Air Mata

Aku tak bisa percaya dengan apa yang kudengar tadi. Bisa saja Alya adalah wanita bermulut ular. Jika memang dia adalah istri pertama dan cinta mati Mas Darwin, mengapa Mas Darwin menikah lagi -menikah denganku? Dan, mengapa ia membiarkan Mas Darwin menikah lagi?

Tak bisa kuterima akal sehat. Semua pernyataan Alya sulit kuterima mentah-mentah. Aku tak boleh percaya begitu saja. Aku harus memastikannya.

Aku menelepon Mas Darwin. Seperti biasa berkali-kali kutelepon, Mas Darwin tidak mengangkatnya. Sulit sekali untuk menghubungi suamiku sendiri.

Aku pun lalu mengirimkan pesan suara padanya. "Mas, cepatlah pulang ke rumah sekarang! Kita harus bicara. Penting!"

"Jika kau tidak datang dalam setengah jam, aku akan menyusulmu ke kampus. Kita harus bicara." Suaraku pada pesan itu terdengar bergemuruh penuh emosi.

"Jika kau laki-laki, hadapi aku sekarang! Jangan menghindar!" Pesan suaraku terdengar makin kacau.

"Temui aku sekarang!" Teriakku. Berkali-kali aku mengirimkan pesan suara pada Mas Darwin.

Dia harus pulang sekarang. Aku ingin bicara padanya. Aku tak bisa menahan emosiku lagi. Aku ingin tahu semuanya dengan jelas. Benarkah ia memiliki dua istri?

Aku pun lalu mencoba menghubungi ayah Mas Darwin. Dulu ia pernah memberikan nomor ponselnya padaku. "Tuuutt... Tuuuuut... Tuuuut...." Panggilanku tak kunjung dijawab. Aku meneleponnya lagi hingga empat kali, namun tetap tak dijawab.

Tiba-tiba otakku terpikir pada Tante Ros, tetanggaku di Palembang dulu. Ia yang menjodohkanku dengan Mas Darwin. Dia pasti tahu sesuatu. Aku segera meneleponnya.

"Assalamualaikum, Rania!" Tante Ros menyapa dengan ramah. "Apa kabar?"

Aku tak bisa berbasa-basi lagi. Aku segera bertanya, "Tante, benarkah Mas Darwin sudah punya istri?"

"Kamu ngomong apa sih? Ya benarlah, kamu kan istrinya," jawab Tante Ros dengan nada konyol.

"Bukan, Tante. Maksudku istri yang lain." Tanpa terasa aku meneteskan air mata. "Apakah sebelum menikah denganku, Mas Darwin sudah punya istri?"

"Kamu menangis, Rania?" tanya Tante Ros.

"Jawab, Tante! Jawab! Apakah Mas Darwin punya istri selain aku sebelumnya?"

"Ya, belum punya lah," jawab Tante Ros. "Darwin itu masih perjaka. Memangnya mengapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?"

"Tadi pagi aku bertemu dengan Alya, dia bilang dia istri pertama Mas Darwin," ucapku.

"Alya," gumam Tante Ros. "Alya siapa?"

Ternyata Tante Ros sepertinya tidak tahu apa-apa. Percuma saja aku bertanya padanya.

"Kamu jangan mudah tersulut emosi, Rania. Mungkin saja si Alya itu cuma mengaku-ngaku. Setahu Tante Darwin belum pernah menikah. Dulu sekali sih dia pernah satu kali bawa calon istri di acara nikahan keluarga, tapi itu sudah lama sekali. Dan, waktu itu sepertinya Tante Marina, ibu Mas Darwin, terlihat sekali tidak setuju. Setelah itu, Darwin tidak pernah dekat-dekat dengan wanita lagi, apalagi menikah." Ucapan demi ucapan Tante Ros seolah membenarkan pernyataan ibu tentang Mas Darwin dan Alya.

Ibu pernah berkata dulu Mas Darwin pernah memperkenalkan Alya sebagai calon istrinya pada ibu. Namun, ibu tidak merestui hubungan mereka. 'Mungkinkah mereka lalu menikah diam-diam tanpa sepengetahuan ibu dan keluarga Mas Darwin?' pikirku.

"Rania, kamu harus percaya pada suami kamu," ucap Tante Ros. "Yang sabar ya, ini ujian pernikahan untuk membuat kamu lebih kuat."

"Tante, siapa nama wanita itu? Wanita yang dikenalkan Mas Darwin sebagai calon istrinya?" tanyaku masih disertai lelehan air mata.

"Duhh, Tante tidak ingat. Kejadiannya sudah lama sekali. Delapan atau sembilan tahun lalu. Tante tidak ingat namanya, dia itu teman kuliahnya Darwin," jawab Tante Ros.

'Astaghfirullah.' Aku bergumam dalam hatiku. 'Itu pasti Alya,' pikirku. Ibu pernah berkata Alya adalah teman kuliah Mas Darwin. Semua pernyataan ibu, ucapan Tante Ros, dan kenyataan yang ada di hadapanku saat ini terhubung menjadi satu padu.

