"Auuwww ..." rintih Hafiz memegang perutnya.
"Kenapa Yank? Apanya yang sakit?" tanya Alina panik, melihat Hafiz mringis kesakitan.
"Tidak apa-apa kok Sayang, hanya perut aku masih agak sedikit sakit," kilah Hafiz. "Hoooaaammm ..." Hafiz menguap, sambil menutup mulutnya.
"Ya udah, kalau kamu ngantuk, kamu istirahat gih? Biar aku tungguin di sini?" Alina membelai wajah kekasihnya.
"Eh~ ..." Hafiz tampak bingung mencari alasan agar Alina segera keluar dari ruanganya. Karena Khadija sudah memberi kode agar Hafiz menyudahi kemesraanya pada kekasihnya itu.
"Mending kamu pulang aja dulu sayang, aku takut kamu kecapean, nanti aja ke sini lagi ya?" lanjut Hafiz merayu Alina.
Khadija memasang wajah Duck Face_nya, ketika mendengar ucapan Hafiz yang begitu manis pada Alina.
"Okey, aku pulang. Tapi janji nanti kalau ada apa-apa atau kamu butuh sesuatu hubungin aku aja?" pinta Alina sebelum pulang meninggalkan Hafiz.
"Siap tuan Puteri?" jawab Hafiz dengan tangan hormat.
Akhirnya Alina pamit pulang lalu keluar dari ruang perawatan Hafiz. Setelah sebelumnya melayangkan ciuman bertubi-tubi pada wajah Hafiz, kekasihnya.
"Ja ,.. Ayo cepet keluar, udah pergi semua," titah Hafiz, menyingkap selimut tebalnya.
Gedebrugk ...
"Auuww ..." Pekik Khadija saat tubuh kecilnya terjatuh ke lantai. "Hah...hah...hah..." Khadija mengatur nafasnya yang tersengal.
"Kamu itu ya, kan bisa turun pelan-pelan? Gak usah acara ngegelundung segala," omel Hafiz melihat tingkah konyol Khadija.
"Mas Dokter sih, lama banget ngobrolnya? Dija hampir saja mati kehabisan nafas di dalam selimut Mas Dokter," balas Khadija lalu bangkit dari lantai dengan memegang pinggang sebelah kanan dengan satu tanganya. Khadija sengaja menggelundungkan tubuhnya, karena tubuhnya merasa lemas hampir kehabisan nafas.
Ya, Khadija bersembunyi di balik selimut tebal milik Hafiz, karena ukuran tubuhnya yang kecil membuat keberadaan Khadija tersamarkan. Mengingat pula ukuran brankar Hafiz cukup besar dibanding ukuran brankar pasien pada umumnya.
Pada saat pintu sudah terbuka secelah, karena di landa kepanikan, Khadija belum menemukan tempat untuk bersembunyi.
"Cepet Ja, kamu masuk kesini!" titah Hafiz membuka selimutnya.
"Hah--" Khadija terkejut. Namun, dengan sigap tangan Hafiz menarik Khadija untuk masuk ke dalam selimutnya. Dan akhirnya Khadija pun pasrah menelusup ke dalam selimut tebal itu.
***
"Ya maaf Ja, kalau sedang bersama Alina aku gak bisa buru-buru."
"Ya wes kalau begitu, Dija mau pamit."
"Kok jadi kamu sekarang yang buru-buru?"
"Iya, takut Papa kamu datang, bisa di telan hidup-hidup nanti Dija Mas, Eh--Ups ..." Khadija spontan menutup mulutnya karena keceplosan, dengan kedua bola mata memutar, gugup.
Buru-buru Khadija berputar arah ingin segera beranjak dari tempatnya berdiri, tetapi dengan cepat Hafiz menahan tangan Khadija.
"Ja?" Mata Hafiz menyipit, "Jangan bilang pipi kamu itu karena perbuatan Papa?" desak Hafiz menatap lekat kedua netra coklat perempuan di hadapanya. Hafiz melihat ada kebohongan dari mata Khadija.
Khadija kembali memegang pipinya, berusaha menutupi.
"Ee..endak kok Mas?" Jawab Dija tergagap, dengan menggelengkan kepalanya cepat.
"Ya sudah kamu boleh pulang!" jawab Hafiz datar melepaskan genggamanya dari lengan Khadija.
Meskipun Khadija berusaha mengelak, namun Hafiz tahu jika itu adalah perbuatan sang Ayah. Rahang tegasnya mengeras menahan murka.
Jika tidak dalam keadaan sakit, mungkin Hafiz sudah mencari keberadaan sang Ayah, meminta penjelasan, apa yang telah dilakukanya pada Khadija.
***
Skip
Setelah seminggu lamanya Hafiz di rawat di Rumah Sakit miliknya, kondisi Hafiz dinyatakan sudah mulai membaik, dengan catatan sementara tidak diperkenankan untuk kembali berpuasa.
Kedatangan Hafiz yang di gandeng oleh kekasihnya, Alina di sambut wajah bahagia oleh semua orang yang ada di rumah mewahnya. Tak terkecuali Khadija yang mengintip dari balik pintu dapur.
