"Khadija dari mana saja kamu? Aku kuwatir banget kamu gak pulang semalam. Mana ponsel kamu di hubungi gak aktif-aktif lagi?" sambut Leni, dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Mbok ya, kalau tanya itu Satu-satu Len?" Khadija menggelengkan kepala, "Iya maaf, aku lupa ngabarin kamu. Semalam itu aku nginep di rumah sodara aku yang dari kampung. Dia di pindah tugaskan kesini." jelas Khadija berbohong, menepati kesepakatanya dengan Hafiz.
"Ya udah yuk masuk," ajak Leni menggandeng tangan Khadija. Gadis itu sudah merasa lega setelah mendengar penjelasan dari teman yang Satu bulan terakhir ini menjadi sahabatnya.
Khadija dan Leni bertemu di depan gerbang Rumah Sakit, ketika Khadija baru turun dari angkutan umum.
Hafiz memang menyuruh Khadija berangkat terpisah, karena Hafiz tidak ingin orang-orang mengetahui status peran yang mereka mainkan.
Tidak ada yang berubah dari sikap Hafiz maupun Khadija, semuanya berjalan normal seperti biasa.
Mereka melakoni peran begitu profesional, meskipun bukanlah seorang Aktor maupun Aktris.
"Hay Rel, lagi sibuk lo ya?" sapa seseorang yang baru nongol dari balik pintu.
"Seperti yang lo liat?" sahut Hafiz tanpa menoleh, karena ia tahu siapa orang yang datang.
"Panggilin Dija dong?" pinta orang yang sudah duduk di hadapan Hafiz. Siapa lagi kalau bukan Aslan yang menjadi tamu rutin dr. Hafiz. Kali ini dia datang sendiri tanpa Dio, sahabatnya.
"Tiap hari dia terus yang lo tanyain! Emang gak bosen lo tiap hari ke sini?" cibir Hafiz.
"Kalo liat Dija mah gw gak pernah bosen Rel?"
Tidak ada rasa cemburu ataupun sakit hati dari diri Hafiz. Baginya tidak ada yang patut untuk di cemburui dari diri Khadija. Gadis yang baru saja menyandang status sebagai istrinya.
Tak lama Khadija pun masuk membawakan Dua cangkir teh, setelah Hafiz melakukan sambungan ke Ruang Gizi.
"Dija, besok malam temenin aku datang ke acara reuni ya?" pinta Aslan, ketika Khadija menyuguhkan teh di hadapanya.
"Eum ... " Khadija tampak bingung menjawab tawaran Aslan. Gadis itu melirik Hafiz dengan ekor matanya, bermaksud meminta izin. Karena bagaimanapun Hafiz adalah suaminya.
"Udah mau aja Ja, kasian si Aslan gak punya gandengan." Rupanya Hafiz mengerti arti lirikan Khadija.
"Kaya lo punya gandengan aja!" sewot Aslan pada Hafiz. "Jadi gimana Ja, mau ya, ya, ya?" bujuknya lagi.
"ii ... iya," jawab Khadija tergagap dengan senyum yang di paksakan.
***
Tiba sore hari, waktunya bersiap untuk pulang. Namun, Khadija berniat pulang ke kosan untuk mengambil pakaianya, setelah sebelumnya meminta izin pada Hafiz, suaminya.
Khadija berpamitan kepada Leni, untuk tidak kos bersama lagi. Gadis itu beralasan, akan ikut tinggal bersama sang paman. Dengan berat hati sahabatnya itu merelakan.
Di ujung jalan Hafiz sudah menunggu Khadija yang keluar dari gang kosanya.
Dengan langkah terburu-buru Khadija menghampiri mobil Hafiz, kemudian Khadija masuk ke dalam mobil.
"Maaf Mas, sudah menunggu,"
"Hhmmm ... "
Setelahnya tak ada lagi yang membuka suara, hanya suara deru mobil yang terdengar.
Khadija terus memandang ke arah luar kaca mobil, entah apa yang sedang di fikirkan oleh gadis itu.
Hafiz sedari tadi hanya fokus dengan kemudinya, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Khadija.
Setelah Satu jam menempuh perjalanan, Hafiz membelokan mobilnya masuk menuju garasi rumah mewahnya.
