Pagi ini Alina sengaja ingin menemani Hafiz ke Rumah Sakit. Untuk itu pagi-pagi Alina sudah datang menemui Hafiz di Rumahnya.
Selesai sarapan pagi, dengan di temani oleh Alina, Hafiz segera bergegas berangkat ke Rumah Sakit yang beberapa bulan yang lalu telah resmi menjadi miliknya.
"Rel, hari ini aku ikut kamu ke rumah sakit ya?" pinta Alina saat berjalan beriringan keluar dari Rumah.
"Boleh. Aku sih seneng aja kalo kamu yang temenin, kok tumben? Biasanya kamu paling gak tahan dengan bau obat,"
"Demi kamu aku tahan-tahanin deh? "
Hafiz dan Alina sudah berada di dalam mobil. Saat Hafiz akan memasangkan sabuk pengaman untuk Alina, tiba-tiba tangan Alina menahan tangan Hafiz.
cup
Alina menarik tengkuk Hafiz dan mendaratkan ciuman di bibir pria itu.
Hafiz terkesiap, lalu memundurkan kepalanya. Hafiz mendadak menjadi salah tingkah.
Alina merubah posisi duduknya menghadap Hafiz, lalu meraih tangan kiri Hafiz dan menggenggamnya erat.
"Rel, aku sayang kamu," cetus Alina.
deg,
Entah harus bahagia atau harus bagaimana Hafiz mengungkapkan isi hatinya.
Persahabatan yang terjalin antar dua insan berlainan jenis tidak akan selamanya murni sebatas sehabat. Pasti salah satu diantara keduanya memiliki rasa yang lebih, itulah yang dirasakan Alina terhadap Hafiz, sahabatnya dari kecil.
"Aku juga sayang sama kamu Lin?" Ternyata Hafiz pun memiliki rasa yang sama terhadap Alina.
Alina tersenyum bahagia mendengar ucapan pria di hadapanya tersebut. Alina bergerak mencondongkan tubuhnya meraih tubuh Hafiz dan memeluknya dengan mesra.
Prinsip yang dipegang teguh oleh Hafiz selama ini, bahwa ia tidak ingin mengenal yang namanya cinta, seketika gugur dengan ungkapan cinta dari Alina.
Alina melonggarkan pelukanya dan kembali menggenggam tangan pria yang sebentar lagi resmi menjadi kekasihnya.
"Jadi?" tanya Alina memastikan.
"Ya sudah, kita jalani," jawab Hafiz dengan senyum yang tak mau pudar.
Keromantisan antara Hafiz dan Alina kembali terjadi di dalam mobil. Untuk beberapa menit mereka menyalurkan rasa bahagianya dengan saling bertukar saliva, hingga keduanya saling melepas pagutanya karena hampir kehabisan udara.
"Ya udah yuk jalan nanti kamu telat lagi?" ajak Alina mengingatkan.
Hafiz melihat Jam yang ada ditangan kirinya. "Ku rasa, aku sudah telat dari tadi," jawab Hafiz membelai wajah kekasihnya, "Ini gara-gara kamu sayang?" Panggilan terhadap Alina pun berubah seketika.
Blushing ...
Pipi Alina pun memerah mendengar ucapan sahabatnya yang kini resmi menjadi kekasihnya itu.
Hafiz kemudian melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota di pagi hari dengan suasana hati yang berbunga-bunga. Untuk kali pertama Hafiz tidak pernah merasa sebahagia ini.
Rangkulan tangan Alina yang melingkar di lengan kiri Hafiz tak pernah lepas sejak berada di parkiran sampai menuju ke ruangan kekasihnya selaku Direktur utama sekaligus pemilik Rumah Sakit Medika Nusantara.
Sepanjang menuju ruanganya, para staf, perawat hingga para Dokter yang bertugas di Rumah Sakit itu di buat terkejut dengan pemandangan yang tak biasa.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah seorang dr. Carel Hafiz Edsel yang anti dengan kaum hawa, secara mengejutkan menggandeng seorang perempuan cantik dengan begitu mesra.
Tak terkecuali dengan Dio, sahabatnya. Tidak kalah terkejutnya.
"Lo, hutang penjelasan sama gw," ucap Dio saat berpapasan dengan Hafiz, dengan sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga sahabatnya itu. Hafiz hanya tersenyum miring menanggapi ucapan Dio.
***
Brug
"Jambret ... Tolong ... Tolong ...Tolong ...!" Khadija berteriak sekencang-kencangnya berharap ada yang menolong.
Namun, nihil karena suasana pada siang ini tampak sepi. Khadija bangkit lalu mengedarkan pandanganya mencari Dua kantung kresek merah hasil buruanya di pasar yang jatuh berserakan. Khadija jatuh tersungkur ketika seseorang bertubuh tinggi besar menarik tasnya dengan kuat, hingga membuat tubuh kurus Khadija terhempas ke aspal.
Setelah tadi pagi Bik Onah meminta tolong padanya untuk membeli bahan makanan ke pasar. Ralat, lebih tepatnya Khadija yang ngotot untuk menggantikan Sari yang tugasnya berbelanja ke Pasar.
