"Menikahlah dengan saya!" ucap seseorang yang sudah berdiri di depan Khadija.
Khadija menghentikan tangisanya, wajahnya menengadah memastikan seseorang yang berbicara padanya.
"Mas Dokter?" gumam Khadija terkejut. Namun, orang yang dimaksud masih setia berdiri menatap lurus ke depan, membelakangi gadis itu.
"Saya sudah mendengar semuanya!" ujar Hafiz membalikan badan menghadap Khadija. Dengan kedua tangan di masukan kedalam saku celana.
"Maksud Mas Dokter apa?"
"Cukup kamu menikah dengan saya, maka saya akan melunasi semua hutang-hutang keluarga kamu."
"Bagaimana mungkin, kita menikah tanpa di dasari rasa cinta?"
"Memang itu yang saya inginkan, karena pernikahan ini hanya sementara. Apa hubungan kamu dengan Aslan?"
" Saya dan Mas Aslan ndak punya hubungan apa-apa, hanya berteman biasa."
"Bagus! Jadi saya harap kamu fikirkan tawaran dari saya ini. Saya tunggu jawaban kamu setelah pulang kerja nanti."
Hafiz pun segera berlalu meninggalkan Khadija yang masih duduk termenung mencerna semua pernyataan Hafiz.
*****
Sudah satu bulan berlalu, namun Hafiz belum menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya. Untuk kali ini Hafiz tidak menceritakan masalahnya kepada para sahabatnya.
Menurut Hafiz akan terjadi kehebohan jika Aslan dan Dio sampai tahu jika ia ada niatan untuk menikah. Walaupun itu bukan keinginanya dan hanya bersifat pernikahan sementara.
Hafiz tampak mondar-mandir di dalam ruanganya, setelah pagi tadi ia di desak oleh sang Ayah untuk menemui calon tunanganya.
Khadija, satu-satunya harapan Hafiz untuk menggagalkan perjodohanya. Saat ini Khadija adalah orang yang tepat untuk bisa di ajak bekerja sama.
Selain Khadija gadis yang polos, namun juga masalah gadis itu lah yang melatar belakangi Hafiz untuk melakukan kesepakatan yang bersifat Simbiosis Mutualisme.
Dengan begitu tidak akan ada yang saling menuntut di kemudian hari, jika suatu saat nanti diantara mereka ada yang memutuskan untuk pergi.
*****
Di lokasi yang sama, tapi diruangan yang berbeda, Khadija yang sejak malam tadi tampak selalu gelisah setelah menerima telfon dari seseorang yang tak lain adalah Ibunya sendiri.
" Ya Alloh, berikan Dija jalan keluar, Dija ndak mau jika Ibu dan Aisyah menjadi korban." lirih Khadija menengadahkan tangan dan kepalanya.
Aisyah adalah adik Khadija yang masih duduk dibangku SMA.
"Nak Dija, tolong ini antar ke ruangan dr. Hafiz." suara Bu Wiwik menyadarkan Khadija.
"Ii.. iya Bu?" Sudah menjadi tugas Khadija mengantarkan secangkir kopi untuk dr. Hafiz.
Tok... Tok... Tok...
Tidak ada jawaban dari seseorang di dalam, Khadija pun langsung masuk. Di lihatnya dr. Hafiz duduk di kursi kebesaranya dengan wajah menunduk, kedua telapak tangan menopang dahi, dengan siku bertumpu diatas meja.
Byuurr...
dr. Hafiz terjingkat ketika tumpahan kopi menyiram pahanya.
"Bisa kerja gak sih!" Bentak Hafiz pada Khadija.
"Ma... maaf Mas Dokter saya tidak sengaja." jawab Khadija tergagap sambil berusaha mengelap sisa tumpahan kopi di celana Hafiz menggunakan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku celananya.
"Jangan sentuh saya!" Tangan Hafiz menepis tangan Khadija yang berusaha membersihkan celananya." Keluar dari ruangan saya!" usir Hafiz pada gadis itu.
Khadija hanya bisa diam menunduk, lalu ia beringsut mundur setelah membersihkan tumpahan kopi yang tercecer di meja dan dilantai. Khadija membawa kembali cangkir yg sudah kosong.
Baru kali ini Khadija melihat Hafiz semarah itu padanya. Maka lengkaplah sudah kesedihan di dalam hati Khadija.
Walaupun Hafiz bukan siapa-siapa bagi Khadija, namun Hafiz orang yang pernah berjasa dalam hidupnya.
"Dija kamu gak papa kan?" tanya Leni memegang lengan Khadija. Leni melihat sesuatu yang tidak beres pada diri Khadija.
