Pagi Hari
Tok ...Tok ...Tok ...
Hafiz mengetuk pintu kamar Khadija, tak lama Khadija membuka pintunya.
Setelah peristiwa itu Khadija dipindahkan ke kamar belakang dekat kamar Sari dan Bik Onah.
"Mas Dokter ngapain kesini?" tanya Khadija sambil menoleh kanan-kiri, takut jika sang Ayah mertua tahu kalau Hafiz datang menghampirinya.
"Kenapa sih kamu, kok kayak orang ketakutan gitu?" Hafiz melihat kepanikan dari wajah Khadija.
"Harusnya Mas Dokter jangan kesini, Dija takut sama Papanya Mas Dokter. Lagian ngapain toh pagi-pagi kesini?" Khadija gusar.
"Ayo ikut aku ke kamar, bantuin nyiapin keperluan aku," Tanpa basa-basi, Hafiz meraih tangan Khadija, lalu menariknya keluar dari kamar.
Sebelum benar-benar keluar, Khadija menahan langkahnya, berpegangan pada kusen pintu kamar, "Aku ndak mau Mas, Dija takut," tolak Khadija sambil memegang pipinya. Perempuan itu masih merasa trauma dengan perlakuan sang ayah mertua.
Hafiz menarik nafas panjang, "Kamu jangan takut Ja, ada aku," Hafiz berusaha meyakinkan Khadija. selama Khadija masih menjadi Istrinya, Hafiz akan selalu melindunginya.
"Lagian kenapa bukan mbak Alina aja toh, yang bantuin Mas Dokter? Pasti habis ini mbak Alina datang,"
"Hari ini tuh Alina gak bisa dateng Ja?" tegas Hafiz.
"Mas Dokter itu kan baru sembuh, kok udah mau masuk kerja lagi?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Khadija, segera Hafiz menarik kembali tangan perempuan itu. Berjalan cepat menuju kamarnya, "Udah Ayo, kebanyakan tanya, keburu telat aku nanti."
Akhirnya Khadija pun terpaksa mengikuti langkah Hafiz dari belakang sambil berlari kecil mengimbangi langkah panjang pria di depanya.
Mata Khadija tak hentinya berkelana ke segala arah, ia takut jika sang Ayah mertua tiba-tiba muncul dari arah mana saja.
"Mau kamu bawa kemana anak kampung itu,"
Deg,
Suara itu ... Suara seseorang yang di takuti oleh Khadija pun muncul.
Hafiz dan Khadija menghentikan langkahnya.
Hafiz melihat sang Ayah baru keluar dari kamar, sudah rapih dengan setelan baju kerja berjalan mendekat ke arahnya.
"Khadija ini masih istri Carel Pa," Seakan mengerti maksud perkataan sang ayah, alih-alih menjawab, Hafiz kembali mengingatkan pria paruh baya itu akan statusnya dengan Khadija.
"Tapi ingat, tidak lama lagi kalian akan segera bercerai!" Sang Ayah tersenyum miring menanggapi ucapan puteranya, kemudian berlalu menatap sinis ke arah Khadija.
Tidak mau terlalu ambil pusing dengan ucapan sang Ayah, Hafiz kembali mengajak Khadija menuju kamarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Khadija segera menyiapkan baju kerja Hafiz yang sebulumnya telah Khadija setrika, lalu menyemir sepatu pria itu. Sedangkan Hafiz masih melakukan ritualnya di kamar mandi.
"Dija, tolong bawakan kesini pakaianku," teriak Hafiz, melongokkan kepala dari balik pintu kamar mandi.
"Sebentar Mas!" sahutnya. Khadija pun kemudian membawakan setelan lengkap baju kerja suaminya yang sedang menunggu di balik bilik kecil tersebut.
Setelah Lima belas menit, Hafiz pun keluar dari kamar mandi dengan keadaan setelan baju yang sudah menempel rapih pada tubuh atletisnya.