Mengabaikan luka yang ada pada sikunya, Khadija dengan langkah gontai, menenteng Dua kresek di tangan kanan dan kirinya pulang ke rumah.
Hanya butuh waktu Sepuluh menit dari lokasi kejadian, Khadija pun tiba dirumah besar nan megah milik suaminya, Hafiz.
Terdapat kerutan kasar dikening Khadija saat melihat sebuah mobil yang terparkir di pekarangan yang luas. Tidak lain mobil sport berwarna hitam milik suaminya.
"Kok tumben Mas Dokter jam segini sudah pulang?" gumamnya sambil terus berjalan menuju pintu utama.
Khadija lalu meletakan belanjaanya di atas meja dapur belakang. Namun, tidak ada siapapun di disana.
Khadija segera beranjak ke kamar, karena ingin segera mengganti pakaianya yang sudah basah akibat keringat yang mengucur deras. Karena siang ini cuaca sangat terik.
Perlahan Khadija mendorong handle pintu yang sedikit terbuka.
Alangkah terkejutnya Khadija melihat Dua insan yang tengah berciuman mesra di dalam kamar.
Seseorang yang posisinya menghadap pintu menyadari kehadiran Khadija. Sedikit terkejut ketika membuka mata. Namun, tidak melepaskan pagutanya.
Khadija yang datang di waktu yang tidak tepat, perlahan mundur dengan jari telunjuk yang diarahkan di depan bibirnya. Memberi isyarat pada orang yang melihat ke arahnya, agar diam tidak menghentikan aktifitasnya.
Kenapa dada ini seperti ada yang mencubit ya?
Khadija menuruni anak tangga dengan cepat, sambil terus memegang dadanya.
Diambilnya air mineral di dalam kulkas, dan meminumya hingga tandas. Lalu menyandarkan tubuhnya di badan kulkas, menormalkan detak jantungnya yang terus berpacu.
"Mbak Dija, sudah datang?" suara Sari mengejutkan Khadija.
"Eh, iya baru saja aku sampai," jawab Khadija dengan wajah terkejut. Entah terkejut dengan apa yang ia lihat dikamar atau terkejut dengan suara Sari, hanya Khadija dan Tuhan yang tahu.
"Mbak, jangan ke kamar dulu ada den Carel sama Mbak Alina," Sari memberi tahu.
Wes telat Sar!
Khadija hanya mengangguk tanda paham, meski ia sudah mengetahui sebelum sari memberi tahu.
Setelah Tiga puluh menit menunggu, dilihatnya dari dapur, Hafiz dan Alina turun dari lantai dua.
"Sayang aku pulang dulu ya? " pamit Alina seraya mencium pipi kanan dan kiri kekasihnya itu.
"Hati-hati di jalan, sampai Apartemen langsung kabarin aku," balas Hafiz mencium kening wanitanya.
Dulu rumah Alina bertetangga dengan Hafiz, semenjak kepindahanya ke luar negeri, rumahnya pun di jual, hanya tersisa apartemen sebagai rumah singgah apa bila keluarga Alina berkunjung ke Tanah air.
"Sar... Sari ... Mesra banget yo mereka?" Panggil Khadija pelan pada sari yang sibuk menata sayuran ke dalam kulkas. Tatapan mata Khadija menatap lurus ke arah Hafiz dan Alina tanpa berkedip dengan senyum mengagumi keserasian mereka.
"Hah~..." Sari menempelkan punggung tanganya ke dahi Khadija.
Merasa ada yang menempel di keningnya, Khadija menoleh ke empunya tangan. "Kamu kenapa, toh Sar?" Khadija menurunkan tangan Sari.
"Mbak Dija itu yang kenapa-kenapa? Masa lihat suaminya mesra sama orang lain malah kelihatanya seneng banget gitu?" cibir Sari menggelengkan kepala.
"Yo wes, aku tak kamar dulu yo?" alih-alih menanggapi cibiran Sari, Khadija kemudian melenggang santai meninggalkan Sari di dapur.
"Dija, tunggu!" seru Hafiz mengunci kaki Khadija yang akan naik ke lantai Dua.
Khadija memutar badanya malihat Hafiz yang berjalan ke arahnya.
"Sikumu terluka!" Hafiz mengangkat tangan Khadija yang masih berdarah. "Kamu habis jatuh?" tanyanya kemudian.
Belum sempat menjawab, ditariknya tangan Khadija menuju ruang tengah.
"Kamu duduk dulu," titah Hafiz kemudian berlalu entah kemana. Khadija hanya bisa menurut dan menunggu.
Tak lama Hafiz kembali dengan membawa kotak berwarna putih lalu duduk di hadapan Khadija.
"Umurmu berapa Ja?" tanya Hafiz sambil membersihkan darah yang sudah mengering pada siku Khadija menggunakan cairan antiseptic berwarna kuning.
Ngapain toh, nanyain umur Dija?
