima putu ayu dan minum segelas teh manis yang masih hangat.

Suhu tubuhku terasa stabil, sedikit demi sedikit aku mulai merasa hangat. Dan bersyukurnya sekarang bisa menggerakkan tubuhku perlahan meskipun memang masih lemas. Mungkin tadi malam itu aku kelaparan dan masuk angin jadi ketika bangun badan aku sudah lemah.

Tapi, tiba-tiba kenapa suhu badan aku naik lagi. Aku kembali menggigil

Ibu langsung menyadarinya meski gak terlihat panik tapi aku bisa membaca dari matanya yang nampak sedih

"Badan kamu panas sekali, Ibu kompres dulu ya. Ibu ambil dulu kompresannya" ucapnya sambil menyelimutiku sampai bahu, lalu ia pergi

Beberapa saat kemudian ia kembali membawa baskom berisi air dan handuk kecil untuk ditempelkan dikeningku. Gak lupa juga Ibu memberiku paracetamol.

Hari ini Ibu gak menemani Ayah tapi sepertinya Ibu akan seharian penuh bersamaku. Setelah demamku turun barulah Ibu mengajakku ke puskesmas.

Sedikit info aja kalau jarak puskesmas dari desa ini cukup jauh kira-kira dua kilo meter dan jalannya pun berliku, kebetulan Ayah memang belum punya kendaraan motor tapi Ayah masih ada sepeda goes. Tapi kami gak mungkin pergi ke puskesmas pakai sepeda goes melainkan naik angkutan umum jurusan kota, kami bisa menemukan angkutan umum setelah keluar dari desa beberapa meter dengan berjalan kaki sampai akhirnya ketemu jalan raya.

Dengan pakaian baju panas yang tebal dan masih diselimuti kain sarung, aku dan Ibu berjalan pelan-pelan ke jalan raya. Beberapa tetangga melihat kami tapi diam saja tapi ada juga yang simpatik melihat keadaanku

"Mau ke puskesmas ya ?" tanya Bu Tiwi dari balik pagar besinya, ia satu-satunya warga yang rumahnya bagus dan punya mobil di desa ini.

Ibu menyahutinya sambil tersenyum tapi kami masih tetap berjalan

"Iya Bu"

"Saya antar aja ya?" ucapnya, menawari tumpangan

Ibu belum menjawab tapi langkah kami terhenti lalu saling menoleh. Aku tau apa yang Ibu pikirkan dan aku juga tau apa yang Ibu pikirkan dengan pikiranku saat itu.

Ya, kami sama-sama berharap Bu Tiwi gak cuma sekedar pura-pura menawarkan bantuan.

Tapi akhirnya kami diyakinkan Bu Tiwi saat dia membuka gerbang rumahnya lebar-lebar.

"Ayok sini saya antar aja, kasian kalau naik angkot" ucapnya

Aku dan Ibu melangkah dan merapat hanya sampai depan gerbang karena tau diri kalau kami bukan siapa-siapanya.

Jadi, Ibu Tiwi ini sebenarnya jarang di rumahnya yang ini. Rumah ini sebenarnya rumah almarhum orang tuanya, tapi karena sejak Sekolah Dasar Ibu Tiwi sekolah sampai bekerja di Jakarta bahkan sampai menikah pun di Jakarta dan keluarganya ada di Jakarta jadinya rumah di kampung nya ini gak ada yang huni karena memamg Bu Tiwi anak tunggal. Tapi Bu Tiwi memang sering ke rumah ini untuk sekedar liburan atau bersih-bersih rumah dengan keluarganya sebulan lebih atau untuk beberapa hari aja. Tapi sebenarnya Bu Tiwi hampir sering datang seorang diri makanya sudah dianggap warga oleh kampung ini.

Ibu Tiwi menyiapkan mobil diluar gerbang lalu kembali menutup gerbang tanpa meminta bantuan pada kami.

Kemudian mengajak kami masuk ke dalam mobilnya yang silver metalik

"Ayok masuk aja" ajaknya

Dengan sikap segan dan malu-malu aku dan Ibu akhirnya masuk, lalu duduk di belakang kemudi.