"Mas, ini tugas Dija sudah selesai toh? Dija mau kembali ke dapur." pamit Khadija.
"Ya sudah, makasih ya Ja?" ucap Hafiz sambil memasang dasi lehernya.
Khadija kembali ke dapur, untuk bantu-bantu Bik Onah memasak, dan ada juga Sari yang tengah bersiap-siap hendak pergi ke pasar.
"Sar, kamu mau kemana?" tanya Khadija saat melihat sari akan keluar dari pintu dapur.
"Mau ke Pasar Mbak," jawab Sari, memutar badanya kembali ke arah Khadija.
"Boleh, aku saja yang gantiin kamu ke pasar?" tawar Khadija pada Sari.
"Beneran Mbak Dija mau gantiin tugas Sari?" Sari terlihat senang mendengar tawaran Khadija. Karena Sari sangat malas untuk pergi ke Pasar apalagi dalam keadaan berpuasa saat ini, pastinya sangat melelahkan.
"Iya, mana sini tasnya," Khadija mengulurkan tanganya. Dengan senang hati Sari menyerahkan tas belanja yang ia pegang ke tangan Khadija.
***
Khadija melangkahkan kakinya dengan santai, menyusuri jalan paving sembari menikmati udara sejuk di pagi hari.
Hanya berjarak Dua ratus meter dari kediaman Hafiz menuju ujung jalan tempat Khadija menunggu angkutan umum melintas.
Tiinn ... Tiiinnn ...
Sebuah mobil melintas, dengan kaca mobil yang sudah terbuka, berhenti di depan Khadija.
"Ja, Ayo masuk," titah orang yang ada di dalam mobil.
"Ndak usah Mas, Dija naik angkot saja, nanti Mas Dokter telat." tolak Khadija halus. Khadija membungkukan badan melihat seseorang yang ada didalam mobil itu.
Orang itu adalah Hafiz, ia tidak sengaja lewat dan mendapati Khadija yang sedang celingukan menunggu angkot datang.
"Jam segini mana ada angkot lewat, udah ayo masuk keburu panas!" Hafiz berbohong, agar Khadija mau masuk ke dalam mobilnya.
Hafiz tidak mau jika peristiwa penjambretan yang pernah di alami Khadija terulang kembali.
Saat akan melajukan mobilnya, tiba-tiba ponsel Hafiz berdering.
"Iya sayang ada apa?" tanya Hafiz lembut pada orang di sebrang sana.
"(.....)"
"Sekarang? Okey tunggu ya?"
Hafiz menyudahi sambunganya.
"Dija?" panggil Hafiz ragu-ragu pada Khadija. Sedari pemuda itu mengangkat telepon dari Alina, Khadija memalingkan wajahnya menatap ke luar kaca.
"Iya Mas?" Khadija menoleh.
Hafiz hanya nyengir, merasa tidak enak mengatakanya pada Khadija, "Sorry Ja, aku gak bisa antar kamu, soalnya Alina minta aku menjemputnya sekarang," ucap Hafiz tak enak hati.
"Ah iya, ndak pa pa Mas," jawab Khadija dengan senyum yang di paksakan. Khadija pun segera turun dari mobil Hafiz.
"Huh ... Baru saja Dija masuk, malah sudah di suruh turun lagi," cicit Khadija lirih, menatap mobil hafiz berlalu dari hadapanya.
Khadija memutuskan jalan kaki, karena memang angkot yang ditunggu pun belum ada tanda-tanda menampakan batang Bumpernya.
Sambil bersenandung menghibur hatinya, Khadija terus berjalan menyusuri trotoar.
Langkah Khadija kembali terhenti ketika ada mobil menepi ke arahnya dengan membunyikan klarkson.
Seseorang keluar dari mobil itu dengan khas senyum manis di bibirnya.
Orang itu berjalan mendekat ke arah khadija yang masih berdiri.
