"Apa dek? Mual lagi?? Perutnya sakit??" Bang Wira sudah kebingungan saat Dinda sedikit bergeser dari duduknya.
"Rok Dinda tertindih Abang" jawabnya sambil menarik rok nya yang tertindih.
"Oohh.. bilang donk. Nggak usah ngambek" Bang Wira sedikit bergeser dari duduknya.
"Dinda khan nggak sakit parah Bang. Kenapa Abang panik sekali?"
"Eehh.. mulutnya.." Bang Wira menyentil bibir Dinda.
"Nggak panik bagaimana?? Yang kamu bawa itu bayi, bukan celengan. Abang nggak hanya mikir kamu saja, tapi mikir si kecil juga"
Nesya perlahan mulai tenang, hatinya terasa hangat karena ternyata Dinda bukan ancaman baginya, tapi melihat Bang Rendra terus melirik dari kaca membuat dirinya jadi resah, seakan Bang Rendra belum mengikhlaskan Dinda bersama dengan Bang Wira.
Tiba-tiba Bang Rendra mengerem mobilnya mendadak hingga Dinda Dinda hampir terperosok ke depan. Tangan Bang Wira secepat kilat menangkap tubuh Dinda. Kakinya pun menendang kursi kemudi Bang Rendra.
"Heehh Ren, nyetir yang benar..!!!!" Tegur keras Bang Wira.
"Sorry, aku nggak sengaja. Tadi ada nenek-nenek nyeberang jalan" jawab Bang Rendra.
Nesya hanya meliriknya saja karena ia tahu sejak tadi Bang Rendra terus melirik Dinda.
...
Malam hari Dinda termenung sendirian di dalam kamar. Ia tidak bisa menghubungi ibunya sejak dua minggu ini dan itu membuatnya sangat sedih.
"Kenapa sedih begitu?" Tanya Bang Wira sembari menyerahkan segelas susu ibu hamil untuk Dinda.
Dinda pun segera menghabiskan susu tersebut karena Bang Wira selalu menungguinya sampai susu itu habis.
"Dua Minggu ini nggak ada kabar dari ibu Bang."
"Kenapa? Ponselnya nggak bisa di pakai?" Tanya Bang Wira datar, karena ia memang sudah membelikan Dinda ponsel baru.
"Nggak Bang. Dinda sudah berusaha hubungi tapi nggak ada yang angkat" Jawab Dinda sedih.
"Boleh Dinda pulang Bang?" Tanya Dinda.
"Bukannya nggak boleh dek. Abang nggak mau kamu ada apa-apa di perjalanan. Abang belum bisa ijin untuk antar kamu pulang." Jawab Bang Wira.
"Dinda janji hati-hati."
"Nggak dek. Itu bahaya" tolak Bang Wira.
Dinda pun membaringkan dirinya menghadap dinding. Selama ini Bang Wira sudah selalu mengijinkan dirinya untuk mengirim uang pada orang tuanya. Tapi ia heran kenapa Bang Wira masih melarangnya untuk bertemu dengan ibunya.
Melihat Dinda bersedih hati Bang Wira jadi tidak tega.
"Besok siang Abang minta ijin ke Danyon untuk mengantarmu bertemu ibu. Tapi Minggu sore kita harus sudah kembali kesini. Apa itu cukup?"
Dinda menoleh menatap mata Bang Wira.
"Cukup Bang, satu jam juga cukup asal bisa melihat ibu sebentar saja." Jawab Dinda.
"Ya sudah.. sekarang istirahatlah, dua jam perjalanan itu juga capek untuk ibu hamil. Perutmu sudah semakin besar. Hampir enam bulan sekarang. Jangan terlalu capek" kata Bang Wira.
"Iya Bang. Terima kasih"
...
"Abang bohong, kenapa Abang mengingkari kalau sebenarnya Abang ada rasa sama Dinda"
"Jangan bilang begitu dek, Nanti kalau Wira dengar.. dia bisa marah. Abang nggak ada rasa sama Dinda. Mana ada sesuatu yang tidak di sengaja terus jadi suka" jawab Bang Rendra.
"Tetap saja.. Dinda sudah mengandung anak Abang. Pasti sedikit banyak Abang ada rasa sama ibunya" kata Nesya yang lebih sensitif.
"Astagfirullah hal adzim.. kalaupun Abang suka memperhatikan gerak gerik Dinda. Itu hanya karena bayi itu. Bukan karena Abang suka. Tapi segala apapun yang Abang rasakan tidak melebihi rasa sayang Abang sama kamu" jawab Bang Rendra meyakinkan Nesya.
***
"Abang.. Dinda pengen muntah" Dinda menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Sabar.. Abang menepi dulu" Bang Wira pun menepikan mobilnya.
Mobil Bang Wira berhenti, Dinda segera turun dan berjongkok.
"Cckk.. piye to dek. Nelongso tenan rasane ati ngene iki dek" dengan sabar Bang Wira mengurus Dinda.
"Abang khan sudah bilang, jok nya di turunkan saja. Kamu tidur.. jangan lihat jalan"
"Kalau Dinda tidur, siapa yang temani Abang di jalan?"