Baru ini aku masuk ke dalam mobil pribadi yang aku anggap ini sangat mewah. karena memang sebelumnya aku gak pernah masuk ke dalam mobil, jangankan mobil ini, mobil angkutan aja aku baru beberapa kali naik

Dalam perjalanan Ibu Tiwi memulai obrolan.

"Ibu yang tinggal di pojokan dekat pohon nangka kan ya ?" tanyanya

Ibu mengangguk "Iya bener"

"Iya yang kemarin pingsan ya ?" tanyanya lagi seakan dia mengingatkan kembali bayangan Mak Warsih yang sebenarnya sudah tenggelam dalam pikiranku

Aku diam saja tapi Ibu yang menjawabnya

"Iya Bu, semalam juga dia demam dan sempat kejang-kejang. Saya sama Ayahnya panik karena itu kan kejadiannya tengah malam" cerita Ibuku

Sementara Ibu Tiwi mendengarkannya sambil menyetir dengan sangat hati-hati

Tapi meski sedang mengemudi Ibu Tiwi tetap membalas cerita Ibuku

"Ya ampuuun, untung gak kenapa-kenapa ya Bu. Aduh, saya ih kalau jadi Ibu super panik loh. Bisa-bisa cuma bisanya nangis aja" ucapnya

"Ya Bu, mau bagaimana lagi namanya musibah ya kami juga gak bisa berbuat banyak buat menghindarinnya" balas Ibu

"Mmm betul Bu, saya setuju sama Ibu" ucap Bu Tiwi seolah menyudahi obrolan mereka

Sejenak hening tanpa ada obrolan lagi, karena perjalanan masih agak jauh Bu Tiwi bertanya lagi seolah jadi penasaran kenapa aku bisa pingsan

"Memangnya waktu kamu pingsan yang kamu rasain apa sih ?" tanya Bu Tiwi "Oh ya nama kamu siapa ?" Tambahnya menanyai namaku.

Sebenarnya aku malas menjawab pertanyaan yang seharusnya sudah aku kubur gak perlu dibuka lagi karena ini mengenai rasa trauma

Tapi entah kenapa suasana hati aku sedang baik jadinya aku jawab seadanya aja karena mengingat pesan Ayah kalau cerita yang aku alami kemarin hanya aku dan Ayah aja yang tau.

"Aku Rara bu" Jawabku

"Wah nama anaknya bagus ya Bu" puji bu Tiwi pada Ibuku.

Ibu tersenyum menerimanya.

Akhirnya aku cerita "Waktu itu aku gak ingat apa-apa Bu, tau-tau kepala aku sakit, pandangan gelap eh tau-tau aku sudah ada di kamar"

Mendengarnya Ibu Tiwi manggut-manggut

"Oh gitu. Semoga aja nanti gak ada penyakit yang parah ya" ucap Bu Tiwi mendoakanku

Aku dan Ibu kompak menjawab

"Amiiiiinnnnnn"

"Makasih ya Bu" ucapku

Setelah lama dalam perjalanan Akhirnya Bu Tiwi merapatkan mobilnya di dalam parkir Puskesmas, parkirannya cukup ramai lalu kami turun

Aku dan Ibu kembali mengucap terimakasih pada Bu Tiwi

"Terimakasih ya Bu sudah mengantarkan kami" ucap Ibu berterimakasih

Ibu Tiwi justru turun dari mobilnya lalu mendekti kami yang sudah turun lebih dulu

"Iya sama-sama Bu, tapi saya ikut temani ya. Nanti kita pulangnya sama-sama lagi" pinta bu Tiwi

Aku dan Ibu terdiam mendengar ketulusannya.

Lalu mengangguk setuju.

Lalu kami masuk bersama ke dalam Puskesmas, tapi aku cuma sendirian di ruang periksa sementara Ibu dan Bu Tiwi menungguku diluar.

Kira-kira setengah jam berlalu aku sudah selesai diperiksa dan dokter juga memberitahu penyakitku pada Ibu dan memberikan resep obat padanya

"Jadi Rara ini kena demam, ini obat yang bisa ditebus ya Bu" ucap Bu Dokter sambil menyodorkan kertas resep pada Ibuku.