"22, Mas?" jawab Khadija sambil mringis menahan perih. Meskipun tidak mengerti dengan maksud suaminya, Khadija tetap menjawab tanpa banyak bertanya.
"Umur setua itu masih saja lari-lari," sindir Hafiz tanpa menatap wajah Khadija yang terpelongo.
Marasa tidak ada respon dari Khadija, Hafiz beralih menatap wajah cantik dihadapanya, "Kenapa bengong?" Hafiz mendorong kening Khadija dengan jari telunjuknya.
" Dija itu habis di jambret Mas? Bukan habis lari-lari!" dengus Khadija kesal.
Hafiz tertawa ringan, melihat wajah cemberut Khadija, "Terus apanya yang di ambil?"
"Hatiku yang di ambil!" jawab Khadija asal, dengan memalingkan wajahnya.
Baru saja hati Dija meleleh, tapi sudah di jleb kan lagi! Nasib ... Nasib ...
"Kamu jatuh cinta sama jambret?" goda Hafiz memiringkan wajahnya menatap Khadija
"Mboh lah Mas, sak karepmu!" Khadija bangkit lalu meninggalkan Hafiz. Khadija merasa jengkel, Bukanya bersimpati, Hafiz justru terus menggodanya.
"Hey ... Ja itu belum selesai," teriak Hafiz, namun tidak dihiraukan oleh Khadija.
Khadija segera bergegas ke kamar mandi, dengan sekalian membawa baju ganti.
Lima belas menit kemudian, Khadija keluar sambil meniup-niup sikunya yang terasa perih terkena air sabun.
Hafiz yang sejak tadi duduk di sofa menunggu Khadija, segera berdiri menghampiri Khadija yang tampak mringis menahan sakit.
"Harusnya itu di plaster dulu, baru dibuat mandi?" Hafiz meraih tangan Khadija lalu menempelkan plaster di siku perempuan itu. "Udah selesai. Plak...!" lanjut Hafiz mengeplak luka Khadija yg sudah tertempel plaster.
Plak...
Tangan Khadija reflek mengeplak punggung Hafiz, ketika berbalik arah.
"Auuuuwww ... Sakit Ja?" rintih Hafiz meraih punggungnya.
"Dikira Dija ndak sakit?!" balas Dija ketus." Sudah tau luka, kau ngeplak siku ku ..." lanjut Khadija berlalu lewat didepan suaminya dengan memplesetkan lagu dangdut Jatuh Bangun kesukaanya.
Hafiz pun tergelak mendengar nyanyian Khadija yang terdengar aneh.
"Bisa tertawa toh ternyata?"
"Ya bisalah, kamu kira saya patung?"
"Tadinya,"
Khadija kini duduk bersandar di sofa bersebrangan dengan Hafiz yang masih berusaha meredam tawanya.
"Dija," panggil Hafiz dengan nada serius.
"Ya, ada apa Mas?" Khadija menegakan badanya.
"Aku minta maaf soal tadi,"
"Soal apa yo? Dija ndak ngerti,"
"Soal itu tadi, yang kamu lihat Aku dengan Alina?"
"Owh ... Ndak papa Mas?" Khadija berusaha terlihat biasa saja.
"Aku dan Alina sudah resmi jadian," ucap Hafiz jujur, memberitahu statusnya dengan Alina.
Khadija mengulurkan tanganya, "Selamat yo Mas?" ucap Khadija dengan wajah berusaha terlihat bahagia. Hafiz pun menerima uluran tangan Khadija.
Ya ini sakit yang tak kasat mata! Khadija memang sangat lihai bermain dengan Expresi wajah. Meskipun belum tumbuh rasa cinta di hatinya, tapi entah kenapa ada rasa cemburu di sudut hatinya.
"Kamu gak marah Ja?"
"Kenapa Dija harus marah Mas? Dija itu malah seneng, karena Mas Dokter sudah menemukan cinta sejati Mas Dokter."
"Iya Ja," Hafiz membenarkan ucapan Khadija dengan senyum sumringahnya.
"Menikahlah dengan Mbak Alina Mas?"
"Tidak secepat itu Ja, Pernikahan kita belum genap setahun, jadi aku tidak bisa menceraikanmu," ujar Hafiz dengan wajah sendunya.
"Sabar Mas, orang sabar di sayang pacar lho Mas?" goda Khadija mencairkan suasana.
"Udah masuk Dzuhur ini Mas, kita Sholat berjamaah yuk?" lanjut Khadija mengajak imam sholatnya.
Seiring berjalanya waktu, atas bimbingan dari Khadija kini Hafiz sudah bisa memimpin sholat makmumnya.
Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Tidak ada kata tidak bisa, jika kita belum mencobanya!
.
.
.
.
Bersambung...
Jangan lupa Like dan Komenya... 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Ko nyesek banget Hafis jadia garela banget 😓😓
2022-12-29
0
Uswatun Khasanah
kok aku yg sakit ya sebel aku sama hafiz
2020-10-31
0
Nani Setyarini
dijah kok gak marah suami jadian
2020-10-17
0