Khadija dan Hafiz pun turun dari mobil, dan di sambut oleh para asisten rumah tangga.
"Selamat sore Aden?"
"Selamat sore Nona?"
sapa Asisten rumah tangga pada kedua majikanya ketika akan masuk ke dalam rumah.
"Selamat sore juga Bik." jawab Hafiz ramah sambil terus berjalan. Khadija hanya menjawab dengan senyuman dan menganggukan wajah sekilas sambil terus mengekor di belakang Pria yang berjalan mendahuluinya.
Di dalam kamar suasana mendadak kembali canggung. Khadija hanya berdiri terdiam di depan pintu, bingung apa yang harus ia lakukan.
"Apa kamu mau berdiri sampai malam di situ?" sindir Hafiz ketika menyadari Khadija yang masih berdiri diam di depan pintu, dengan menyandang tas ransel di punggungnya. "Taruh disana baju-baju kamu," perintah Hafiz menunjuk pada Lemari yang ada di sudut kamarnya.
Khadija dengan ragu mengikuti arahan Hafiz.
"Mas, kamar mandinya di mana?" tanya Khadija setelah menata bajunya di dalam lemari.
"Di sana," tunjuk Pria itu, sambil melonggarkan ikatan dasi di lehernya
Setelah selesai dengan ritual membersihkan diri, Khadija segera mengenakan mukenahnya bersiap untuk menunaikan kewajiban Shalat Ashar.
"Mas Dokter ndak sholat?" tanya Khadija sambil menggelar sajadah di hadapanya. Hafiz masih duduk bersandar di sofa dengan kaki menyilang di atas meja.
"Tidak usah mengurusi urusan saya," jawab Hafiz datar. Matanya perlahan terpejam dengan kepala bersandar di punggung sofa.
Tanpa bertanya lagi, Khadija segera menggugurkan kewajibanya sebelum waktunya habis.
Dilihatnya Hafiz yang masih duduk di sofa. Namun, tampaknya Pria itu sudah terlelap dalam tidurnya.
Khadija menghampiri Hafiz setelah membereskan peralatan sholat dan menaruhnya di atas meja rias.
Di copotnya sepatu yang masih menempel di kaki besar Pria itu.
Khadija dengan setia menunggu Hafiz yang masih tertidur. Perempuan itu duduk di sofa panjang seberang Hafiz. Duduk diam hanya itu yang bisa ia lakukan sembari menunggu waktu Maghrib tiba.
Sebenarnya Khadija sudah merasa sangat lapar namun, ia tahan. Karena Khadija merasa takut jika harus keluar kamar sendirian.
Waktu mahgrib pun tiba. Hafiz masih belum terbangun dari tidurnya, ingin sekali Khadija membangunkan Pria itu, karena sangat tidak baik tidur di waktu Mahgrib. Akan tetapi Khadija mengurungkan niatnya saat melihat pergerakan dari tubuh Hafiz.
Di tengah kegiatan Sholat Maghrib yang Khadija lakukan, ternyata Hafiz sudah keluar dari kamar mandi, lengkap dengan memakai baju santainya.
Tok... Tok... Tok...
"Aden, ditunggu Tuan dan Nyonya di meja makan," ujar Asisten Rumah tangga dari balik pintu kamar.
"Sebentar lagi saya akan turun!" sahut Hafiz dari dalam kamarnya.
Hafiz dan Khadija keluar dari kamar, mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga menuju ruang makan.
"Bersikaplah seperti layaknya seorang Istri," Hafiz sedikit memiringkan kepalanya, berbisik di dekat telinga Khadija sambil terus berjalan.
Kriit...
Hafiz dan khadija menggeser kursi masing-masing sebelum mereka mendudukan tubuhnya.
Ayah Hafiz menatap Khadija dengan tatapan meremehkan. Khadija salah tingkah di buatnya.
"Saya harap kamu tahu diri, tempat kamu bukan di sini," sindiran yang dilontarkan oleh sang Ayah mertua. Cukup membuat hati Khadija tersentil.
Khadija beranjak dari duduknya, undur diri lalu pergi menuju dapur belakang tempat berkumpulnya para Asisten rumah tangga.
