Aku menoleh kebelakang sebentar tapi suara gebrakan pintu sudah gak terdengar lagi, tapi meski begitu aku kembali untuk mengecek ada siapa diluar luar sana. Pintu aku buka perlahan tapi gak ada siapa-siapa dibaliknya mungkin orang itu pergi karena aku lama membukakan pintu untuknya.
Aku kembali menutupnya lalu berniat melanjutkan rencana sebelumnya tapi baru aja aku berbalik badan suara gebrakan pintu seperti orang marah itu terdengar lagi
Suaranya keras dan itu terdengar kasar.
"Buk...bukhhh..bukkkhh!"
Berkali-kali terdengar sampai menembus pikiran burukku
Aku kembali membukanya dengan cepat aku buka pintu tapi hasilnya masih nihil. Gak ada siapa-siapa dibalik pintu. Tapi karena saking penasarannya aku sampai melongok kekanan kekiri mencari-cari siapa yang melakukannya sampai-sampai aku juga mengecek sampai ke depan halaman rumah tapi nyatanya semua tampak sepi gak ada satupun orang yang lewat atau berada di teras rumahnya
Sebenarnya aku tiba-tiba saja merinding tapi aku berusha berpikir kalau ini bukan kerjaan makhluk bias yang usil padaku
Karena aku memang gak menemui seseorang pun akhirnya aku berbalik badan untuk kembali masuk
Tapi seorang pria tua keriput dan pucat mengagetkan ku dia berdiri tepat dihadapanku dan begitu dekat dengan wajahku.
Sontak aja aku mundur beberapa langkah karena risih juga dengan wajahnya yang terlalu dekat
Aku gak tau siapa dia tapi aku bisa melihat wujudnya bersongkok hitam meski sudah tua sekali tapi ia masih terlihat gagah
Aku hanya diam seolah membeku tapi dia malah tersenyum lalu mengatakan dua kata yang pernah aku dengar sebelumnya, wajahnya mendekat ke telingaku lalu berbisik tapi menggema ditelingaku
"Tumbal Hitam" bisiknya lalu tubuhnya pelan-pelan menghilang begitu saja bersama angin
Disitu aku baru menyadari kalau yang aku lihat bukanlah manusia
Jantungku berdebar kencang darahku seperti naik lalu berhenti didada, aku gemetar dan semua menjadi gelap
Aku terjatuh lemas.
Sempat gak sadarkan diri hampir satu jam, saat Ibu melihat ku ia panik dan meminta bantuan para tetangga untuk membopongku begitu cerita Ibu pada ku setelah aku siuman
Sekarang aku sudah di ruang depan terbaring lemah dengan selimut kain batik milik Ibu dan aku masih trauma karena bayang-bayang wajah kakek tua itu membuatku kembali ketakutan setelah bermimpi bertemu Mak Warsih.
"Kamu lapar ya atau kelelahan waktu manggul di pasar ?" tanyanya
Aku diam saja karena bingung juga kalau aku ceritakan apa yang terjadi, Ibu pasti gak akan percaya dan akan menganggap aku gila
Ibu membawakan aku makan dengan lauk seadanya hanya ada nasi putih dan ikan asin bakar.
"Ibu sudah masak, kamu makan aja sekarang supaya cepet pulih" ucapnya.
Aku menerimanya, meski makanan hanya seperti itu aku tetap memakannya sampai habis tanpa bersuara
"Ra, kalau kamu aja sering pingsan begini bagaimana bisa kamu menjaga diri di Jakarta. Apalagi di sana kita gak ada saudara atau siapa pun yang kita kenal" icap Ibu
Tapi aku menjawabnya dengan keyakinan "Enggak Bu, aku bisa kuat kok. Aku pasti sehat-sehat aja di sana"
Ibu mengambil tangan kanan ku lalu memberikan aku uang seratus ribu
"Ibu cuma bisa kasih kamu segini, itu ongkos kamu ke Jakarta apa kamu bisa ?"
Aku menatapa wajah ibu dalam-dalam lalu memeluknya dan menangis
"Bu, aku pasti bisa kerja di Jakarta. Gaji pertama akan aku kirim ke sini. Jadi ibu gak perlu lagi kerja"
Ibu melepaskan pelukanku lalu menyeka air mataku.
