Bisa kah kamu mengerti bahwa hubungan kita adalah antara dua orang?"
Maria hanya mengernyitkan dahinya menanggapiku yang siap meluapkan sedikit uneg - uneg yang kurasakan.
" Lalu? "
" Kita memahami bahasa yang sama, harusnya ada aktivitas yang bisa di sebut dengan diskusi "
" Seperti? "
" Memutuskan suatu hal.... Tanggal nikah, apartment, mobil, hubungan dengan Tania hingga jabatan baru untukku hari ini".
Jelasku panjang lebar.
"Kamu masih kurang?"
Sambutan itu tidak salah salah, hanya terdengar kurang benar dihatiku. Semua yang aku terima lebih dari cukup.
Tapi Maria selalu lupa aku juga punya hak untuk berpendapat.
Aku memilih diam dan memandang Maria yang menatapku dengan penuh tanda Tanya.
" Mau pesan apa?"
Suara Waiter memecah keheningan kami.
"Croissant dan Cappuccino" jawab kami bersamaan.
"Itu aja!!" potong kutegas, aku masih ingin memuntahkan rasa kesal di hatiku yang belum tuntas.
Sang waiter rupanya juga cukup mengerti dan meninggalkan kami sendiri tanpa berpamitan. Mungkin kah aku terlalu galak?
"Aku punya hak untuk berpendapat Mar! Aku juga punya keinginan yang ingin aku sampaikan dari keputusan - keputusan itu, bisa menghargai ku sedikit" muntahku ahirnya.
"Har....!!" suara Maria mulai mendayu merdu di Telinga, namun membuat hati ku berdegub kencang penuh kekhawatiran "Kamu sadar ga sih... Kalau kamu aku bayar?"
DEG...
Jantungku serasa berhenti, pikiranku melancong ke seluruh kebersamaan kami. Maria tidak salah, aku memang lelaki bayaran.
"Kalau kamu bebas berpendapat dan mengatur ini dan itu... Lalu buat apa aku mencari lelaki bayaran, bukankah lebih baik aku menikah secara normal?"
Maria benar - benar memukul hatiku. Sebagai sugar Baby amatir an aku rupanya lalai akan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam hubunganku dengan Sugar Mamy ku, Maria.
" Sejak kamu menyetujuinya, aku lah pembuat keputusan dalam pernikahan kita "
Lanjutan kalimat Maria membuat wajahku merah padam, bukan karena marah tapi karena malu akan sikapku yang bisa aku anggap tak tahu diri.
"Dan kamu akan mengambil keputusan ketika aku mengijinkan" Maria meneguk cappuccino panas yang baru saja sampai di meja kami. Sekali lagi waiter itu meninggalkan kami tanpa sepatah katapun, membuat keteganganku susah mereda.
" Usai dari sini kamu ke hotel tempat pernikahan kita, kamu boleh pilih apa aja paket kamar pernikahan kita" Maria melahap Croissantnya kali ini dengan perlahan tanpa memandangku lagi seperti tadi.
"Jangan lagi ada pembahasan seperti ini, kalau kamu kurang nyaman dengan keputusanku tinggal bilang saja aku akan menyesuaikan, tapi tidak merubahnya" Maria menegaskan kembali peraturan dalam hubungan kami yang semakin jelas untukku.
"Aku masih ada meeting satu kali lagi, sampai jumpa"
Tidak ada kata dariku, aku hanya termenung masih sulit menerima kenyataan betapa sakitnya kehilangan hakku untuk memutuskan sesuatu bahkan aku membiarkan Maria meletakkan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja sebelum meninggalkanku sendiri dengan harga diri yang tercecer.
Apakah aku terlalu drama bila tanpa sengaja aku menangis? Dengan setengah menangis aku mulai mengunyah Croisantku dengan keras, sekedar melampiaskan kekesalan ku.
"Sabar Mas!" suara waiter itu kembali terdengar "Masih banyak yang mau sama Mas... Lha wong masnya ganteng kok!" kali ini jemarinya dengan sigap meraih lembaran uang kertas itu sambil melirikku sesaat.
