Khadija tersenyum saat melihat dari atas balkon kamar ketika sebuah mobil sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah yang luas.
Di ikuti mobil Sedan mewah dari arah belakang. Keluar dari mobil itu seorang Wanita cantik berkulit putih, berambut coklat panjang, dan seorang Pria berperawakan tinggi besar yang Khadija kenal, siapa lagi kalau bukan Ayah mertuanya.
Wanita itu berlari menghampiri Hafiz yang baru turun dari mobil sambil merentangkan tangan dan Hafiz menyambut pelukan dari wanita itu.
Sang Ayah mertua yang mengetahui keberadaan Khadija di atas balkon, hanya menyeringai sinis dengan tatapan penuh arti.
Khadija pun mengurungkan niatnya untuk turun menyambut kedatangan sang Suami.
Sudah Enam bulan usia pernikahan Khadija dan Hafiz. Semenjak kejadian kaki Khadija bengkak akibat terlalu lama berjalan, Hafiz menyuruhnya untuk berhenti bekerja.
Khadija hanya bisa pasrah dengan keputusan Hafiz. Sekeras apapun ia menolak namun usahanya tetap sia-sia.
Selama itu pula, Khadija tetap menjalin komunikasi dengan Aslan. Beberapa kali Khadija jalan dengan Aslan itupun karena desakan dari Hafiz agar Khadija mau menemui Aslan.
"Ayolah Ja, kasihan Aslan dia terus nanyain kamu? Kamu mau ya jalan dengan Aslan?" bujuk Hafiz, setelah mendengar Aslan menelfon Khadija untuk mengajak jalan.
Hafiz sudah terbiasa dengan keberadaan Khadija, sudah tidak ada kecanggungan lagi di antara mereka berdua. Cara bicara Hafiz pun sudah terkesan santai dengan Khadija.
"Ya sudah, tapi ada syaratnya!"
"Apa syaratnya?"
"Nanti Mas Dokter harus nungguin lho ya?"
"Oke, tapi nunggunya dari kejauhan, Biar tidak ketahuan Aslan."
Dasar Bojo aneh! Batin Khadija.
Bukan tanpa Alasan Khadija selalu menolak ajakan Aslan, Perempuan itu hanya ingin menjaga kehormatanya sebagai seorang Istri. Mungkin beda cerita jika Khadija belum menikah, pasti ia tidak akan pernah menolak ajakan dari Aslan.
Selain menyenangkan Aslan juga sosok Pria yang baik dan sopan di mata Khadija.
***
"Careeeell..."
"Alina?"
"Aku kangen sama kamu Rel?" ucap Alina di pelukan Hafiz.
"Kapan kamu datang, kok gak ngabarin?"
"Baru Dua hari ini, sengaja aku gak bilang karena aku pengen kasih seurprise buat kamu?" ucap Alina manja, melepaskan pelukanya.
Alina dan Hafiz kemudian masuk kedalam rumah. Tangan Alina bergelayut manja di lengan Hafiz. Sang Ayah yang menyaksikan nampak tersenyum senang.
"Sudah, sudah ayo kita masuk, kangen-kangenanya di lanjut didalam saja," ajak Ayah Hafiz kepada Alina dan Puteranya.
Ceklek
"Mas sudah pulang?" Basa-basi Khadija. Khadija mengulurkan tangan menyambut tas kerja Hafiz, lalu mencium punggung tangan Pria itu.
"Hhmmm..." kata andalan Hafiz.
Setelah melepas sepatu, dasi dan kemejanya Hafiz segera beranjak ke kamar mandi.
Setelah Dua puluh menit berada di dalam bilik kecil yang ada didalam kamar, Hafiz pun keluar dari ruangan itu sudah lengkap dengan pakaian Casualnya. Yang sengaja ia bawa masuk sebelumnya.
Setelah menikah baik Hafiz maupun Khadija selalu membawa pakaian masuk ke dalam kamar mandi, jadi saat mereka keluar dari kamar mandi, mereka sudah dalam keadaan rapih.
"Ada tamu yo mas?" tanya Khadija saat Hafiz tengah menyisir rambutnya. Perempuan itu penasaran dengan sosok wanita cantik yang memeluk suaminya.
"Iya," jawab Hafiz singkat.
"Siapa Mas?"
"Alina, teman masa kecilku."
"Owh." Khadija hanya ber oh ria.
"Aku mau keluar dengan Alina," pamit Hafiz, lalu menyambar kunci mobil yang ada diatas nakas tempat tidurnya.
"Ya sudah hati-hati." jawab Khadija kembali mencium punggung tangan Hafiz sebelum keluar dari kamar.
Alina adalah teman masa kecil Hafiz. Alina ikut orang tuanya, karena Ayah Alina di pindah tugaskan ke luar negeri.
Saat itu Hafiz dan Alina berpisah pada waktu kelas IX Menengah Pertama.
Hafiz merasa terpukul dengan kepindahan Alina. Dari situ Hafiz berubah menjadi sosok pendiam dan cuek, karena menurut Hafiz tidak ada lagi sahabat tempat ia berkeluh kesah tentang masalah keluarganya.
