Biru langsung melajukan mobilnya begitu saja. Ia menepi sebentar diambang kebimbangan, mendadak begitu kesal, tapi cukup kasihan. Setelah berhasil menguasai emosi dirinya Biru memutuskan untuk berputar arah dan kembali menjemput istrinya. Namun, sayang sekali Inggit sudah tidak ada di lokasi. Biru merasa buang-buang waktu dan semakin kesal. Kali ini ia memutuskan pulang saja dan benar-benar bersikap bodo amat.
Biru mengumpat kesal ketika sampai rumah menangkap bayangan mobil Papanya terparkir di pekarangan rumahnya. Pria itu kembali berputar arah dan hendak menjemput Inggit yang sengaja Biru tinggal di jalanan yang sepi, siapa tahu tadi terlewat dan Biru tidak benar melihatnya. Biru memang raja tega, tetapi pulang tanpa Inggit di bawah tatapan orang tuanya jelas bukan solusi. Dari pada diberondong pertanyaan yang membuat sakit kepala, mencari dan menjemput Inggit kembali di jalanan jelas pilihan yang paling tepat.
"Biru!" seru Mama Diana, menangkap mobil Biru yang hendak berbalik arah.
Mampus gue
"Eh, Mama sama Papa, kok tumben malam-malam ke sini?" jawabnya dibuat setenang mungkin.
"Inggit mana? Kenapa kamu pulang sendirian!" Mama Diana sampai mengintip ke dalam mobil.
"Ada kok Mah, ini mau aku jemput," kilahnya beralasan.
"Awas saja kalau sampai kamu ninggalin dia, Mama nggak segan-segan bikin perhitungan sama kamu," ancam Mama kesal.
"Enggak Mama sayang, kalau gitu ... aku jemput istriku dulu ya Mah. Soalnya tadi tuh lagi ngobrol asyik sama temannya, jadi Biru berasa ganggu." Biru harus bisa meyakinkan orang tuanya.
"Ini sudah malam, sebaiknya kamu bawa istri kamu pulang." Mama Diana menatap aneh putranya.
Biru memutar arah mobil, pria itu melajukan mobilnya dengan cepat.
Biru yakin sekali ia menurunkan Inggit di sekitar sini, namun sayangnya dua kali memutari jalanan sepi itu, Inggit sama sekali tidak ia temukan. Menurut perhitungannya, seharusnya istrinya itu akan berjalan tak jauh dari sini mengingat jalanan ini sepi tanpa kendaraan berlalu lalang. Seandainya Inggit pulang, juga sudah barang tentu berpapasan jalan.
"Inggit mana sih! Hobby banget hidupnya nyusahin orang, lo pikir gue punya banyak waktu buat nyari-nyati lo gitu, sial!" umpat Biru gusar. Malam semakin larut dan orang tuanya pasti akan murka bila pulang tidak membawa menantu kesayangannya.
Biru menggebrak bundaran setir berkali-kali untuk mencurahkan rasa kesalnya.
"Awas Nggit sampai nggak pulang malam ini, habis lo besok pagi!" tukasnya lugas, berujar tanpa ampun.
Hampir dini hari Biru masih mondar mandir di jalanan. Pria itu tidak berhasil menemukan Inggit. Tepat jam dua pagi, Biru putuskan pulang ke rumah. Ia cukup lega mendapati kedua orang tuanya sudah tidak menunggu di rumahnya. Permasalahannya, ke mana Inggit pergi? Entah mengapa pria itu menjadi tidak tenang, dan rasa bersalah bersarang di hatinya.
Kantuk yang menyerang membuat pria itu memutus kinerja otak untuk beristirahat. Biru lupa, kalau hari ini bahkan ada rencana pergi berlibur dengan Hilda. Pria itu terbangun dari tidur pulasnya setelah matahari meninggi.
Pagi-pagi entah sudah deringan keberapa ponsel Biru memekik. Di sana ada banyak panggilan dari Hilda yang mencurahkan kekesalannya karena semalam meninggalkan begitu saja di acara pesta.
Hilda akhirnya pulang ke rumah dengan taksi, Biru berujar minta maaf dan ingin mengembalikan waktu fullnya nanti saat liburan. Biru baru saja selesai mandi, pria itu keluar kamar dan baru menyadari rumah ini terasa sepi dan berasa ada yang hilang. Ternyata penghuni sofa itu kosong, pria itu keluar rumah menemukan motor Inggit yang masih terparkir rapih seperti kemarin, itu tandanya istrinya itu tidak pulang dari semalam.
"Inggit ke mana?" gumamnya mulai tidak tenang.
