Kicauan burung membangunkanku kira-kira dipagi hari, mataku masih terjaga tapi tubuhku masih terbaring lemas dikasur kapuk. Kepalaku pusing dan tubuhku panas tetapi telapak tangan dan kaki terasa dingin.
Saat aku mulai beranjak bangun dari tempat tidur rupanya aku gak sanggup seperti ada yang menahan, sepertinya ini bukan rep repan tapi karena memang saat ini badan aku memang terasa lemas sekali.
Mau memanggil orang tua aku aja rasanya sulit sekali, mulut juga seperti dibekap sekalipun bersuara bunyinya pun pelan sekali, yang bisa mendengar cuma kuping aku aja.
"Ibu, Ayah, Tiara !" panggilku tapi pelan, mulutku pun gak bisa membuka seperti normalnya, mulutku terbuka ceper dan suaranya halus tipis.
Tapi kok kenapa lama kelamaan kepalaku gak bisa menoleh ke kanan, ke arah pintu kamar ku. Aku coba tes menoleh ke kiri pun juga gak bisa akhirnya aku cuma bisa melirik kanan kiri seadanya, meskipun pandangan wajahku tetap lurus menghadap jendela
Aku berusaha lagi memanggil Ayah dan Ibuku juga Adikku, sekali lagi. Siapa tau salah satu dari mereka mendengar, niasanya jam segini memang Ayah dan Ibu sudah berangkat ke kebun tapi pastinya setidaknya mereka tahu kalau aku belum bangun biasanya Ibuku datang membangunkanku atau Tiara masuk ke kamar ku sekedar membuat gaduh. Tapi kali ini rasanya gak ada satupun yang mengingatku, atau memang belum sempat ke kamar atau lupa padaku.
Ini adalah pikiran burukku saat ini.
Aku mencona memanggil kembali.
"Bu, Ayah, Tiara!" panggil ku lagi.
Tapi lagi-lagi panggilan itu hanya aku yang bisa mendengarnya.
Miris.
Tapi kali ini aku coba mengumpulkan suara sekuat tenaga dalam dadaku, aku berharap aku bisa teriak
Tapi suaraku masih gak bisa keras "Buu...!!!!..Ayaahh..!!.Tiara..!!"
Akhirnya aku putus asa, karena memang suaraku tertahan.
Beberapa menit berlalu akhirnya aku putuskan untuk coba tenangkan diri sendiri, berdiam sebentar sambil gak lupa berdoa dalam hati, menikmati kicauan burung saling bersahut-sahutan.
Sinar mentari mulai menelusup, ia menyala terang menembus celah bilik kamar ku.
Kreekk..!
Pintu kamarku dibuka oleh Ibu, lalu ia masuk sambil membawakan sarapan untukku, segelas teh manis hangat dan kue putu ayu yang disusun rapi dalam pinggan ia diletakkannya di meja samping lemari dekat pintu.
Langsung aja aku mengucap syukur dalam hati, walau aku masih belum bisa menolehnya
"Alhamdulliah"
Ibu menghampiriku lalu merapikan selimutku yang sudah turun sampai betis
Lalu duduk di sampingku sambil mengusap-usap rambutku yang sudah lepek.
"Sebentar lagi kamu Ibu antar ke puskesmas ya" ucapnya.
Aku diam saja tapi merasakan hangatnya belaian lembut seorang Ibu.
"Semalam badan kamu panas banget, kamu juga sempat kejang-kejang, Ibu bingung tapi ya Ibu cuma bisa doa aja saat itu" ucapnya.
Rupanya, semalaman aku sudah sempat separah itu. Justru aku malah gak ingat apa-apa
"Kamu sarapan dulu ya, nanti sebentar lagi kita berangkat ke puskes" ucapnya sambil mengambil makanan yang ia bawa lalu menyuguhkannya padaku
"Ayah ke kebun, Bu ?" tanyaku pelan
"Iya, dia baru aja berangkat ke kebun" jawabnya
Beberapa menit berlalu akhirnya selesai juga ia menyuapi ku sepiring putu ayu. Aku juga makannya sampai lahap bahkan sampai lima putu ayu dan minum segelas teh manis yang masih hangat.