Kembali Khadija menggeleng dan tersenyum kecut menjawab pertanyaan Leni. "Ndak papa Len."
" Apa Mas Aslan menyakiti kamu?" Leni curiga dengan perubahan sikap Khadija sepulang jalan bersama Aslan.
"Ndak kok Len, Mas Aslan orangnya baik. Aku cuma kangen sama ibu dan adekku di kampung." elak Khadija menutupi masalahnya.
Sepanjang hari ini Khadija tidak bersemangat sama sekali. Gadis itu lebih memilih menyendiri jika sedang tidak ada yang ia kerjakan.
Bahkan untuk mengisi perutnya pun, Khadija sudah tak bernafsu lagi. Yang ada di fikiranya hanya ada bayangan Ibu dan Adiknya.
Khadija beranjak dari duduknya setelah menerima pesan dari Leni, yang sejak tadi mencarinya.
Sedari tadi Khadija berada di Musholla. Karena bukan jam untuk Sholat jadi Musholla tampak sepi dan tidak ada orang yang mengetahui keberadaanya.
Sepanjang jalan menuju Ruang Gizi, Khadija diharuskan berpapasan dengan Hafiz yang akan menuju kantin, karena memang jalan yang hanya satu jalur.
Wajah datar Hafiz selalu fokus menatap lurus ke depan, Pria itu tidak peduli dengan keberadaan Khadija. Berbeda dengan Khadija yang masih nampak ketakutan jika berhadapan dengan Hafiz.
***
Setengah jam lagi, sudah menunjukan berakhirnya jam kerja telah usai. Khadija dan Leni bersiap untuk pulang.
Ketika hendak menuju loker untuk mengambil tas, ponsel Khadija kembali berdering. Khadija melihat nama kontak yang tertera di layar kuning ponselnya.
Setelah memastikan siapa sang penelpon, Khadija lagi-lagi menjauh untuk sekedar mengangkatanya.
"Len, aku angkat telfon dulu ya?" pamitnya kepada Leni.
Khadija segera berlari menuju belakang gudang Rumah Sakit, agar percakapanya tidak bisa di dengar oleh siapapun.
"Assalamualaikum Buk,e... " sapa Khadija saat mengangkat teleponya.
"(..........)"
" Maafin Dija Bu'e, Dija belum mendapatkan Pinjaman. Dija bingung harus pinjam ke siapa uang sebanyak itu? "
" (.........)"
" Dija juga ndak mau rumah kita di sita oleh Bank. Terus ibu sama Aisyah mau tinggal dimana? "
" (.........)"
"Tapi Bu'e tenang dulu yo, Dija janji akan segera mendapatkan uang itu," Mata Khadija sudah mulai berkaca-kaca.
"(..........)"
"Dija tutup dulu teleponya ya Buk, ini Dija sudah mau pulang, Assalamualaikum." Khadija segera mengakhiri sambungan percakapanya. Ia tidak ingin sang Ibu mendengar tangisanya.
"Huuuuu.... Huuuuu....Huuuuuu.... " tangis Khadija pecah dan tubuhnya terduduk lemas di kursi bekas yang di buang dibelakang gudang Rumah Sakit.
Hafiz sengaja mengikuti Khadija, karena merasa curiga melihat Khadija yang terburu-buru berlari ke arah belakang gudang.
Pria itu pun mendengar percakapan Khadija dengan Ibunya.
"Pucuk di Cinta ulam pun tiba." Peribahasa yang tepat untuk mewakili jawaban kegundahan Hafiz.
"Bagaikan makan buah simalakama." Peribahasa yang tepat untuk Khadija. Sungguh otak Khadija saat ini tidak berfungsi dengan baik, ia bingung apakah harus menolak atau menerima penawaran dari Pria cuek itu.
Dan kini waktu yang diberikan Hafiz untuk memikirkan penawaranya hanya sampai jam pulang kerja.
Khadija melihat jam yang ada diponselnya.
"Itu artinya tinggal Lima menit lagi," gumam Khadija pada dirinya sendiri. Khadija dengan reflek menutup mulutnya yg sedikit menganga, terkejut dengan situasi yang saat ini terjadi.
Cobaan membawa Berkah ataukah Berkah membawa Cobaan!
.
.
.
.
.
.
Bersambung...
Jangan lupa Like dan Komenya...🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Cobaan membawa berkah Dijah
2022-12-29
0
Daffodil Koltim
bekah mba dija 😍😍😍
2020-10-30
0
Eka Eka
aku mau dokter satu😂😂😂😂
2020-05-21
1