"Permisi mas... Di terus kan makannya, kalau sudah habis boleh pesan lagi" ucap sang waiter sebelum meninggalkanku sendiri.
Rupanya dia datang hanya untuk mengamankan uang tipsnya saja. Dua porsi kami mungkin hanya seharga Rp. 150.000 saja. Mungkin dia takut aku mengambilnya, karena saat ini aku benar - benar terlihat seperti Sugar Baby yang sedang dicampakkan.
Tangisku tak dapat aku tahan lagi, suara sesenggukan mulai terdengar nyaring dari tenggorokanku. Wajahku pun terasa berat menahan rasa sakit dan malu yang bersamaan, entah apa yang di pikirkan orang lain saat ini. Aku hanya mampu membenamkan wajahku yang sembab di antara kedua telapak tangan ku..
"Hmmmm... Mas!"
Waiter itu berdiri di hadapanku. Di sela isakan yang belum tuntas aku membuka kedua telapak tanganku perlahan. Dengan sedikit ragu, sang Waiter meletakkan uang lembaran Rp. 50.000 dan mendorongnya pelan ke arahku.
"Buat ongkos taksi Mas" Ucapnya polos "Ibu tadi bayarnya kebanyakan selembar"
"Ha...!!" Aku mencoba mengkoreksi pendengaranku.
"Kalau naik bus kan Malu, meski cowok juga manusia kan Mas?" lanjutnya dengan wajah iba.
Oh My God!!! Ternyata jaman sekarang ketampanan dan tubuh terawat seperti ku tidak Bisa menegaskan status sosialku sama sekali. Andai kan aku tidak di usir Papi, aku pasti sanggup membeli tempat ini.
Aku menarik nafas panjang dan memejamkan mataku sesaat.
" Nama kamu siapa?"
Nada suara ku sudah perlahan normal.
"Adi... Mas"
"Lengkapnya?"
"Adi Kurniawan.... Eh.. Tapi ga usah di balikin, saya ikhlas" Adi mengangguk mengisyaratkan maksudnya memang sungguh - sungguh. "Kadang memang kehidupan tidak berjalan indah, tapi pasti ada yang lebih baik kedepannya" Adi masih berusaha menghiburku. Setidaknya aku masih manusia di matanya.
"Tunggu...!" cegahku ketika adi memutar tubuhnya hendak meninggalkan mejaku.
Aku meraih dompetku dan mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan. Dengan sedikit mendongakkan daguku aku mengelap dahiku yang sedikit berkeringan dengan lembaran berwarna pink itu lalu menyerahkannya ke Adi.
"Terimakasih Adi.. Tetaplah jadi orang baik!"
Aku sempatkan menepuk pundak Adi sebelum meninggalkan cafe dengan tatapan Adi yang antara heran atau sakit hati... Entahlah. Aku hanya berusaha mengumpulan harga diriku yang tersisa.
mungkin mereka menebak dengan benar bahwa aku sugar baby Maria. Namun, aku menekankan bahwa aku tidaklah semenyedihkan apa yang ada dipikiran mereka.
***
Jalanan cukup terik sepanjang perjalananku menuju hotel yang di info kan Maria lewat aplikasi chat berwarna hijau.
Maria memang memiliki selera yang lumayan. Hotel bintang lima dengan gaya classic eropa, ternyata menjadi pilihan untuk pernikahan kami.
Aku mengamati wajahku sejenak dan mendapati mataku yang masih memerah akibat aksi drama yang kini perlahan mulai aku sesali, karena memang tidak ada gunanya selain merusak penampilan.
Aku mengeluarkan sebuah kaca mata dengan lensa bergradasi warna caramel untuk menutupi satu - satunya bagian tubuhku yang tidak sempurna saat ini.
"Maria... Kamu sendiri yang bilang terserah aku soal kamar pengantin kita" sebuah senyum licik "Lihat saja apa yang bisa aku lakukan"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments