Zia disibukkan kembali dengan rutinitasnya di tempat kerjanya, usahanya semakin hari semakin ada peningkatan.
"Mbak, kalau begini terus, usaha Mbak akan semakin sukses," kata Mila.
"Mudah-mudahan ya, ini juga berkat kalian yang bekerja dengan serius. Tanpa kalian, toko ini tidak akan seperti ini," jawab Zia.
Ia senang dengan usaha yang dijalaninya sekarang, ia juga bisa membantu perekonomian panti asuhan yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya. Terlebih lagi, karyawan yang ada di tokonya adalah teman-temannya sewaktu masih tinggal di sana. Ia bersyukur, dan semoga usahanya bertambah pesat dan memiliki cabang di luar sana.
Ketika Zia sedang sibuk, Angga kembali datang. Namun kali ini bukan untuk memesan kue, ia sengaja datang ke sana hanya untuk mengajak Zia mengobrol.
"Ada kue yang ingin dipesan lagi, Mas?" tanya Mila pada Angga.
Bukannya menjawab, Angga malah celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Tentu Mila tahu siapa yang dicari oleh pria tersebut. Tak lama Zia datang menghampiri, mereka sedikit berbincang, dan Zia masih biasa saja tidak berpikiran apa-apa pada laki-laki itu.
Sampai siang, Angga baru pulang dari toko kue tersebut. Hatinya mulai berbunga-bunga karena Zia sudah bisa diajak mengobrol meski pembahasan mereka hanya sekitar pekerjaan dan kue.
***
Keesokan harinya, Angga datang kembali. Sudah dua kali kedatangannya bukan soal kue yang ia pesan, ia memberanikan diri untuk mendekati Zia.
"Pagi, Mas?" sapa Mila.
"Pagi juga?" Ia menjawab sapaan Mila, tapi matanya berkelana entah kemana.
"Mbak Zia belum datang, Mas," kata Mila pada Angga. "Terlalu pagi jika hanya ingin bertemu dengannya, soalnya Mbak Zia harus mengurus ..."
"Mengurus apa?" pungkas Angga penasaran.
"Aku jujur apa gak ya?" batin Mila. Akhirnya, Mila tak mengatakan yang sebenarnya. "Biarkan saja Mbak Zia dekat dengan Mas Angga, biar ada teman baru. Semoga saja dengan kedekatan mereka membuat Mbak Zia sedikit melupakan masalahnya dengan suaminya."
"Mengurus apa, Mila?" tanya Angga kembali.
Belum Mila menjawab, Zia sudah terlihat di ambang pintu.
"Ah, itu Mbak Zia." Tunjuk Mila.
Seketika, Angga langsung menoleh ke arah ambang pintu. Dan benar saja, wanita berhijab itu menampakkan dirinya di sana. Angga tersenyum melihat bidadari tak bersayap itu.
Zia menghampiri ke arah kasir, ia meletakkan tas yang ia bawa di kolong meja kasir. Zia sudah tidak heran akan keberadaan Angga berada di tokonya, karena pria itu pelanggan nomor 1. Pelanggan yang banyak modusnya, tanpa diketahui oleh Zia.
"Mau ambil kue ya, Mas?" tanya Zia pada Angga.
Angga menggelengkan kepala sebagai jawaban. Zia mengerutkan keningnya, ia merasa bingung kalau bukan mengambil kue untuk apa pria ini sudah ada di tokonya pagi-pagi begini?
"Tidak sengaja lewat, jadi aku mampir saja," elaknya berbohong. Padahal ia sengaja ingin menemui Zia.
"Sudah sarapan?" tanyanya lagi.
"Su-sudah." Zia sedikit risih dengan perlakun Angga kali ini, ia merasa tidak nyaman. Namun sebisa mungkin ia bersikap biasa saja, karena ini belum menyangkut masalah pribadinya. Untuk sementara ia masih bisa mentoleransinya.
"Sayang sekali, aku bawakan ini. Aku mampir ke sini karena ini." Angga memperlihatkan sebuah paperbag di tangannya dan meletakkannya di atas meja kasir.
"Lain kali, Mas gak usah repot-repot." Bukannya menolak, tapi Zia tidak ingin menjadi salah faham dengan semua ini. Sebenarnya, ia juga ingin mengatakan kepada Angga bahwa ia telah menikah.
Tapi ia teringat akan ucapan suaminya dulu, tidak ada yang boleh tahu pernikahan ini selain ibunya. Karena memang, ia menikah dengan cara sederhana. Tidak seperti pernikahan suaminya dengan Camelia, pernikahan siri tapi banyak diketahui orang.