"Hai, Dija cantik mau kemana?"
"Mau ke pasar, Mas."
"Aku antar, ya?"
"Eh, ndak usah. Lagian Mas Alpukat harus pergi kerja toh?"
Sudah tau kan siapa orang yang selalu di panggil Mas Alpukat oleh Khadija?
"Udah ayo, aku antar," ajak Aslan memaksa. Tidak ingin mendengar kalimat penolakan lagi, Aslan kemudia membuka pintu mobilnya dan menarik tangan Khadija untuk segera masuk.
Aslan pun segera melajukan mobilnya dengan hati yang berbunga-bunga, karena tanpa sengaja ia bertemu dengan gadis yang dirindukanya.
"Kemana aja sih kamu, Ja? Kok gak pernah ada kabar," Aslan membuka suara, setelah beberapa menit yang lalu Aslan dan Khadija hanya saling diam.
Khadija sengaja tidak pernah membalas pesan dari Aslan bahkan telepon dari Aslan pun sering di abaikan. Sekali lagi Khadija tidak ingin Aslan menaruh harapan lebih pada dirinya.
Lebih baik waspada, jika nanti akhirnya harus kecewa!
Kalimat itulah yang menjadi semboyan Khadija. Mengingat status rumit yang ia jalani saat ini.
"Ndak kemana-mana kok Mas. Cuma jarang keluar saja, maklum kan bulan puasa. hHehehe," kilah Khadija. Aslan mengangguk paham menanggapinya.
Kali ini Aslan tidak ingin menyia-nyiakan kebersamaanya dengan Khadija--kebetulan jadwalnya pun sedang kosong. Jadi ada kesempatan untuknya jalan bareng bersama gadis itu, meski hanya ke pasar.
Aslan rela jika nantinya harus berdesakan, kepanasan bahkan mencium aroma tidak sedap khas pasar tradisional.
Setelah Tiga puluh menit, Aslan membelokan mobilnya menuju area parkir.
Khadija pun turun dari mobil Aslan, tampak guratan halus di kening Khadija ketika melihat Aslan ikut turun, berjalan memutar menghampirinya.
"Lho, Mas Alpukat mau ke mana?"
"Ya mau nemenin kamulah?"
"Jangan Mas, di sini itu bau, bisa pingsan nanti Mas Alpukat?"
"Tenang aja, kalau aku pingsan kan ada kamu yang gotong. Hehehe ..." gurau Aslan sambil marangkul bahu Khadija.
Khadija tersentak ketika tangan Aslan mendarat di bahunya. Di lihatnya sekilas tangan Aslan dan dengan cepat Khadija menurunkan tangan Aslan dari bahunya.
"Maaf Mas, kita bukan muhrim," ucap Khadija lembut, tidak ingin menyinggung Aslan. Mungkin jika Hafiz yang melakukan, Khadija tidak akan menolaknya. Sayangnya itu tidak pernah terjadi.
"Maaf Ja, aku reflek gak sengaja," Aslan mengatupkan kedua telapak tanganya di depan Khadija, merasa bersalah.
Kamu benar-benar gadis yang spesial Khadija, batin Aslan mengagumi sosok gadis yang ada di hadapanya.
Khadija pun akhirnya mengizinkan Aslan untuk menemaninya belanja--bersamanya.
Sampai di tempat penjual sayuran, Khadija memilih sayuran yang di pesan oleh Bik Onah.
Aslan tak henti-hentinya memandang penuh kekaguman pada sosok Khadija. Dari sekian banyak wanita yang pernah ia dekati tidak ada se-spesial seperti Khadija.
Dimata Aslan, Khadija sosok gadis yang sederhana, keibuan, dan Khadija adalah gadis yang bisa menjaga kehormatanya.
"Mas, matanya di jaga. Ingat, ini bulan puasa lho," celetuk Khadija, sadar jika Aslan tengah memperhatikanya.