Saat Hafiz akan menyusul Khadija, dengan cepat isyarat mata dari sang ibu menyuruhnya untuk tetap duduk di posisinya. Karena sang ibu tidak ingin keributan terjadi, akibat kemarahan suaminya.
"Assalamualaikum," sapa Khadija pada ke empat Asisten Rumah tangga yang tengah bersantap malam di ruang belakang dapur.
"Waalaikum Salam," seru mereka berempat, menoleh ke arah Khadija.
Satu Asisten berdiri menghampiri Khadija, "Ada yang bisa saya bantu nona? Nona butuh apa?" tanya seorang asisten paruh baya yang bernama Bik Onah.
"Boleh Khadija gabung dengan kalian?" ucap Khadija tersenyum ramah.
"Tentu saja boleh nona, mari sini?" Bik Onah menggiring tubuh Khadija mendekat dengan ketiga rekanya.
Para Asisten Rumah tangga di rumah Hafiz sudah mengerti dengan watak Tuan besar mereka.
"Yang sabar ya non, Tuan besar memang seperti itu orangnya?" ujar mang Didin supir pribadi ayah Hafiz.
"Betul itu non, tidak usah diambil hati. Yang penting den Carel cinta sama Non," timpal Sari. Asisten rumah tangga yang usianya tidak jauh berbeda dengan Khadija.
" Uhuk... Uhuk... Uhuk... " Khadija tersedak mendengar ucapan Sari. Dengan sigap Bik Onah langsung menyodorkan air minum ke arah majikan barunya itu.
"Non tidak apa-apa?" tanya Bik Onah setelah Khadija selesai meminum air putih yang masih tersisa di gelasnya. Perempuan itu menggeleng sambil meringis.
"Non, jangan takut ada kita disini, anggap kita ini seperti keluarga Nona juga," sahut Pak Somat si tukang kebun. Diantara ketiga rekanya, dia yang usianya paling tua. Tampaknya pak Somat mengerti dengan apa yang di rasakan Khadija.
"Makasih semuanya yo? tapi Dija ndak papa kok," Khadija berusaha menutupi kecemasanya. "Oh ya, jangan panggil Non, panggil Dija saja?" Keempat Asisten rumah tangga hanya saling tatap mendengar permintaan Khadija.
"Ya gak bisa gitu Non. Nanti den Carel bisa marah," timpal Sari, "Atau kita panggil mbak Dija aja?" lanjut Sari yang disetujui ketiga rekanya.
Khadija pun mengangguk, mengiyakan. Menurutnya lebih baik seperti itu. Khadija tidak ingin ada jarak di antara ia dan para asisten rumah tangga yang sudah dianggap sebagai keluarga barunya.
Khadija merasa senang ketika berada di tengah-tengah orang sederhana, dibanding harus berada ditengah-tengah orang kaya yang membuatnya merasa canggung.
Sembari bersantap malam dengan hanya beralas tikar, sesekali Khadija dan ke empat asisten rumah tangga saling bersenda gurau dan mengumbar tawa penuh kebahagiaan.
Suasana berbeda yang terjadi di ruang makan, tidak ada yang membuka suara selama makan malam berlangsung, hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar.
"Carel sudah selesai Ma, Pa," ucap Hafiz sambil berdiri dari duduknya. Pria itu juga melihat Khadija baru keluar dari arah dapur.
"Maaf Pak, Bu, saya duluan kembali ke kamar." pamit Khadija sopan ketika sudah berada di sebelah Hafiz.
Sang Ibu mertua tersenyum dan menganggukan kepalanya. Sementara sang Ayah mertua tak bergeming sama sekali, hanya sikap acuh yang Pria paruh baya itu tunjukan.
Khadija dan Hafiz pun berlalu kembali ke kamar.
.
.
.
.
.
.
*Bersambung...
Jangan lupa Like dan Komenya... 🙏🙏🙏*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Yani
Ada ya papa mertua jahat lain ni
2022-12-29
0
Daffodil Koltim
dasar mertua laki2 lucnut,,,
2020-10-30
0
Ida Ismail
keluarga sinting
2020-10-10
0