Sore hari pun tiba, waktunya mereka untuk pulang karena jam kerja telah usai. Khadija kembali ke kamar belakang dengan di antar Leni untuk mengambil tas ransel yang berisi beberapa potong pakaian.
"Gimana kalo kamu ikut kost sama aku aja?" tawar Leni ikut masuk ke kamar yang di tempati Khadija semalam.
"Emang ndak papa Len? " tanya Khadija menoleh ke arah Leni yang berdiri disampingnya.
"Ya gak papalah. Justru aku senang ada temanya, gimana? Tapi entar bayar kostnya kita bagi dua ya? Hehehe ..."
"Boleh-boleh, aku juga seneng." jawab Khadija mengangguk senang. Kemudian ia kembali memasangkan tas ransel berwarna hitam itu ke belakang punggungnya.
Tawa canda Khadija dan Leni mengiringi langkah mereka pulang menyusuri koridor Rumah sakit melewati ruangan-ruangan yang berjajar dengan saling bergandengan tangan.
"Khadija kamu mau kemana?" tanya Sesorang dari arah belakang ketika Khadija dan Leni sampai di Loby Rumah sakit.
Khadija membalik badan, melihat orang yang berjalan menghampirinya. "Eh, Mas Dokter? Ini Dija mau ikut Kost ditempatnya Leni." jawab Khadija selalu memasang senyum.
"Kenapa kamu tidak tinggal di kamar belakang saja?" tanya Hafiz.
"Saya kesepian disana Mas Dokter." tolak Khadija halus. "Oh ya, makasih yo sudah memberi Dija tumpangan tempat tinggal." ucap Khadija tulus.
"Ya sudah terserah kamu." Seperti biasa sikap cuek dan datar yang di tampilkan Hafiz. Kemudian Pria itu berlalu melewati kedua Perempuan yang masih berdiri di hadapanya.
Sedari tadi Leni hanya diam menyimak percakapan Khadija dan Hafiz, Leni merasa malas jika sudah berhadapan dengan Dokter Hafiz yang menurut Leni, cueknya di atas rata-rata.
Khadija dan Leni melanjutkan perjalanan menuju kosan. Mereka berdua berjalan santai karena letak kosan Leni tidak jauh dari Rumah sakit tempatnya bekerja. Hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di tempat tujuan.
Melewati gang sempit nan padat penduduk untuk sampai di Kosan Leni.
Krek ...
"Ayo masuk Ja," ajak Leni setelah ia membuka pintu. Kamar yang di tempati Leni memiliki luas 4 x 4 meter persegi dan di sudut ruangan ada kamar mandi kecil, tetapi tidak ada dapur dikamar itu.
"Assalamualaikum," ucap Khadija saat melangkah masuk.
"Waalaikum Salam." jawab Leni ikut masuk, lalu menutup pintu kembali.
"Baju-baju kamu boleh kamu tata di lemari itu, sebelah baju aku. "tunjuk Leni ke arah lemari yang ada di sebelah tempat tidurnya.
"Makasih ya Len, kamu sudah baik sama aku." Khadija mulai mengeluarkan isi tasnya dan menatanya di lemari yg dimaksud oleh Leni.
"Iya Dija, kita itu di sini sama-sama perantau jadi harus saling membantu satu sama lain, karena di sini itu kita tidak punya siapa-siapa!" ucap Leni bijak.
"Aku beruntung bisa ketemu teman sebaik kamu." Khadija memeluk Leni, sahabat barunya.
Setelah Itu Leni dan Khadija bergantian untuk mandi karena hari sudah hampir petang, waktunya mereka menunaikan kewajibanya kembali.
Setelah itu, mereka pergi ke luar untuk membeli makanan untuk makan malam. Karena memang tidak ada tempat untuk Leni dan Khadija memasak.
***
Ditempat lain, setelah Hafiz memarkirkan mobil sportnya ke dalam garasi, kemudian ia masuk ke dalam rumah besarnya dengan langkah gontai, dilihatnya sang Ibu tengah bersantai diruang keluarga.
"Hay, Ma?" sapa Hafiz sambil mencium pipi kanan dan kiri Ibunya.
"Hay juga sayang." balas sang ibu, lalu Hafiz ikut duduk disebelah Perempuan paruh baya itu.
"Bagaimana, kamu sudah memikirkan tentang perjodohan yang direncanakan Papa kamu?" tanya sang Ibu, menepuk paha Puteranya.