"Ya ndak pa-pa toh Mbak, kalau suaminya yang ngelihatin?" sela penjual sayur yang berlogat sama seperti Khadija.
"Eh, end~..."
"Iya nih Buk, masa suami sendiri mandang Istrinya gak boleh?" Aslan mengerling sebelah mata, menggoda Khadija.
Bibir Khadija membulat. Gadis itu terkejut dengan ucapan pemuda yang kini memasang senyum tak berdosa ke arahnya. Dengan reflek Khadija mengibaskan sayur kangkung di lengan Aslan. Aslan tertawa renyah menanggapinya.
"Masih pengantin baru ya, Mas? Kelihatan Mbaknya masih malu-malu," tanya Ibu penjual sayur itu lagi.
"Iya buk, masih baru Satu bulan." jawab Aslan santai tanpa mempedulikan Khadija yang sudah menunduk malu.
Aslan dan Khadija seperti layaknya pasangan pengantin baru yang masih terlihat canggung. Namun, tetap romantis. Dimana sang suami selalu mengekor--setia menemani sang istri kemanapun dan dimanapun wanitanya itu pergi.
Tidak ingin berlama-lama, Khadija segera mengakhiri kegiatanya berbelanja sayur dengan membeli satu ikat bayam dan wortel. Khadija tidak ingin Aslan terus-terusan menggodanya.
Banyak kebutuhan yang harus di beli Khadija dan mengharuskan Aslan untuk membantu membawa sebagian barang belanjaan Khadija.
"Maaf ya, Mas. Dija udah ngerepotin Mas Alpukat?" ucap Khadija saat Aslan memasukan barang belanjaanya ke dalam bagasi mobil.
"Justru aku merasa senang udah nemenin kamu belanja." jawab Aslan dengan senyum semeringah. Aslan menutup kembali bagasinya setelah barang belanjaan selesai ia masukkan. Kemudian beralih membukakan pintu mobil untuk Khadija.
***
Aslan pun mengantar Khadija pulang, namun di tolak oleh Khadija. Khadija meminta Aslan untuk menurunkanya ditempat semula mereka bertemu. Khadija beralasan, kalau sang paman sangat Protectif bila tahu ia berjalan dengan seorang laki-laki.
Ampuni dosa Dija Ya Alloh, Dija sudah berbohong! batin Khadija meronta.
Dengan berat hati Aslan menuruti kemauan Khadija. Diturunkanya Khadija di tempat semula. Aslan sebenarnya tidak tega jika harus menurunkan Khadija dipinggir jalan seperti itu.
Dengan berbagai macam alasan Khadija meyakinkan Aslan.
Dan segera Khadija menyuruh Aslan pergi sebelum Sari datang. Bisa gawat, jika Aslan tahu kalau Sari yang menjemput dirinya, pikir Khadija.
Sangat tidak mungkin kalau Aslan tidak tahu siapa Sari--ART sahabatnya sendiri.
Khadija memang sudah mengirim pesan pada Sari sebelumnya, agar sang ART menjemputnya menggunakan motor matic mang Didin sopir sang ayah mertua. Karena barang belanjaan yang sangat banyak, tidaklah mungkin Khadija membawanya sendiri.
Setelah Aslan pergi, Tak lama Sari datang menghampiri Khadija.
"Maaf Mbak, Sari lama ya?
"Endak kok," Khadija menggeleng sambil menata barang belanjaanya di atas motor yang di bawa sari.
Khadija pun lalu naik ke atas boncengan motor yang di kemudikan Sari. Segera Sari menancap gas menuju kediaman majikanya.
.
.
.
.
.
.
.
*Bersambung...
Jangan lupa Like dan Komenya*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Pasti rencananya si Hafis
2022-12-29
0
Ida Ismail
pasti akal akalnya suami durjana
2020-10-10
0
Uswatun
biar khatija pergi Thor
2020-09-03
0