Suhu tubuhku terasa stabil, sedikit demi sedikit aku mulai merasa hangat. Dan bersyukurnya sekarang bisa menggerakkan tubuhku perlahan meskipun memang masih lemas. Mungkin tadi malam itu aku kelaparan dan masuk angin jadi ketika bangun badan aku sudah lemah.
Tapi, tiba-tiba kenapa suhu badan aku naik lagi. Aku kembali menggigil
Ibu langsung menyadarinya meski gak terlihat panik tapi aku bisa membaca dari matanya yang nampak sedih
"Badan kamu panas sekali, Ibu kompres dulu ya. Ibu ambil dulu kompresannya" ucapnya sambil menyelimutiku sampai bahu, lalu ia pergi
Beberapa saat kemudian ia kembali membawa baskom berisi air dan handuk kecil untuk ditempelkan dikeningku. Gak lupa juga Ibu memberiku paracetamol.
Hari ini Ibu gak menemani Ayah tapi sepertinya Ibu akan seharian penuh bersamaku. Setelah demamku turun barulah Ibu mengajakku ke puskesmas.
Sedikit info aja kalau jarak puskesmas dari desa ini cukup jauh kira-kira dua kilo meter dan jalannya pun berliku, kebetulan Ayah memang belum punya kendaraan motor tapi Ayah masih ada sepeda goes. Tapi kami gak mungkin pergi ke puskesmas pakai sepeda goes melainkan naik angkutan umum jurusan kota, kami bisa menemukan angkutan umum setelah keluar dari desa beberapa meter dengan berjalan kaki sampai akhirnya ketemu jalan raya.
Dengan pakaian baju panas yang tebal dan masih diselimuti kain sarung, aku dan Ibu berjalan pelan-pelan ke jalan raya. Beberapa tetangga melihat kami tapi diam saja tapi ada juga yang simpatik melihat keadaanku
"Mau ke puskesmas ya ?" tanya Bu Tiwi dari balik pagar besinya, ia satu-satunya warga yang rumahnya bagus dan punya mobil di desa ini.
Ibu menyahutinya sambil tersenyum tapi kami masih tetap berjalan
"Iya Bu"
"Saya antar aja ya?" ucapnya, menawari tumpangan
Ibu belum menjawab tapi langkah kami terhenti lalu saling menoleh. Aku tau apa yang Ibu pikirkan dan aku juga tau apa yang Ibu pikirkan dengan pikiranku saat itu.
Ya, kami sama-sama berharap Bu Tiwi gak cuma sekedar pura-pura menawarkan bantuan.
Tapi akhirnya kami diyakinkan Bu Tiwi saat dia membuka gerbang rumahnya lebar-lebar.
"Ayok sini saya antar aja, kasian kalau naik angkot" ucapnya
Aku dan Ibu melangkah dan merapat hanya sampai depan gerbang karena tau diri kalau kami bukan siapa-siapanya.
Jadi, Ibu Tiwi ini sebenarnya jarang di rumahnya yang ini. Rumah ini sebenarnya rumah almarhum orang tuanya, tapi karena sejak Sekolah Dasar Ibu Tiwi sekolah sampai bekerja di Jakarta bahkan sampai menikah pun di Jakarta dan keluarganya ada di Jakarta jadinya rumah di kampung nya ini gak ada yang huni karena memamg Bu Tiwi anak tunggal. Tapi Bu Tiwi memang sering ke rumah ini untuk sekedar liburan atau bersih-bersih rumah dengan keluarganya sebulan lebih atau untuk beberapa hari aja. Tapi sebenarnya Bu Tiwi hampir sering datang seorang diri makanya sudah dianggap warga oleh kampung ini.