"Ibu gak mikirin gaji kamu nantinya mau kamu kasih atau enggak, tapi Ibu cuma mau kamu di sana sehat-sehat dan gak melupan Ibu dan Tiara. Ibu mau kamu di sana jangan macem-macem harus jaga diri baik-baik"
Aku mengangguk dan sekarang sudah berhenti menangis
"Gimana kalau besok kita ke sekolah kamu untuk minta foto copy ijasa kamu itu. Terus terang Ibu belum bisa tebus karena kamu kan tau sendiri kalau iibu gak punya uang lima juta"
Aku mengangguk mengerti "Iya Bu"
"Oh iya Ra, besok shubuh kita gak pergi manggul lagi, Ibu mau ke kebun lagi aja" ucapnya
"Loh kenapa Bu ?"
"Karena Ibu merasa kerja disitu lebih melelahkan daripada di kebun"
"Oh begitu, tapi apa nanti di sana gak jadi bahan omongan padahal mereka sudah kasih kita santunan tapi malah gak datang lagi"
"Tenang saja Ra, Ibu sudah pamit sama dia kalau Ibu gak kerja lagi. Ibu juga sudah minta maaf kalau kesannya Ibu kerja seperti main-main"
"Kapan Ibu ketemunya ?" tanyaku
"Tadi Ibu mampir ke pasar sebentar kebetulan masih ada Pak Alan, jadi Ibu langsung cerita apa adanya aja"
"Terus jawabannya apa Bu ?"
"Pak Alan bilang gak apa-apa kalau Ibu gak kuat ya jangan maksain diri"
"Oh, bagus lah kalau begitu Bu. Untungnya dia paham kondisi Ibu sekarang"
"Iya Ibu beruntung punya temen SD yang masih baik sama Ibu sampai sekarang meski Ibu sudah lama gak bertemu tapi akhirnya dipertemukan sebelum beberapa minggu Ayah kamu meninggal"
Aku kaget mendengarnya.
Apa ?. Teman SD ?.
Aku ternganga mendengarnya.
"Jadi, Ibu temenan sama Papahnya Sisil ?"
"Iyaa, Sisil juga temen kamu kan ?. Papah nya baru tadi cerita, bahkan Papahnya juga gak tau kalau kalian berteman setelah kemarin itu, Sisil baru cerita"
"Waah, gak menyangka ya Bu. hahaha " aku tertawa
Ibu juga ikut tertawa "Hahaha..bisa begitu ya"
Ini hal yang unik bagi kami seolah menggelitik yang akhirnya kami tertawa bersama disiang bolong.
Hahaha!
Sumpah, tapi aku merasa lebih bahagia melihat Ibu kembali tertawa.
Bahagia kami sesederhana ini.
Pagi sudah menyambutku kembali udaranya yang sejuk kicauan para burung yang bersahut-sahutan sinar mentari yang mulai menyembul terang membawa ku dalam pikiran yang baik dan kembali bersemangat , ini pagi yang baik bagiku seakan dia tau kalau sebentar lagi aku akan mempersiapkan diri untuk ke Jakarta.
Tiara sudah pergi sendiri ke sekolah dan hutangnya di sekolah pun sudah lunas ia sudah kembali ceria setelah beberapa hari ini wajahnya murung tapi aku salut pada Tiara meskipun terlihat menekuk wajahnya ia tetap berusaha ceria di hadapan kami dan teman-temannya.
Ibu mengajakku kembali untuk pergi ke sekolahku setelah Ibu selesai masak.
Kami sudah sampai di sekolah berjalan dilorong menuju ruang kepala sekolah.
Ibu mengetuk pintu ruangan Pak Muhe, beliau Kepala Sekolah di sekolah yang sebenarnya bukan sekolah favorit, siswanya juga sering terlibat tawuran tapi itu dulu sekarang sudah sangat jarang.
Tok..tokk..tokk!
Ibu megetuknya padahal pintu setengah terbuka dan aku juga bisa melihat ada Pak Muhe dihadapan mejanya.
Pak Muhe menoleh ke arah kami pandangannya terdiam sebentar seolah ingin mengenali dulu siapa tamunya lalu menyuruh kami masuk dengan ramah setelah ia ingat wajah kami
"Silakan Bu, silakan masuk, silakan duduk"
Kami masuk bersamaan lalu duduk berhadapan dengannya
"Ada apa Bu ?" tanyanya
Ibu memulai permintaannya dengan tenang "Gini pak, kami datang ke sini mau minta bantuan ke Bapak untuk mau kasih foto copy ijasa Rara" ucap Ibu memelas
Pak Muhe melirikku lalu kembali menghadap Ibu lagi
Wajah Pak Muhe mendadak berubah, raut wajah gak seramah tadi "Maksudnya gimana Bu ?. Ibu mau bayar tunggakan atau bagaimana ?"