"Abang ini sopir lintas kota dalam provinsi. Kamu tenang saja" Bang Wira membantu Dinda untuk berdiri.
Dinda bersandar di dada Bang Wira, rasanya kakinya sudah sulit untuk menapak "Bang.. Dinda pengen bakso"
"Siap.. ayo cari baksonya"
...
Baru mencoba dua suap bakso, Dinda sudah tidak sanggup makan lagi dan seperti biasa Bang Wira juga yang harus menghabiskan baksonya.
"Ini kurang setengah jam perjalanan. Kamu masih kuat nggak?"
"Dinda kuat Bang" jawab Dinda.
Bang Wira tau Dinda hanya menahan segala rasa agar bisa bertemu dengan ibunya dan tentu saja agar dirinya tidak marah karena sebenarnya Dinda tidak kuat dalam perjalanan jauh.
"Ya sudah.. asal kamu nurut Abang, kamu nggak akan muntah"
...
Sore pun tiba. Dinda kaget karena Bang Wira mengajak Dinda ke sebuah rumah sakit besar di desanya.
"Kita kenapa kesini Bang? Dinda nggak apa-apa"
"Ikut Abang dulu..!!"
:
Bang Wira membuka pintunya dan memberi salam. Betapa terkejutnya Dinda saat melihat sang ibu terbaring sakit di ruang VIP rumah sakit. Ibu pun membalas salam.
"Ibuuuu..!!!" Dinda begitu terkejut, tanpa sadar ia berlari menghampiri ibunya. Dinda memeluk ibunya dengan erat.
"Dek, hati-hati..!!!! Kamu ini kebiasaan..!!!!!" Nada keras Bang Wira terdengar nyaring di satu ruangan.
"Marahi saja Wira.. memang Dinda ini bandel" kata ibu kemudian menerima uluran tangan Bang Wira yang mencium tangannya.
"Ibu kok kenal sama Abang??" Tanya Dinda kaget dan bingung.
"Suamimu ini sudah pernah pulang ke rumah kita untuk menjemput ibu, tapi ibu nggak mau. Ibu nyaman disini nak, bersama almarhum bapakmu" jawab ibunya.
"Abang ke rumah?? Kapan??"
"Waktu ada tugas tiga hari, mengontrol latihan anggota katanya. Waktu itu ibu kaget ada mobil berhenti di depan rumah. Ada seorang pria tampan dan gagah menemui ibu. Ibu sangka mau melamar ibu. Ternyata tamu itu lebih mengagetkan lagi" kata ibu mengingatnya kembali.
Flashback on..
"Siapa ya?" Tanya ibu Dinda.
Bang Wira membuka topi kemudian membungkuk mencium tangan wanita paruh baya itu memberikan penghormatannya sebagai seorang anak.
"Saya Wira Bu. Panji Rakasheta Wiranegara. Mohon maaf Bu, saya suaminya Dinda" ucap Bang Wira langsung pada pokok persoalan.
"Apa?? Tidak mungkin. Kenapa Dinda tidak memberi tau ibu? Kenapa Dinda tega merahasiakan hal sebesar ini sama ibu" ibu Dinda terdengar begitu sedih.
"Saya minta maaf Bu. Saya yang salah. Delapan bulan lalu saya bertemu Dinda saat acara bangun desa. Enam bulan saya ada di sini, saya pernah mampir di warung makan ibu. Mungkin ibu lupa karena terlalu banyak rekan saya" alasan Bang Wira sesuai keterangan dari Rendra.
"Dari situ saya kenal putri ibu. Kami memulai perkenalan dan saling mengenal"
"Oohh begitu ya. Iya banyak orang, mungkin itu lupa" jawab ibu.
"Setelah saya ada pergantian anggota. Saya tidak tau kalau Dinda ingin mencari kerja di kota, tanpa sengaja.. saya bertemu Dinda lagi, dan saat itu saya menyadari kalau saya sangat mencintai Dinda. Saya tidak mau di dahului orang lain. Maka dari itu saya langsung menikahinya dan menaikan statusnya menjadi istri saya di kantor." Ucap Bang Wira hati-hati karena ibunya sudah menangis.
"Lalu bagaimana Dinda sekarang? Apakah Dinda bahagia"
Bang Wira menunjukan video Dinda yang sedang tertidur.
"Ibu sudah mau punya cucu. Sudah dua bulan Bu" Bang Wira sengaja mengurangi usia kehamilan Dinda agar ibunya tidak kaget.
"Insya Allah saya mencintai dan menyayangi putri ibu lahir batin. Saya kesini memohon doa restu ibu. Apakah ibu ridho dan mengikhlaskan saya menjadi 'imam' bagi putri ibu?"
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Nonengsupartika
wahantap bang wira
2022-06-20
0
Iddar Watti
keren bgt ceritanya thor.... klu didunia nyata jarang bgt nemu tentara yg pangkatnya perwira mau sama orang biasa rata rata sama wanita yg punya pendidikanan tinggi atau orang yg kaya, jgnkan yg oangkatnya letnan yg pangkatnya pratu saja memililh wanita yg punya pendidikan tinggi, makanya karya mu the best bgt thor kerennnn😍😍😍😍
2022-02-20
3
ella
🤩🤩🤩
2022-01-10
1