Ibu menerimanya tapi kertas itu dirampas oleh Bu Tiwi

"Coba saya lihat obatnya apa aja Bu " ucapnya sambil membaca potongan kertasnya

"Ayok Bu saya bantu tebus" ucap Bu Tiwi lagi, lalu mengajak kami ke apotik.

Setelah semua selesai, Bu Tiwi mengantarkan kami pulang.

Rupanya Tiara sudah berada di rumah, ia sedang makan siang.

Aku duduk disampingnya, duduk melantai diatas tikar pandan yang sudah kusam.

"Bu, tadi guru aku tagih bayaran" ucap Tiara yang masih mengunyah makanannya.

"Iya nanti Ibu ke sekolah minta keringanan ya, kamu tenang aja" jawab Ibu

Tapi Tiara rupanya sudah bosan dengan jawaban Ibu yang selalu seperti itu

"Tapi kata Bu Dewi gak bisa lagi dikasih keringanan karena sudah enam bulan menunggak"

Ibu terdiam.

Saat itu suasana jadi hening.

Aku jadi ikutan pusing melihat Ibu yang sebenarnya kebingungan tapi ia tetap terlihat santai sambil menyiapkan makanan untukku

"Iya nanti Ibu bayar semuanya, Ibu sudah ada uang. Kamu gak usah khawatir ya" semangat Ibu pada Tiara.

Tiara senang mendengarnya lalu mengangguk dan lanjut menghabiskan makanannya.

Tapi Tiara bertanya lagi "Bu, di rumah kita kenapa gak ada tivi ?" tanyanya

Ibu diam untuk yang kedua kalinya

Aku mau bantu jawab pun itu gak mudah, karena dulu pun sewaktu aku SD, aku juga menanyakan hal itu pada Ibu dan Ayah tapi setelah besar dan semakin mengerti kondisi akhirnya aku paham.

Tiara masih mengeluh pada Ibu "Bu, Tiara pengen nonton tivi di rumah. Tiara udah bosen nonton di rumah temen. Soalnya kadang-kadang tivinya dimatikan sama Ibunya atau kadang juga sama Ayahnya. Kadang pintu rumahnya langsung ditutup"

Tapi Ibu hanya diam dan cuma mendengarkan cerita Tiara. Seolah menganggap ceritanya hanya cerita dongeng pengantar tidur. Tapi aku paham betul pasti di dalam hati Ibu sangat terenyuk mendengarnya.

Ibu mendehem sekali "Ehem"

Lalu memberikan penjelasan pada anak bontotnya itu "Tiara, nanti kalau Ibu ada uang pasti Ibu belikan tivi supaya kamu gak numpang di rumah temanmu lagi" ucapnya "Sudah, piringmu sudah kosong lebih baik sana cuci piring kamu" tambah Ibu lagi

Tiara paham dengan penjelasan Ibu, lalu meminta ijin "Habis ini aku mau main ya bu"

"Iya" Jawab ibu

Tiara melangkah ke dapur lalu mencuci piring yang tadi ia pakai makan lalu langsung pergi main setelah pamit pada Ibu dan aku.

"Ra, kamu tidur aja dulu ya. Biar cepet sembuh"

ucapnya sambil berjalan ke dapur.

Tapi langkahnya terhenti saat aku panggil

"Bu!" panggilku

Ia menolehku, aku menatapnya.

"Bu, aku ke Jakarta aja ya" pintaku.

Mendengarnya Ibu menghampiriku, dia gak jadi ke dapur, ia malah duduk dihadapanku dengan lembut ia bertanya

"Mau ngapain ke Jakarta ?" tanyanya

Aku diam, sebenarnya ini adalah inisiatif dadakan yang tiba-tiba saja muncul begitu saja.

"Di Jakarta itu kita gak ada saudara, gak ada yang kita kenal Ra" tambahnya lagi

Tapi aku menjawabnya dengan optimis

"Kita harus maju Bu, aku juga sudah lulus SMA harusnya aku bisa kerja di Jakarta"

"Betul, memang kita harus maju. Tapi kamu harus tau Jakarta itu seperti apa"

"Memangnya Ibu sudah pernah ke Jakarta ?" yanyaku

Ibu diam, ia gak bisa jawab karena memang Ibu gak pernah ke Jakarta sama sekali.