Tapi Ibu menjawab kembali dengan tenang "Enggak pak, tapi saya cuma minta tolong untuk mintakan foto copy satu lembar aja"
Langsung aja Pak Muhe ketus "Waduh, Ibu tuh dari dulu sampai sekarang melas terus ya gak berubah. Saya sudah bantu Ibu dari dulu sampai Rara lulus loh. Kalau saya jahat saya sudah keluarkan anak Ibu, Rara gak akan ada riwayat lulusan SMA. Tapi sekarang sudah hampir dua tahun Kbu datang lagi cuma mau minta-minta lagi"
Aku dan ibu sejenak terdiam mendengarnya
Tapi Ibu kembali dengan tenang menjawabnya
"Maaf pak, saya tau saya salah. Tapi tanpa ijasa anak saya mana bisa dapat kerja, kalau anak saya gak bekerja lalu anak saya dapat uang dari mana ?" jawab Ibu masih memelas
Tapi Pak Muhe tetap gak mau terima, ia mengisyaratkan penolakan
"Oh, itu urusan Ibu dan Suami Ibu juga lagi pula selama dua tahun uang Ibu ke mana aja ?"
Ibu langsung jawab "Suami saya sudah meninggal pak"
Tapi Pak Muhe gak perduli sama sekali "Oh, ya namanya manusia pasti bakalan mati kok, mati ya mati aja tapi kan kalau uang harusnya Ibu tau arahnya, harusnya Ibu tau malu"
Ibu terdiam terlihat jelas ia putus asa. Tapj lagi-lagi Ibu tetap tenang menjawabnya
"Baik pak kalau begitu terimakasih" lalu mengajakku pergi dari pemilik ruangan minim empati itu
Kami sudah berjalan pelan-pelan dilorong sekolah menuju pulang Ibu merangkulku pertanda ia sedang menyemangatiku. Kami melewati kelas-kelas yang sepi tanda semua siswa berada di dalam sedang belajar
Tiba-tiba aja Wali kelas ku menyembul dari pintu kelas, tanpa sengaja ia keluar dan berhadapan dengan kami
Aku langsung menyapanya dengan manis sambil sedikit membungkukkan tubuh
"Bu"
Bu Lisa yang melihat keberadaan kami lalu tersenyum seperti juga sedang mengingat-ingat kembali wajahku
"Rara " panggilnya dengan tersenyum
Rupanya ibu Lisa masih hapal namaku, lalu ia menyalamiku dan kemudian bersalaman dengan Ibu
"Kok ke sini ada apa ?. Mau sebar undangan nikahan ya ?" Goda Bu Lisa
Aku dan Ibu tersenyum.
Tanpa canggung pada Ibu, Bu Lisa langsung menceritakan kenangannya selama aku menjadi muridnya kepada Ibu
"Bu, Rara ini dulu sekolah nya baik, santun, gak pernah datang terlambat baik sama teman-temannya, tapi sebenarnya Rara juga pinter kok cuma memang kalah saing aja sama yang lain. Hehe" cerita bu Lisa diakhiri canda
Aku tersenyum geli begitupun Ibu hanya bisa tersenyum
"Kerja di mana sekarang Ra ?" tanyanya
"Belum kerja Bu karena belum...ada ijasa" jawabku dengan nada yang semakin melemah
"Oh, iya kamu masih ada tunggakan itu ya. Sekarang sudah ambil ya ?" tanya bu Lisa lagi
Ibu yang menggelengkan kepala, dia justru yang menjadi jubir aku
"Belum ambil Bu, justru kami belum ada uang dan mau minta foto copyannya aja tapi sama Bapak Muhe gak dikasih"
"Oh gitu" bu Lisa manggut-manggut
"Iya Bu, kami pamit pulang dulu ya Bu karena masih ada kerjaan di rumah belum selesai" pamit ibu
"Oh iya ya Bu, hati-hati ya Bu" balas Bu Lisa
Aku juga berpamitan pada guru yang terkenal ramah itu,
"Saya pamit pulang ya Bu" Ucapku sambil melangkah melewatinya
Dia guru yang gak pernah pilih kasih kepada siswanya. Semua siswa miskin atau kaya seragamnya lembut atau kusut dimata dia semua sama dan punya hak menerima pelajaran
"Oh iya hati-hati Ra, sukses ya. Jangan pernah menyerah" ucapnya menyemangatiku.
Beberapa langkah kami berjalan melewatinya tiba-tiba aja Bu Lisa memanggil aku dan Ibu
"Ra, Ibu" panggilnya dari jarak yang sudah cukup jauh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Kustri
Siapa yg mjdkan Rara tumbal ireng ya??
Apa bu Tiwi🤔🤔🤔
2022-02-28
1