Semalam ia menurunkan di tempat yang lumayan sepi, pria itu gusar sendiri. Mencoba menghubungi ponselnya berkali-kali tapi hasilnya nihil. Panggilan tidak bisa terhubung, Biru semakin gusar kala mendapati berita di pagi hari dengan korban pemerkosaan dan pembunuhan. Pria itu sampai menyemburkan kopi di mulutnya saat news anchor menyebutkan ciri-ciri identitas korban.
"Astaga ... Inggit!" pekik Biru tak tenang. Laki-laki itu langsung melesat keluar rumah dan menuju rumah sakit untuk memastikan korban yang terjadi semalam. Biru benar-benar ngerasa bersalah dan dalam masalah besar kalau itu beneran istrinya.
***
Lain Biru lain pula Inggit, mereka sama-sama tidak tenang dalam konteks yang berbeda. Setelah membersihkan diri dari kamar mandi yang lumayan lama. Gadis itu hanya berdiam saja duduk di sofa kamar Ares.
"Kamu istirahatlah di ranjang, jangan takut, aku punya batasan jika kamu tidak menginginkannya. Tidurlah, biar aku yang berbaring di sofa," ucap pria itu tenang.
"Inggit bergeming, masih syok dan bingung atas perlakuan lembut Ares terhadap dirinya. Bahkan Inggit tidak mengira pria itu adalah jenis pria yang begitu pengertian dan penyayang. Hatinya benar-benar tersentuh atas perlakuan hangatnya. Kalau boleh jujur, Inggit sudah mulai nyaman berdampingan dengan pria itu.
Ares seharusnya malam ini harus pulang ke rumah. Mengingat bunda Naya akan cerewet sekali menanyakan keberadaannya. Namun, ia tidak tega meninggalkan Inggit yang tidak mau ditinggal karena ketakutan.
Inggit belum beranjak sama sekali, pikirannya masih sibuk berkelana yang entah menerawang hal apa. Ares menggeleng pelan, pria itu tidak ambil pusing dan langsung mengangkat tubuh Inggit membawanya ke ranjang.
"Auw ..." desis Inggit pelan saat tak sengaja Ares menyenggol luka di pundaknya.
"Kamu kenapa? Ada yang luka?" Ares berujar cemas, ingin memeriksa tetapi langsung terhenti begitu menyadari luka Inggit di pundaknya dan itu artinya pria itu harus menyingkap baju yang dipakai gadis itu.
"Sorry ... tapi luka kamu harus diobati," tatap Ares memohon.
Inggit bergeming, dengan bingung ia membuka satu kancing kemeja atasnya dan sedikit membuka pundak polosnya. Ares menelan salivanya susah payah, pria itu sedikit gugup menenangkan hatinya yang hampir meledak aneh, karena desiran yang tak biasa.
Hey, hati ... please ... jangan nglunjak, ini cewek baik yang harus lo jaga. Jangan aneh-aneh apalagi ngajak otak berpikir gila.
"Mmm ... udah?"
"Eh, belum. Luka kamu lumayan dalem, seperti bekas cakaran kuku, ini harus diobatin, aku ambil salepnya dulu," ujar pria itu lalu.
Ares kembali ke ranjang, memunggungi Inggit dan segera memberi obat untuk lukanya.
"Siapa yang ngelakuin ini? Apakah pria-pria brengsek itu, atau ... Biru!" tanyanya tegas. Hatinya sakit melihat goresan kecil di pundak Inggit.
Inggit terdiam, tidak minat untuk menjawab, dirinya bahkan masih syok kalau mengingat kejadian beberapa jam yang lalu itu. Mungkin hari ini memang Ares belum menemukan bukti, tetapi pria itu cukup tertarik untuk mengulik tabir kehidupan gadis itu. Dari awal bertemu, Inggit itu beda dari kebanyakan cewek lainnya yang terlalu memuja jenis pria seperti dirinya. Tetapi Inggit bahkan terkesan cuek dan datar saja.
Setelah gadis itu terlelap damai, Ares merapikan selimutnya, menatapnya lekat, dan kembali berbaring di sofa dengan masih menatap wajah Inggit dengan penuh tanda tanya? Ia tidak pernah menyangka dirinya bisa seatap, bahkan sekamar dengan gadis yang selama minggu-minggu ini selalu menghantui hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Kal
ares... aku ngefans ah
2023-03-08
0
Julyzee
ego bgt lu bi...
2022-12-24
0
Lilisdayanti
JANGAN di balikin lnggit THUR biar sama ares aja 🙈🙈🤭
2022-11-30
0