"Aku yakin Bu, aku bisa kerja di sana nanti setiap gajian aku kirim ke sini"

"Kamu yakin Ra ?" tanya Ibu lagi

Aku mengangguk dengan yakin

"Iya Bu"

"Sebaiknya kamu pikir-pikir dulu ya. Jakarta itu jauh. Ibu gak bisa pantau kamu" ucapnya lagi

"Tenang aja Bu, aku pasti bisa mengubah nasip kita" Yakinku lagi

Ibu tersenyum tapi aku tau itu bukan senyuman kepercayaan tapi tersirat dimatanya rasa takut kalau nanti aku kenapa-kenapa di tanah rantau.

"Nanti kita rundingkan pada Ayahmu aja dulu ya. Bagaimana enaknya"

"Kalau Ayah juga setuju apa Ibu setuju ?" tanyaku

Ibu terdiam

"Bu, gak usah khawatir. Aku pasti bisa Bu" yakinku sekali lagi.

Malam sudah tiba, suasana malam yang tenang dan dingin.

Sehabis Solat Isya aku, Ayah dan Ibu membahas niatanku untuk bekerja di Jakarta.

Ayah yang membuka obrolan lebih dulu, sepertinya Ibu sudah memberitahunya. Sementara Tiara sedang mengerjakan PR nya disamping kami

"Kamu Yakin mau pergi ke Jakarta " tanyanya lagi dengan yakin

Aku mengangguk yakin

"Iya, Yah. Aku yakin aku bisa bekerja di sana"

"Masalahnya ini bukan masalah kamu kerja. Tapi nanti kamu tinggal di mana ? untuk makan kamu bagaimana ? siapa nanti yang akan mengurus kamu kalau nanti kamu sakit ?" tanya Ayah

Aku diam lalu berfikir "Iya juga sih"

Ayahku menambahkan lagi "Apa lagi kamu juga kan gak ada hape, kami juga gak ada hape. Bagaimana kami bisa tau kabar kamu ?"

Semakin Ayah mengulas kekurangan itu, aku jadi ragu. Membuat semangatku jadi gak sepenuh semangat tadi siang

Ibu mengelus pundakku dengan lembut ia menyemangatiku agar aku bisa berfikir lagi sebelum mengambil keputusan itu

"Kalau memang banyak yang kurang, lebih baik kamu jangan pergi, karena Ibu takut kamu kenapa-kenapa"

"Iya betul kamu pikirkan lagi baik-baik" tambah Ayah.

Sebenarnya aku ke Jakarta mau bantu keuangan keluargaku tapi disisi lain aku juga harus pertimbangkan apa yang Ayah dan Ibu bilang.

Disini aku jadi dilema

3. KEHILANGAN ARAH

Pagi ini Tiara merengek gak mau pergi ke sekolah karena ia merasa malu sudah hampir setiap hari ia selalu ditagih bayaran sekolah oleh gurunya di dalam kelas sampai teman-temannya pun mendengar. Sampai-sampai beberapa temannya mencibirnya. Ia tetap merengek dipaksa ke sekolah oleh Ibu, meski sudah dibujuk dengan sekuat tenaga tapi Tiara tetap gak mau pergi

Wajah merah kusut dan butiran air matanya seolah mengisyaratkan bahwa betapa sedihnya ia merasa berbeda dengan teman sekelasnya.

"Tia Ayok sekolah, nanti Ibu menyusul untuk bayar" bujuknya dengan lembut dan sabar

" Gak mau. Aku malu Bu, semua teman-teman aku sudah bayaran. Kata guru cuma aku yang belum bayaran harusanya aku sudah diberhentikan dari sekolah" rengek Tiara

Ayah yang mendengarnya langsung mencoba membujuk Tiara

"Guru kamu itu cuma bercanda, sebenarnya gak apa-apa. Lebih baik hari ini kamu masuk ya supaya nanti gak ketinggalan pelajaran" bujuknya

Tiara tetap menggelengkan kepalanya. Ia tetap menolak dan benar-benar sudah hilang hasrat untuk belajar di sekolah bertemu dengan teman-temannya

Tapi akhirnya Ibu punya cara untuk meluluhkannya

"Kalau gitu gini aja deh, Ibu antar kamu ke sekolah ya, biar sekalian Ibu bayaran" ucap Ibu.