Hafiz lebih memilih memendan rasa sedihnya, karena tidak ada lagi orang yang Hafiz percaya selain Alina.
Alina gadia cantik dan periang selalu bisa menghibur Hafiz di saat Hafiz sedih, tak jarang pula Hafiz menginap di rumah Alina karena memang rumah mereka bertetangga.
"Lin, aku nginep dirumah kamu ya?" ujar Hafiz, saat berjalan beriringan sepulang sekolah.
"Emang kenapa lagi Rel?" tanya Alina, membaca ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
"Aku muak di rumah, setiap hari melihat Nyokap sama Bokap bertengkar terus!" jawab Hafiz menunduk lesu sambil kakinya menendang kaleng bekas minuman yang terbuang di jalanan.
"Boleh, tapi ada syaratnya?" tangan Alina merangkul pundak Hafiz.
Langkah Hafiz terhenti, menoleh ke arah Alina dengan mata berbinar. "Apa syaratnya Lin?"
"Lo harus temenin gw begadang main PS, gimana?" Alina menaik turunkan alisnya.
"Oke, siapa takut!" Senyum cerah kembali terbit dari bibir Hafiz remaja.
Hanya Alina sahabat satu-satunya yang Hafiz miliki sebelum bertemu dengan Dio dan Aslan.
***
"Careeelll... Sumpah aku seneng banget,"
Alina berteriak histeris saat Hafiz membuka penutup mata yang melingkar di kepala gadis itu.
Kembali Alina memeluk erat sahabatnya tersebut.
"Kamu masih ingat tempat ini?" Tangan Hafiz merangkul puggung Alina, dan Alina melingkarkan tanganya di pinggang Hafiz.
"He-um...Tentu Rel?" Alina mengangguk senang.
"Aku selalu datang ketempat ini, jika aku kangen sama kamu," Hafiz tersenyum ke arah perempuan yang ada disampingnya, "Aku bisa melihat wajah kamu di antara bintang-bintang itu? "lanjut Hafiz menunjuk ribuan bintang yang bersinar menghiasi pekatnya langit yang di malam hari.
.
"So sweet banget sih kamu Rel?" Alina menyandarkan kepalanya di dada bidang Hafiz.
Diatas bukit ini tempat di mana Hafiz dan Alina Remaja sering menghabiskan waktu akhir pekan bersama.
Menyaksikan hamparan hutan yang hijau, menghirup udara yang sejuk dan menikmati Sunset pada senja hari dilanjutkan menghitung ribuan Bintang untuk sekedar mengusir kepenatan selama sepekan.
Kali ini mereka mengulang moment itu kembali untuk melepas rindu antara kedua sahabat yang sudah berpisah selama Lima belas tahun.
***
Waktu menunjukan sudah hampir larut malam, namun Khadija masih terjaga menunggu Suaminya yang masih belum pulang.
"Kemana to ini Mas Dokter jam segini belum pulang," racau Khadija sambil mondar-mandir di kamar.
"Di telepon gak diangkat, di chart tapi belum di baca?" Khadija kini sudah meng-Upgrade ponsel bututnya menjadi Smartphone yang berlogo Apel di gigit. Itupun karena terpaksa, jika bukan karena suatu insiden. Khadija sangat sayang dengen ponsel bututnya tersebut.
Suara deru mobil masuk ke area pekarangan rumah, dengan cepat Khadija melihat dari atas balkon, ternyata mobil Hafiz yang masuk.
Hati Khadija merasa lega, tampak seulas senyum dari bibirnya.
Ceklek
"Kamu belum tidur?" tanya Hafiz saat membuka pintu kamar, melihat Khadija berdiri menyambutnya.
"Dari mana aja toh Mas, ditelepon gak diangkat, di WA gak di baca, mana pulang udah larut begini?" Bukanya menjawab, Khadija malah nyerocos.
"Maaf, tadi Handphone ku ketinggalan di mobil," jawab Hafiz, lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Ndak cuci muka dan cuci kaki dulu?" tanya Khadija.
"Gak ah, aku ngantuk!" jawab Hafiz, sambil merubah posisi, tertelungkup.
Khadija menghembuskan nafas berat, lalu ia pun bergegas ke tempat tidur yang sekarang sudah menjadi tempat Favoritnya, dimana lagi kalau bukan di Sofa.
Hafiz sudah pernah menyuruhnya untuk pindah tidur di kasur. Namun, yang namanya Khadija si kepala batu tetap saja menolaknya.
Memang untuk awal-awal Khadija merasa badanya pegal-pegal, tetapi lama-kelamaan Khadija pun sudah terbiasa justru menjadi tempat ternyaman menurut perempuan itu.
.
.
.
.
.
.
*Bersambung...
Jangan lupa Like dan Komenya.. 🙏🙏🙏*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Dijah kalau ga kerja kuliah aja
2022-12-29
0
Naoki Miki
haii mampir yuk ke krya q 'Rasa yang tak lagi sama'
Cuss bacaa jan lupa tingglkan jejakk🤗
tkn prfil q aja yaa😍
vielen danke😘
2020-10-19
0
Nani Setyarini
daripada d kasur mending d sofa..takut kebablasan😁
2020-10-17
0