'Mungkinkah Alya benar-benar adalah istri Mas Darwin? Mungkinkah benar aku hanyalah istri keduanya? Mungkinkah aku adalah orang ketiga dalam pernikahan mereka?' Hatiku semakin bergemuruh. Aku menutup telepon dengan Tante Ros.

Aku menangis terisak di dalam kamar. Aku benar-benar tak ingin mempercayai semua kenyataan yang semakin terbuka lebar di hadapanku. Harapanku untuk memiliki rumah tangga yang utuh dengan Mas Darwin sirna sudah. Ternyata aku bukan siapa-siapa dalam hidup Mas Darwin. Aku hanyalah 'peran pembantu'. Aku hanya boneka dalam pernikahan ini.

Betapa bodohnya aku berharap terlalu banyak dari pernikahan ini. Aku memuja Mas Darwin sebagai suamiku, ingin hidup menua bersamanya. Sedangkan, Mas Darwin mungkin tak pernah mengharapkan aku ada dalam hidupnya.

Aku kecewa. Tak dapat kuungkapkan lagi kekecewaan yang aku alami. Hanya air mata yang terus berlinang menjadi bukti besarnya kekecewaan itu. 'Apa yang harus aku lakukan? Benarkah aku hanya istri kedua?'

Aku harus menemui Mas Darwin sekarang juga. 'Harus.' Aku harus tahu kenyataan sebenarnya. Aku tak mau menerka-nerka seperti ini. Meskipun, semua fakta mengarah seakan membenarkan ucapan Alya, namun jauh di hatiku terdalam aku masih sangat berharap semua ini hanya kebohongan Alya. Aku tak mau semuanya jadi kenyataan.

'Mas Darwin tidak menemuiku, maka aku yang akan menemuinya,' batinku.

Aku bergegas keluar kamar menuju pintu rumah. Kulangkahkan kakiku ke luar rumah. Aku ingin mengunci pintu rumah dari luar. Namun, belum sempat kukunci, suara mobil yang tak asing di telingaku terdengar begitu dekat. Aku menoleh dan Mas Darwin turun dari mobil itu.

Ia berjalan ke teras. Aku menatapnya begitu nanar. Air mata masih menghiasi sudut mataku. Ia pun menatapku seakan heran. Cukup lama kami bertatapan dengan pemikiran kami masing-masing.

Lalu, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan aku segera mengikutinya. "Mau bicara apa?" tanyanya seakan menantangku.

"Tadi pagi aku bertemu Alya," ucapku. "Dia bilang dia istri pertamamu, Mas. Benarkah itu, Mas?"

Raut wajah Mas Darwin tiba-tiba berubah. Ia bungkam seribu bahasa.

"Jawab, Mas!" desakku. "Jawab!"

"Apa aku ini hanya istri kedua? Mengapa kamu menikahiku jika cintamu hanya untuk Alya?" Lagi-lagi air mataku berderaian.

"Jawab, Mas! Jawab! Mengapa kamu diam saja?" Aku begitu emosi. Sedangkan, Mas Darwin mengusap wajahnya dan membuang muka.

"Mengapa kamu tidak mau menjawab? Apa itu benar? Kamu tidak bisa menjawab karena itu benar, hah?" tanyaku.

"Apa benar kamu sudah menikahinya sejak tujuh tahun lalu?" Aku terus mendesaknya. "Jawab, Mas!" teriakku.

"Rania...." Mas Darwin berusaha menenangkanku.

"Tak usah bicara!" ucapku keras. "Aku hanya ingin dengar jawabanmu... itu benar atau tidak?"

"Benar atau tidak, Mas?" Aku mengguncang-guncang tubuhnya dengan keras.

"Ya," ucap Mas Darwin kemudian. "Itu benar. Aku sudah menikah dengannya sejak tujuh tahun lalu."

"Haaaaaakhhh...." Aku menarik nafasku panjang. Semua harapan yang kugantungkan tentang pernikahanku berjatuhan dalam sekejap. Ucapan Mas Darwin bagai tsunami yang datang menerpa dan menyapu semua bangunan harapan dan impianku. Semua hancur luluh lantak tak bersisa.

Aku terdiam, lemas ... dengan air mata yang masih saja mengalir di kedua mataku. Lalu, aku roboh seketika, tak berdaya.

Terpopuler

Comments

Erni Kusumawati

Erni Kusumawati

Ayo Rania cepat pergi.. tdk ada kata diam dan hanya menunggu nasib.. kamu dr awal sdh di bohongi.. ingat akan ada kebohongan2 lain yg akan menyertai kebohongan pertama.. kamu msh muda berhak Bahagia Rania

2023-04-20

0

Ar Syaina Syaina

Ar Syaina Syaina

jgn cmn perbanyak air mata rania,,,ayoo kmu hrs jd perempuan yg kuat jgn mau ditindas harga drimu

2022-02-11

2

Fahmi Fathul

Fahmi Fathul

😭😭😭

2022-02-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!