Sebagai istri sah, namun identitasnya disembunyikan. Dan itu alasannya mengapa tidak ada yang tahu bahwa Zia sudah menikah. Lalu, apa ini salahnya kalau ada pria yang mencoba mendekatinya?
"Tapi, aku tidak merasa direpotkan. Aku senang melakukan ini, anggap saja ini dari teman atau saudara," kata Angga.
"Iya, Mas. Ucapan Mas ada benarnya," timpal Mila. "Berteman, Mbak. Gak dosa kok kalau hanya berteman," sambungnya pada Zia.
"Dari pada mubazir, ini untukku saja, Mas." Pinta Mila sembari meraih paperbag yang ada di atas meja itu.
"Ah, iya boleh, Mila. Itu banyak ko, bisa dimakan ramai-ramai." Angga merelakan kue itu pada Mila, meski hatinya sedih karena ditolak oleh Zia.
***
Angga tak pantang menyerah, setiap hari ia datang menemui Zia. Akhirnya Zia pasrah, dan menerima pertemanan mereka. Hanya teman tidak lebih, bagi Zia.
Karena hari sudah semakin sore, Zia berniat pulang hari ini. Entah kenapa, motor yang biasa ia gunakan mendadak mogok tidak bisa dinyalakan.
Entah kebetulan atau memang Angga menunggu kepulangn Zia, pria itu mendekat ke arah Zia yang masih berada di tempat parkir di depan toko kue-nya.
"Ada masalah?" tanya Angga setibanya di hadapan Zia.
"Eh, Mas Angga. Iya nih, tiba-tiba motornya ngadat dan gak bisa dinyalain," jawab Zia.
Padahal ini sudah sore, sudah waktunya ia pulang. Selama ini, ia tidak pernah pulang telat. Dan sekarang, ia bisa terlambat pulang kalau motornya masih mogok begini.
"Aku antar pulang saja, bagaimana?" tawar Angga.
Zia berpikir sejenak, kalau tidak pulang sekarang bisa telat. Kalau pulang bersama Angga, ia merasa tidak enak, bagaimana ini?
"Sudah ... Jangan kebanyakan mikir, ayok pulang. Aku antar sampai rumah, bila perlu aku ikut masuk ke rumahmu."
Tidak ada pilihan lain, akhirnya Zia pulang diantar oleh Angga.
"Hmm, baiklah. Tunggu sebentar kalau begitu." Zia berniat menemui Mila, tapi gadis itu lebih dulu menemuinya.
"Sudah, Mbak pulang bareng sama Mas Angga saja. Motor biar aku yang urus." Mila sedari tadi memang menguping, jadi ia tahu apa yang akan disampaikan Zia padanya.
"Baiklah, terimakasih ya, Mila. Mbak duluan kalau begitu," pamit Zia.
Mila mengangguk, lalu ia mengucapkan sesuatu pada pria yang akan mengantar Zia.
"Mas Angga antar pulang Mbak Zia sampai rumah, jangan menculiknya dulu."
"Sepertinya ide bagus, Mila. Mas akan menculik Mbak-mu ini sebelum pulang." Gelak tawa langsung terdengar dari pria itu.
Dan Mila pun ikut tertawa, pria itu sedikit humoris sampai Zia sering dibuat tertawa olehnya. Akhirnya, Zia pulang diantar oleh Angga. Di perjalanan, suasana mendadak sunyi. Angga menjadi sedikit salah tingkah, jantungnya merasa berdegup dengan kencang.
Sebisa mungkin ia menahan perasaannya, karena ini terlalu cepat jika ia mengungkapkan isi hatinya sekarang. Terlebih lagi, sepertinya Zia memang tidak mudah untuk didekati, ia akan bersabar untuk sementara.
Tak terasa, mobil yang ditumpangi mereka sampai di kediaman Zia. Angga melihat rumah itu, rumah yang cukup sangat besar, ia tak menyangka rumah Zia sebesar ini. Bahkan Zia terlihat seperti wanita sederhana bahkan ia tak pernah menggunakan kendaraan beroda 4.
"Terimakasih ya Mas sudah mengantarku pulang."
"Iya, sama-sama."
Zia pun turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Nenk Alefa
ih
2022-05-02
0
Sulati Cus
pasti ada, yg kebakaran jenggot
2022-01-31
0
Monariza Rustam
Laah, ngapain nasuk2 antar krmh org toh mas....
2022-01-20
0