Mendengar begitu Tiara langsung nurut dan bersiap berangkat, Wajahnya mendadak berubah lebih bersemangat padahal aku tau Ibu hanya berbohong.

Akhirnya Ibu mengantarkan Tiara ke sekolah lalu kembali dengan tugasnya yang selesai. Tugas yang berhasil membuat si bungsu mau masuk sekolah

Hari ini juga Ayah gak ke kebun dulu katanya, karena badannya pegal-pegal jadi mau diurut Ibu dulu. Tapi untungnya kabar baik hari ini demamku sudah turun justru sekarang aku merasa lebih sehat tapi ya karena masa penyembuhan jadi energi yang aku punya masih terbatas

Tapi meski begitu aku gak di kamar, aku ada bersama Ayah dan Ibu di ruang tengah, sambil mendengarkan mereka saling melempar saran

"Yah, apa kita pinjam duit aja ya ?" usul Ibu sambil menyiapkan perlengkapan untuk urut Ayah

Tapi ayah menjawab dengan tegas ia langsung menolaknya dengan cepat

"Jangan!" tolak ayah.

Ayah memang anti berhutang uang pada orang lain meski pada nyatanya dari jaman aku sekolah sampai jaman Tiara sekolah, SPP selalu nunggak. Bahkan ijasa ku pun belum bisa ditebus dari sekolah karena biaya administrasi masih banyak yang belum lunas.

Ibu sempat gak setuju dengan penolakan Ayah

"Ya, terus kita harus bagaimana dong, Tiara sudah ngambek begitu" ucapnya

Ayah menjelaskan pada Ibu dengan bijak

"Masalahnya kalau kita pinjam duit yang ada nanti nya ada bunganya yang semakin naik, syukur-syukur kita bisa bayar cepat nah kalau kita gak bisa bayar cepat gimana , bunganya bagaimana ?" ucap ayah menjelaskan dengan baik

Ibu berfikir sebentar , terlihat raut wajahnya seperti menyetujui maksud Ayah

"Masalahnya, tadi gurunya Tiara bilang kalau bulan depan belum ada bayaran sekolahnya bisa-bisa Tiara dikeluarkan dari sekolah karena sudah nunggak enam bulan, bulan depan kan sudah bulan ke tujuh" jelas Ibu

Ayah diam, berfikir keras sejenak

"Kalau sampai Tiara berhenti sekolah bagaimana nasibnya nanti" keluh Ibu

Mendengar obrolan mereka akhirnya aku langsung masuk bicara

"Kalau waktunya sebulan mungkin aku bisa bantu Bu" usulku

Ibu dan ayah menolehku dengan bingung

"Aku ke Jakarta" lanjutku

Kali ini permintaanku berhasil disetujui mereka, seperti gak ada penolakan seperti diawal

"Ya sudah kalau kamu yakin Ya sudah Ayah ijinkan" ucapnya

Aku tersenyum mendengarnya, bagai harapan tumbuh berbuah dan inilah hasilnya

"Ya, Ibu juga udah gak bisa ngomong apa-apa lagi. Tapi kamu harus menepati janji kamu" ucap Ibu yang juga mempersilakan aku merantau. Maksud dari kalimat menepati janji itu Ibu minta aku bisa bayar SPP adikku dalam kurun waktu sebulan

Aku tersenyum sumringah mendengar persetujuan mereka, tapi akhirnya senyumku membeku karena baru terfikirkan bagaimana cara perginya ke Jakarta. Sementara aku juga gak ada persiapan apa-apa, aku juga gak punya ongkos dan gak tau arah Jakarta di mana.

Sepertinya Ibu menyadari perubahan wajahku lalu dia bertanya

"Kenapa Ra ?"

Aku.menjawabnya "Tapi aku bingung bu, ke sananya bagaimana caranya" Jawabku

Sontak Ibu dan Ayah menertawaiku

Ha..ha..ha..ha

Langsung aja Ayah menyindirku

"Kamu ngotot pergi tapi gak tau perginya pakai apa hahaha" timpal ayah

Mereka tertawa melihat sikapku dan akhirnya kami tertawa bersama di rumah bilik bambu yang sudah berumur lebih dari dua puluh tahun

Jujur, aku jadi malu mendengarnya sendiri

Hi..hi..hi

Sebentar lagi Ayah mau diurut Ibu tapi saat mempersiapkan minyak dari dapur , rupanya minyak curah sudah habis,

"Minyaknya habis nih, Ibu bisa minta tolong belikan minyak goreng ya" pinta Ibu padaku

lantas ia menyodorkan uang sepuluh ribu padaku untuk membeli minyak ke warung depan yang memang sudah menjadi langganan kami

Aku menerima uangnya lalu pergi bergegas cepat meluncur ke warung

Sampai di warung langsung aja aku kasih suara isyarat

"Beliii...!!"

Teriakku di depan warung

Tapi Satu orang pun belum ada yang keluar padahal aku sempat lihat dari dalam ada yang melihatku di sini tapi satupun gak ada yang respon

Sampai akhirnya aku menunggu beberapa menit sambil masih memanggil penjualnya

"Bellliii !!"

Aku panggil sampai bosan sampai rasanya malu untuk melanjutkan lagi.

karena merasa gak ada yang respon akhirnya aku berniat kembali pulang saja. Tapi saat aku beranjak beberapa langkah ada pembeli lain yang datang dan saat itu juga ia langsung dilayani oleh penjualnya

Aku gak kembali lagi ke warung itu justru tetap melangkah perlahan kedepan. Samar-samar terdengar dari beberapa langkah ia membicarakan aku

"Saya males ah ngelayanin dia sekeluarga tuh, soalnya kalau ngutang bayarnya lama. Emang sih sekarang utangnya udah lunas tapi pasti dia ke sini mau ngutang lagi. Gak ah kapok" ketusnya

Aku mendengarnya sangat sakit hati

Semakin aku melangkah pergi suaranya pun semakin jauh dan gak terdengar lagi.

Ditelinga dan hati rasanya pedih meskipun hanya mendengarnya saja tanpa melihat wajahnya, tapi ya sudahlah memang sudah nasib keluarga kami yang harus seperti ini.

Aku kembali pulang tanpa hasil dan sudah pasti Ibu akan menanyakannya

"Minyaknya mana ?" tanyanya

Sebelun aku jawab , aku kembalikan dulu uangnya pada Ibu

"Habis Bu" jawabku singkat

"Ooh, habis. Ya sudah gak apa-apa. Ibu pijitin aja ya, yah" ucap Ibu pada Ayah.

Ayah menyetujuinya lalu bersiap-siap untuk dipijit Ibu

Sementara aku menyendiri ke depan rumah di halaman rumah cukup asri dan tatanan bunga-bunga yang tumbuh berwarna warni menghiasi rumah yang kokoh ini. Di sini ada beberapa tumbuhan yang ditanam oleh Ibu, Dari semua tanaman hampir banyak bunga-bunga yang ia rawat.

Aku duduk-duduk santai dihadapan bunga-bunga tanpa alas duduk dan tanpa menyadari kalau aku sedang melamun.

Tiba-tiba saja suara seseorang pecahkan lamunanku, suara seorang perempuan yang aku kenal

"Ngelamun terus !" goda temanku, Ratih namanya.

Dia teman sekolah ku dari SD sampai SMA tapi bukan teman akrab atau pun teman baik, dia cuma teman kenal begitu aja cuma kenal karena satu sekolah aja.

Sejak SD dia memang selalu berpenampilan menarik dan banyak laki-laki yang menyukainya saat SMA. Aku rasa dia memang terlahir beruntung

Sontak aku tersadar langsung menoleh nya yang memakai seragam resmi yang aku gak tau seragam apa itu

Rupanya Ia sudah berdiri beberapa langkah dari hadapanku sambil memandangiku dari atas sampai ujung kaki ia tersenyum padaku

"Mau ke mana Rat ?" tanyaku

"Ya mau kursus komputer lah" ucapnya dengan nada yang sepertinya ingin membuatku iri .