Ibu Tiwi menyiapkan mobil diluar gerbang lalu kembali menutup gerbang tanpa meminta bantuan pada kami.
Kemudian mengajak kami masuk ke dalam mobilnya yang silver metalik
"Ayok masuk aja" ajaknya
Dengan sikap segan dan malu-malu aku dan Ibu akhirnya masuk, lalu duduk di belakang kemudi.
Baru ini aku masuk ke dalam mobil pribadi yang aku anggap ini sangat mewah. karena memang sebelumnya aku gak pernah masuk ke dalam mobil, jangankan mobil ini, mobil angkutan aja aku baru beberapa kali naik
Dalam perjalanan Ibu Tiwi memulai obrolan.
"Ibu yang tinggal di pojokan dekat pohon nangka kan ya ?" tanyanya
Ibu mengangguk "Iya bener"
"Iya yang kemarin pingsan ya ?" tanyanya lagi seakan dia mengingatkan kembali bayangan Mak Warsih yang sebenarnya sudah tenggelam dalam pikiranku
Aku diam saja tapi Ibu yang menjawabnya
"Iya Bu, semalam juga dia demam dan sempat kejang-kejang. Saya sama Ayahnya panik karena itu kan kejadiannya tengah malam" cerita Ibuku
Sementara Ibu Tiwi mendengarkannya sambil menyetir dengan sangat hati-hati
Tapi meski sedang mengemudi Ibu Tiwi tetap membalas cerita Ibuku
"Ya ampuuun, untung gak kenapa-kenapa ya Bu. Aduh, saya ih kalau jadi Ibu super panik loh. Bisa-bisa cuma bisanya nangis aja" ucapnya
"Ya Bu, mau bagaimana lagi namanya musibah ya kami juga gak bisa berbuat banyak buat menghindarinnya" balas Ibu
"Mmm betul Bu, saya setuju sama Ibu" ucap Bu Tiwi seolah menyudahi obrolan mereka
Sejenak hening tanpa ada obrolan lagi, karena perjalanan masih agak jauh Bu Tiwi bertanya lagi seolah jadi penasaran kenapa aku bisa pingsan
"Memangnya waktu kamu pingsan yang kamu rasain apa sih ?" tanya Bu Tiwi "Oh ya nama kamu siapa ?" Tambahnya menanyai namaku.
Sebenarnya aku malas menjawab pertanyaan yang seharusnya sudah aku kubur gak perlu dibuka lagi karena ini mengenai rasa trauma
Tapi entah kenapa suasana hati aku sedang baik jadinya aku jawab seadanya aja karena mengingat pesan Ayah kalau cerita yang aku alami kemarin hanya aku dan Ayah aja yang tau.
"Aku Rara bu" Jawabku
"Wah nama anaknya bagus ya Bu" puji bu Tiwi pada Ibuku.
Ibu tersenyum menerimanya.
Akhirnya aku cerita "Waktu itu aku gak ingat apa-apa Bu, tau-tau kepala aku sakit, pandangan gelap eh tau-tau aku sudah ada di kamar"
Mendengarnya Ibu Tiwi manggut-manggut
"Oh gitu. Semoga aja nanti gak ada penyakit yang parah ya" ucap Bu Tiwi mendoakanku
Aku dan Ibu kompak menjawab
"Amiiiiinnnnnn"
"Makasih ya Bu" ucapku
Setelah lama dalam perjalanan Akhirnya Bu Tiwi merapatkan mobilnya di dalam parkir Puskesmas, parkirannya cukup ramai lalu kami turun
Aku dan Ibu kembali mengucap terimakasih pada Bu Tiwi
"Terimakasih ya Bu sudah mengantarkan kami" ucap Ibu berterimakasih
Ibu Tiwi justru turun dari mobilnya lalu mendekti kami yang sudah turun lebih dulu
"Iya sama-sama Bu, tapi saya ikut temani ya. Nanti kita pulangnya sama-sama lagi" pinta bu Tiwi
Aku dan Ibu terdiam mendengar ketulusannya.