Hafiz langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya dengan di antar oleh Alina. Setelah masuk ke dalam kamar, Hafiz mengedarkan pandanganya ke setiap sudut kamarnya.
Tidak tampak Khadija di kamar itu. Namun, Hafiz sudah mengarti di mana Khadija berada. Dimana lagi kalau bukan di dapur tempatnya bersembunyi.
"Sayang, aku pulang dulu ya?" Setelah membantu sang kekasih berbaring diatas tempat tidur, lalu menutup setengah badan pria tersebut dengan selimutnya yang tebal, Alina pun pamit.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya?" tangan Hafiz terulur mengusap lembut pipi kiri kekasihnya seraya tersenyum.
Sebelum beranjak, Alina memberikan kecupan lembut di kening Hafiz, lalu gadis itu pun keluar dan menutup pintu.
Tiga puluh menit berlalu setelah kepulangan Alina, Khadija tidak kunjung masuk ke kamar. Bukan Hafiz merasa rindu, tetapi, Hafiz merasa ada yang aneh, tidak seperti biasa.
Keberadaan Khadija yang selalu menemani, membuat Hafiz merasa kesepian jika sedang sendirian di kamar.
Hafiz pun memutuskan turun dari ranjang, berniat mencari keberadaan Khadija yang ia perkirakan sedang berada di tempat favoritnya.
"Dija ... Dija ...?" panggil Hafiz ketika tidak menemukan keberadaan Khadija di dapur. Sambil berkacak pinggang Hafiz menoleh kekanan dan kekiri meski jelas tidak ada Khadija di situ.
"Ada apa Mas?" tanya Khadija muncul dari arah belakang tempat Hafiz berdiri.
Hafiz memutar tubuhnya mengahadap ke asal suara, "Dari mana saja kamu? Kok gak ada naik ke atas?" tanya Hafiz mengangkat dagunya.
"Kamar dia sudah tidak lagi diatas." sahut seseorang yang ada di belakang Hafiz.
Hafiz membalikan badan, melihat seseorang yang baru keluar dari kamar.
"Kanapa Pa?" tanya Hafiz heran pada sang Ayah.
Khadija masih berdiri dan berdiam kaku di tempatnya.
"Papa gak suka dia dekat-dekat sama kamu! Dia itu sudah membawa pengaruh buruk buat kamu." jawab sang Ayah dengan nada dingin. Menatap tidak suka ke arah Khadija.
"Tapi Pa, Khadija ini kan Is~..."
"Dua bulan lagi kalian sudah bercerai," ujar sang Ayah memotong Ucapan Hafiz. Tanpa mendengar tanggapan dari putranya sang Ayah segera baranjak pergi entah kemana.
Hafiz mengepalkan tanganya, belum sempat ia menanyakan alasan tempo hari yang terjadi pada pipi Khadija, sekarang sang Ayah membuat keputusan tanpa persetujuanya.
Sang Ibu yang sedari tadi mengikuti sang suami dari belakang, segera menghampiri Hafiz yang wajahnya sudah berubah merah padam.
"Mama mohon ikuti saja kemauan Papa kamu, jika kamu tidak ingin Khadija tersakiti!" Jelas sang Ibu menasehati.
"Jadi benar Ma, kalo Papa sudah ~" Hafiz tidak melanjutkan kalimatnya lalu menengok kearah Khadija yang masih berdiri menunduk dibelakangnya.
Sang ibu mengangguk sambil mengusap lengan putranya. Ibu Hafiz sudah mengetahui kalau suaminya lah yang telah menampar Khadija. Yang ia ketahui atas laporan dari Bik Onah.
Kemudian sang Ibu pub ikut pergi mengikuti suaminya.
"Maafin Papa ku Ja?" ucap Hafiz dengan wajah bersalah.
"Ndak papa Mas, Dija sudah maafin kok," Khadija tersenyum kecut. Ia bisa apa, selain memaafkan.
Tanpa berkata apa-apa lagi Hafiz segera berlalu menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Hafiz merasa sepi sendiri, tanpa ada celotehan Khadija yang setiap hari beberapa bulan terakhir memenuhi ruang kamar Hafiz.
Meski belum genap setahun. tetapi kedekatanya dengan Khadija membuat Hafiz nyaman, terlebih dengan sikap perhatian dan keibuan dari Khadija membuat Hafiz terbiasa.
Apa aku sudah Jatuh cinta pada Khadija? Enggak! Cintaku hanya untuk Alina.
Batin Hafiz bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun, dengan cepat pula ia menepisnya.
Aku hanya peduli sama Khadija, dan itu tidak lebih.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung...
Jangan lupa Like dan Komenya...🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Sakit rasa hatiku 😓😓
2022-12-29
0
Warno Puji Lestari
cerita novel ini...salah satu the best menurut aku....keren author...lope2 padamu lah...eh salah...pada kreatifitasmu...hahahahahha
2022-03-05
0
siy@ yanti
bojo goblok gal teges blas.....wedi kato bapak ne ko gak di rabekno karo bapakne aese thot....ih amit amit
2020-11-23
0