"Ooh, keren dong bisa kursus komputer" pujiku

Ia tersenyum bangga mendengarnya

"Iya, soalnya aku pengen kerja di Jakarta, mau kerja di kantoran. Dua bulan lagi aku lulus" ucapnya

Wah, Jakarta ! itu impianku

"Kamu mau kerja ke Jakarta Rat ?" tanyaku dengan serius, maksud hati dia bisa berbagi tentang Jakarta atau lowongan kerja

"Iya mau ke Jakarta makanya aku ikut kursus komputer" ucapnya lagi

"Memangnya berapa duit kalau mau ikut kursus komputernya ?" yanyaku jadi penasaran, siapa tahu murah aku bisa ikutan

Karena saat begini juga harapanku kembali sangat besar untuk bisa ikut kursus dan bisa berangkat kerja ke Jakarta tanpa halangan lagi

"Ah, mahal Ra" ucapnya seolah dia aja yang mampu bayar kursus

"Iya emangnya mahalnya berapa ?" tanyaku lagi

Makin dia jawab mahal ya aku jadi makin penasaran

"Mahal Ra, sebulan tiga ratus ribu. Belum lagi ada tambahan biaya ujiannya. Kalau kamu ikut gak akan sanggup bayar" ucapnya mematahkan semangatku sambil pergi menjauh

Saat itu hatiku remuk mendengar ucapannya. Ia pergi tanpa pamit meninggalkan kalimat yang membuat aku sakit hati.

Dari kejauhan samar-samar terlihat sosok Bu Tiwi berjalan membawa bungkusan plastik merah besar.

Ia semakin mendekat dan wujudnya semakin terlihat jelas di hadapanku. Ia tersenyum padaku dan mengucap salam

"Assalammualaikum"

Langsung aja aku balas "Waalaikumsalam"

"Ada iibu, Ra ?" tanyanya padaku

Langsung aja aku menjawab dan mengajaknya masuk

"Ada abu, ayok masuk Bu. Silakan" ajakku.

Kebetulan.Ibu dan Ayah rupanya sadar akan kedatangan Bu Tiwi , langsung saja mereka memposisikan berdiri untuk menerima tamu

"Ada apa ya abu ?" tanya Ibu masih sungkan

Bu Tiwi langsung menyodorkan bungkusan plastik merah yang rupanya berisi sembako

"Ini Bu diambil ya Bu" ucap Bu Tiwi

Ibu dan Ayah langsung melihat isi bungkusannya, ada beras, mie instan, minyak goreng, gula pasir, kopi , gula aren, susu dan kacang hijau.

Ibu dan Ayah langsung sumringah apa lagi aku

Ibu langsung berterimakasih "Wah, terimakasih banyak nih Nu. Saya gak nyangka loh Ibu bisa kasih ini" ucap Ibu

"Iya Bu, sama-sama ya Bu. Itu sengaja saya juga belikan kacang hijau untuk Rara biar cepat makin pulih" ucapnya dengan penuh perhatian padaku

Aku senang mendengarnya begitu juga dengan Ibu dan Ayah.

"Terimakasih banyak ya Bu, saya gak bisa balas kebaikan Ibu sekarang tapi mungkin nanti ya Bu " ucap Ibu yang berterimakasih kembali

Ibu Tiwi tersenyum mendengarnya

"Ah, gak usah begitu. Gak usah dipikirkan yang penting kan saling bantu aja Bu, lagian kan saya liat Ibu dan Bapak orang yang baik jadi ini sudah jadi rejeki Ibu dan Bapak" ucapnya

Ibu dan Ayah senang mendengar penjelasannya.

Akhirnya Ayah bersuara juga "Kalau gitu Ibu Tiwi mampir aja dulu nanti disiapkan minum"

"Oh gak usah Pak, gak apa-apa. soalnya saya buru-buru juga mau siap-siap karena besok shubuh saya mau pulang ke Jakarta" tolaknya

Tapi Ibu mencoba memaksanya "Gak apa-apa bu minum teh aja dulu , atau mau kopi biar saya siapkan" ajak Ibu

Tapi Bu Tiwi tetap menolak dengan sopan "Duh, maaf banget ya bu, pak. Sebenernya saya mau tapi saya gak bisa nih. Lain waktu aja ya " tolaknya lagi

Akhirnya Ibu dan Ayah mengalah, memahami kondisi Bu Tiwi yang memang sedang terburu-buru.

Lalu Ibu berterimakasih lagi "Kalau begitu terimakasih banyak ya Bu" ucap ibu kembali berterimakasih

Ibu Tiwi membungkukkan badannya.

"Ia Bu, sama-sama. Kalau begitu saya pamit pulang dulu ya" ucaonya "Rara cepat sembuh ya" tambahnya padaku juga setelah berpamitan pada Ayah dan Ibu.

Akhirnya Bu Tiwi kembali ke rumahnya.

Sementara Ibu masih belum bisa percaya kalau masih ada orang sebaik Bu Tiwi

Ibu kembali menceritakan kebaikan Bu Tiwi pada Ayah "Padahal Yah, kemarin itu dia loh yang anter kami ke puskesmas, sampai tebusan obatnya pun dia yang bayar. Beruntung banget bisa ketemu dia" ucap Ibu.

Padahal Ibu sudah cerita pada Ayah semalam itu juga.

Karena Bu Tiwi membawakan minyak goreng akhirnya Ayah jadi juga diurut sementara aku buatkan Ayah kopi dan Ibu susu. Jujur saja untuk minuman seperti ini adalah minuman mewah bagi keluarga aku, mungkin orang lain bisa minum setiap hari tapi bagi kami bisa sebulan sekali atau beberapa bulan sekali. Segitu parahnya kemiskinan kami.

Itu sebabnya aku berinisiatif untuk kerja di Jakarta, karena banyak orang bilang kalau Jakarta paling tepat untuk mencari uang.

Sambil menunggu Tiara pulang, aku merendam kacang hijau yang rencananya besok pagi akan aku masak bubur. Untuk sekarang aku juga membuatkan Tiara susu ia pasti senang

Setelah semua selesai aku kembali ke halaman depan rumah, aku kembali menikmati cantiknya bunga yang berwarna warni.

Aku kembali duduk-duduk santai tanpa alas duduk sama sekali. Sambil menikmati teduhnya siang, angin yang bertiup lembut, langit yang biru membentang luas yang tiba-tiba membuat aku ketiduran.

Tanpa aku sadari hari sudah menjelang sore. Tiara yang membangunkanku

"Kakak !" panggilnya sambil mengkoyakkan badanku

Waktu tersadar aku malah lupa kalau aku sendiri yang tidur di halaman

"Kok tidur di situ kak ?" tanyanya,

Ia masih pakai seragam lengkap beserta tas ransel dipunggungnya, jelas sudah ia sebenarnya sudah pulang tapi numpang nonton dulu. Karena melihatku jadi ia membangunkanku.

Aku mengusap-ngusap mataku dengan jari tanda aku masih ngantuk.

"Kakak bukannya lagi sakit?" tanyanya lagi

"Oh enggak kok , kakak udah sembuh" ucapku.

Langsung aja aku gendong Tiara lalu masuk ke dalam rumah

Sambil aku memberikannya kejutan "Kakak ada kejutan buat kamu"

"Apa kak?" tanyanya

Sambil tubuh kecilnya masih aku gendong, aku membawanya ke dapur

Ayah dan Ibu melihat kami masuk ke dapur. Di dapur aku kasih Tiara susu yang aku buatkan tadi. Susunya sudah dingin tapi gak apa-apa juga kok

Tiara senang menerimanya

"Waah.. susu...asikkk...buat aku kak ?" tanyanya

Wajahnya kelihatan bahagia, tanpa aku suruh langsung aja ia minum sambil jingkrak-jingkrak

Melihatnya begitu, aku langsung melarangnya minum dengan cara begitu

"Jangan jingkrak-jingkrak nanti kamu keselek" larangku

Lantas ia berhenti lalu meminumnya dengan baik, kemudian ia menghampiri Ibu dan Ayah sambil membawa gelas susunya lalu duduk dipangkuan Ibu

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!