Hafiz menggeleng, menyandarkan kepalanya ke punggung sofa empuknya. "Beri Carel waktu Ma?" ucapnya tidak bersemangat.
"Mama si terserah kamu.Mama tau ini bukan hal mudah untuk kamu menerima begitu saja," sang Ibu menarik nafas berat.
"Beri Carel waktu Dua bulan, untuk menentukan pilihan Carel Ma," Hafiz menatap Ibunya dengan tatapan sayu.
"Nanti Mama coba bantu bilang ke Papa kamu!" Sang Ibu berusaha menenangkan Putranya, sambil mengelus punggung tangan Hafiz. "Jika nanti kamu tidak, berhasil bagaimana?" sambung sang Ibu menatap intens Pria muda yang duduk disampingnya.
"Carel Pasrah Ma!"
Sungguh berat untuk Hafiz mengucapkan semua itu, karena sesungguhnya di hatinya ingin sekali memberontak. Tetapi, Hafiz tidak ingin melihat sang Ibu sedih dan tersiksa.
Jika Hafiz menentang keinginan sang Ayah, maka Ibunya lah yang akan menjadi sasaran pelampiasan kemarahan Ayahnya. Dan Hafiz tidak Ingin itu terjadi.
Mungkin dengan meminta waktu selama Dua bulan, bisa untuknya mencari jalan keluar. Namun, jika ia gagal maka ia harus Pasrah dengan semua keputusan Sang Ayah.
"Carel ke kamar dulu ya Ma?" pamit Hafiz, beranjak berdiri.
"Ya sudah kamu mandi dulu, setelah Itu temani Mama makan malam, karena Papa kamu malam ini tidak pulang."
Bukan hal yang aneh lagi untuk Hafiz, jika Ayahnya tidak pulang. Ia tahu dengan kebiasaan sang Ayah yang memiliki banyak simpanan.
Menurut Hafiz itu lebih baik dari pada melihat sang Ayah pulang dengan keadaan mabuk. Dan itu akan membuat sang Ibu kerepotan.
Terkadang terbesit di fikiran Hafiz untuk meninggalkan rumah, dan hidup sendiri di apartemenya. Namun, Ibunya lah yang menjadi alasan ia memilih bertahan. Karena Hafiz ingin selalu melindungi sang ibu atas sikap kasar sang Ayah.
Menjadi anak orang kaya tidak lantas membuat hidup Hafiz bahagia seperti fikiran orang kebanyakan.
Terlebih saat ini ia merupakan Satu-satunya pewaris tunggal dari seluruh kekayaan sang Kakek, termasuk Rumah Sakit yang saat ini ia kelola. Yang mana justru membuat hidupnya semakin dilema dengan pilihan yang sebelumnya tidak pernah ia fikirkan yaitu menikah.
Saat ini Hafiz merebahkan tubuhnya di atas kasur king sizenya, menatap lurus ke atas langit-langit kamar dengan tujuan mencari jawaban dari permasalahan yang sesungguhnya tidak terlalu berat menurut orang lain namun, begitu berat untuk seorang Hafiz.
Apa yang harus aku lakukan?
Jika aku tidak mau di jodohkan, lantas aku harus mencari calonku sendiri! Di mana?
Terus siapa wanita yang mau aku ajak untuk bekerja sama?
Itulah pertanyaan yang saat ini tengah bergelayut di otak cerdas sang Dokter.
Tidak ada keinginan Hafiz untuk membina rumah tangga dengan serius. Maka ia akan mencari perempuan yang bisa membantunya untuk menjalani pernikahan sementara untuk memenuhi ambisi sang Ayah mendapatkan seluruh harta warisan peninggalan mendiang sang Kakek.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu seketika membuyarkan Hafiz dari lamunanya.
"Tuan Muda, anda sudah ditunggu oleh nyonya." ujar sang Asisten Rumah Tangga dari balik pintu.
"Iya, sebentar lagi saya turun." jawab Hafiz, kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh muka. Hafiz tidak ingin Ibunya menunggu terlalu lama lagi jika ia harus mandi terlebih dahulu.
Tak lama Hafiz turun dan menghampiri sang Ibu yang tengah menunggunya di meja makan.
.
.
.
.
.
.
.
.Jangan lupa Like dan Komenya ya... 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Paling juga ntar sama Khodijah
2022-12-29
0
Fitri Hariani
lagak² ny ne
2020-07-17
1
Dytta
lanjut
2020-04-07
2