Lalu mengangguk setuju.
Lalu kami masuk bersama ke dalam Puskesmas, tapi aku cuma sendirian di ruang periksa sementara Ibu dan Bu Tiwi menungguku diluar.
Kira-kira setengah jam berlalu aku sudah selesai diperiksa dan dokter juga memberitahu penyakitku pada Ibu dan memberikan resep obat padanya
"Jadi Rara ini kena demam, ini obat yang bisa ditebus ya Bu" ucap Bu Dokter sambil menyodorkan kertas resep pada Ibuku.
Ibu menerimanya tapi kertas itu dirampas oleh Bu Tiwi
"Coba saya lihat obatnya apa aja Bu " ucapnya sambil membaca potongan kertasnya
"Ayok Bu saya bantu tebus" ucap Bu Tiwi lagi, lalu mengajak kami ke apotik.
Setelah semua selesai, Bu Tiwi mengantarkan kami pulang.
Rupanya Tiara sudah berada di rumah, ia sedang makan siang.
Aku duduk disampingnya, duduk melantai diatas tikar pandan yang sudah kusam.
"Bu, tadi guru aku tagih bayaran" ucap Tiara yang masih mengunyah makanannya.
"Iya nanti Ibu ke sekolah minta keringanan ya, kamu tenang aja" jawab Ibu
Tapi Tiara rupanya sudah bosan dengan jawaban Ibu yang selalu seperti itu
"Tapi kata Bu Dewi gak bisa lagi dikasih keringanan karena sudah enam bulan menunggak"
Ibu terdiam.
Saat itu suasana jadi hening.
Aku jadi ikutan pusing melihat Ibu yang sebenarnya kebingungan tapi ia tetap terlihat santai sambil menyiapkan makanan untukku
"Iya nanti Ibu bayar semuanya, Ibu sudah ada uang. Kamu gak usah khawatir ya" semangat Ibu pada Tiara.
Tiara senang mendengarnya lalu mengangguk dan lanjut menghabiskan makanannya.
Tapi Tiara bertanya lagi "Bu, di rumah kita kenapa gak ada tivi ?" tanyanya
Ibu diam untuk yang kedua kalinya
Aku mau bantu jawab pun itu gak mudah, karena dulu pun sewaktu aku SD, aku juga menanyakan hal itu pada Ibu dan Ayah tapi setelah besar dan semakin mengerti kondisi akhirnya aku paham.
Tiara masih mengeluh pada Ibu "Bu, Tiara pengen nonton tivi di rumah. Tiara udah bosen nonton di rumah temen. Soalnya kadang-kadang tivinya dimatikan sama Ibunya atau kadang juga sama Ayahnya. Kadang pintu rumahnya langsung ditutup"
Tapi Ibu hanya diam dan cuma mendengarkan cerita Tiara. Seolah menganggap ceritanya hanya cerita dongeng pengantar tidur. Tapi aku paham betul pasti di dalam hati Ibu sangat terenyuk mendengarnya.
Ibu mendehem sekali "Ehem"
Lalu memberikan penjelasan pada anak bontotnya itu "Tiara, nanti kalau Ibu ada uang pasti Ibu belikan tivi supaya kamu gak numpang di rumah temanmu lagi" ucapnya "Sudah, piringmu sudah kosong lebih baik sana cuci piring kamu" tambah Ibu lagi
Tiara paham dengan penjelasan Ibu, lalu meminta ijin "Habis ini aku mau main ya bu"
"Iya" Jawab ibu
Tiara melangkah ke dapur lalu mencuci piring yang tadi ia pakai makan lalu langsung pergi main setelah pamit pada Ibu dan aku.
"Ra, kamu tidur aja dulu ya. Biar cepet sembuh"
ucapnya sambil berjalan ke dapur.
Tapi langkahnya terhenti saat aku panggil
"Bu!" panggilku
Ia menolehku, aku menatapnya.
"Bu, aku ke Jakarta aja ya" pintaku.
Mendengarnya Ibu menghampiriku, dia gak jadi ke dapur, ia malah duduk dihadapanku dengan lembut ia bertanya
"Mau ngapain ke Jakarta ?" tanyanya
Aku diam, sebenarnya ini adalah inisiatif dadakan yang tiba-tiba saja muncul begitu saja.
"Di Jakarta itu kita gak ada saudara, gak ada yang kita kenal Ra" tambahnya lagi
Tapi aku menjawabnya dengan optimis
"Kita harus maju Bu, aku juga sudah lulus SMA harusnya aku bisa kerja di Jakarta"
"Betul, memang kita harus maju. Tapi kamu harus tau Jakarta itu seperti apa"
"Memangnya Ibu sudah pernah ke Jakarta ?" yanyaku
Ibu diam, ia gak bisa jawab karena memang Ibu gak pernah ke Jakarta sama sekali.
"Aku yakin Bu, aku bisa kerja di sana nanti setiap gajian aku kirim ke sini"
"Kamu yakin Ra ?" tanya Ibu lagi
Aku mengangguk dengan yakin
"Iya Bu"
"Sebaiknya kamu pikir-pikir dulu ya. Jakarta itu jauh. Ibu gak bisa pantau kamu" ucapnya lagi
"Tenang aja Bu, aku pasti bisa mengubah nasip kita" Yakinku lagi
Ibu tersenyum tapi aku tau itu bukan senyuman kepercayaan tapi tersirat dimatanya rasa takut kalau nanti aku kenapa-kenapa di tanah rantau.
"Nanti kita rundingkan pada Ayahmu aja dulu ya. Bagaimana enaknya"
"Kalau Ayah juga setuju apa Ibu setuju ?" tanyaku
Ibu terdiam
"Bu, gak usah khawatir. Aku pasti bisa Bu" yakinku sekali lagi.
Malam sudah tiba, suasana malam yang tenang dan dingin.
Sehabis Solat Isya aku, Ayah dan Ibu membahas niatanku untuk bekerja di Jakarta.
Ayah yang membuka obrolan lebih dulu, sepertinya Ibu sudah memberitahunya. Sementara Tiara sedang mengerjakan PR nya disamping kami
"Kamu Yakin mau pergi ke Jakarta " tanyanya lagi dengan yakin
Aku mengangguk yakin
"Iya, Yah. Aku yakin aku bisa bekerja di sana"
"Masalahnya ini bukan masalah kamu kerja. Tapi nanti kamu tinggal di mana ? untuk makan kamu bagaimana ? siapa nanti yang akan mengurus kamu kalau nanti kamu sakit ?" tanya Ayah
Aku diam lalu berfikir "Iya juga sih"
Ayahku menambahkan lagi "Apa lagi kamu juga kan gak ada hape, kami juga gak ada hape. Bagaimana kami bisa tau kabar kamu ?"
Semakin Ayah mengulas kekurangan itu, aku jadi ragu. Membuat semangatku jadi gak sepenuh semangat tadi siang
Ibu mengelus pundakku dengan lembut ia menyemangatiku agar aku bisa berfikir lagi sebelum mengambil keputusan itu
"Kalau memang banyak yang kurang, lebih baik kamu jangan pergi, karena Ibu takut kamu kenapa-kenapa"
"Iya betul kamu pikirkan lagi baik-baik" tambah Ayah.
Sebenarnya aku ke Jakarta mau bantu keuangan keluargaku tapi disisi lain aku juga harus pertimbangkan apa yang Ayah dan Ibu bilang.
Disini aku jadi dilema
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Kustri
Ikut bu Tiwi
2022-02-28
2