Sebuah pernikahan sederhana baru saja berlangsung setengah jam yang lalu. Hari ini Inggit telah resmi menjadi nyonya dari Albiru Rasdan, well ... itu hanya berlaku di buku nikah saja, karena mereka berdua tidak berencana menjalani rumah tangga yang sesungguhnya.
Pernikahan mereka hanya dihadiri keluarga dekat saja, atas permintaan mempelai keduanya. Orang tua mereka menurut, walaupun sejatinya keluarga Biru ingin mengadakan pesta, tetapi akhirnya baik nyonya Diana atau Pak Rasdan legowo hati menerimanya, asal putra putri mereka menikah dulu, Pak Rasdan sudah tenang, dirinya merasa memilihkan mantu yang tepat sebagai istri Biru.
Baik Pak Rasdan, dan juga Diana sama-sama mengetahui karakter dan sifat Inggit yang baik. Makanya ia yakin ketika putranya jatuh pada Inggit.
Kedua orang tua itu mengantarkan pasangan pengantin yang baru menikah tadi pagi. Hari ini Inggit dan Biru akan mulai tinggal bersama setelah sah menjadi sepasang suami istri.
"Ini adalah rumah untuk kalian, hadiah dari Papa. Kalau kalian sukses menjalankan rumah tangga kalian, Papa tidak tanggung-tanggung akan langsung menghibahkan semua milik Papa ke kamu Biru," ujar Pak Rasdan menjelaskan.
"Kita tinggal di sini? Sempit amat, ini terlalu kecil Pah, apa tidak salah memberi hadiah rumah sekecil ini?" prtotesnya tak terima.
"Tentu saja tidak, rumah ini sangat cocok untuk pasangan baru seperti kalian, di rumah ini semua sudah ada silahkan kalian nikmati fasilitasnya."
"Di sini hanya ada satu kamar, jadi silahkan nikmati bulan madu di rumah kalian," sambungnya menjelaskan.
"What!! Satu kamar?" Baik Inggit dan Biru ternganga bersama.
Tadinya Inggit sudah merasa senang walaupun tinggal di rumah kecil tapi cukup asri dan tertata rapih. Ia juga pastinya bisa mangkir dengan bebas drama rumah tangga yang akan dilakoninya tanpa harus banyak canggung dengan mertua.
Ekspektasi tidak sesuai realita, apa kabar untuk kelangsungan hidupnya apabila mereka harus berbagi ranjang? Nggak akan pernah terjadi.
Sepeninggalan orang tua mereka, Inggit dan Biru langsung mengibarkan drama permusuhan. Mereka berdua menatap sengit satu sama lain.
Inggit berlari cepat melirik daun pintu kayu berwarna coklat yang iya yakini ruang kamar. Gadis itu gesit melangkah ke sana. Tak kalah cepat Biru juga sudah melangkah dengan lebar.
"Ini kamar gue," jelasnya menyorot sengit.
"Kamar gue, enak saja lo ngalah dong lo kan cowok!" tegasnya ngeyel.
"Nggak bisa, lo aja sana yang tidur di luar, pokoknya ini kamar gue."
Mereka malah berebut kamar yang sejatinya diperuntukan untuk mereka berdua.
"Eh, Papah balik lagi? Ada yang tertinggal?" akting Inggit mengelabuhi Biru. Cowok itu menoleh dan begitu lengah, Inggit langsung sigap masuk ke dalam.
"Sialan, lo ngerjain gue? Nggit, buka nggak?!" bentaknya keras dengan gedoran pintu yang menggema.
Inggit tidak menggubris, gadis itu ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang terasa penat seharian mengikuti acara pernikahan mereka. Inggit sengaja menyumpal telinganya supaya ocehan Biru di luar sana tersamarkan oleh suara musik yang menemaninya.
Berbeda dengan Inggit yang mulai terlelap, Biru malah masih mengomel tidak jelas di ruang tamu. Hanya ada sofa panjang di sana, tetapi tentu saja tidur di sana bukan solusi yang tepat untuk dirinya yang terbiasa dengan fasilitas kamar mewahnya.
Tak ada kasur sofa pun jadi, pria itu mulai melangkah maju merebahkan tubuhnya di sana. Mencari kehangatan di sisa-sisa malam yang damai. Tubuh lelahnya membawa pria itu cepat terlelap ke alam mimpi.
Keesokan paginya, Inggit terjaga dan langsung membersihkan diri. Gadis itu tidur begitu nyenyak tanpa gangguan yang berarti.
Berbeda dengan Biru yang mengeluh sana sini karena pegal tidak bisa tidur dengan leluasa.
Inggit sudah siap sedia dengan setelan kampusnya. Gadis itu tengah menikmati sarapan yang baru saja ia beli dari sebrang jalan. Sedang Biru sendiri baru saja selesai mandi, pria itu melirik sengit istrinya yang tengah sarapan dengan santainya.
"Kenapa? Mau?" tawarnya sinis.
"Ogah," jawab pria itu cuek.
"Bagus lah, orang gue cuma beli satu."
Inggit langsung berjalan ke luar setelah merampungkan sarapan dengan cepat. Gadis itu siap berangkat ke kampus. Baik Biru maupun Inggit sama-sama bawa motor sendiri. Mereka mengantongi satu kunci rumah masing-masing.
Sesampainya di kampus, Inggit memarkirkan motornya di parkiran biasa, ia sedikit lebih awas dengan memperhatikan orang sekitarnya. Kemarin bannya kempes, ia berharap hari ini tidak ada orang yang jail padanya.
"Nggit, lo ke mana? Kenapa kemarin nggak masuk?" tanya sahabatnya Hilda.
Biasanya Inggit selalu memberi kabar perihal dirinya mangkir dari kampus, baik absen atau sekedar izin padanya. Tapi kemarin mendadak gadis itu menghilang tanpa kabar, Hilda pikir dirinya marah karena pertemuan yang telah dijanjikan kemarin Hilda tidak datang.
"Lo marah? Sorry, kemarin capek banget gue ketiduran?" ucapnya menyayangkan.
"Its oke Da, nggak pa-pa, ayok ah kelas."
"Eh, tapi tunggu dulu, hal penting apa yang membuat lo sampe nyuruh gue datang ke tempat tujuan."
Inggit mendadak bingung harus menjelaskan apa? Perempuan itu tidak mungkin menjelaskan semuanya perihal pernikahan mereka kemarin karena itu pasti akan menyakiti Hilda.
"Nggak ada yang penting kok, udah lewat," pasrah Inggit berkilah.
"Beneran, ya udah deh, lega gue dengernya."
Mereka berjalan menyusuri kelas bersama, Inggit dan Hilda satu jurusan, sementara Biru beda jurusan.
Setelah kelas usai, Inggit dan Hilda tengah menghabiskan waktu di kantin untuk mengisi perutnya yang terasa lapar.
"Lo mau pesen apa?"
"Gue bakso aja, samain ya?"
"Siap lah," jawab Inggit seraya mengayunkan langkah yang menuju Ibu penjaga kantin.
Bakso Pak Min kantin kampus ini cukup rekomended buat mengisi perut kosong karena belum di isi hingga siang ini.
"Hai beb, ngantin juga?" sapa Biru menghampiri Hilda yang tengah menunggu.
"Ngebakso, laper gue," jawabnya tersenyum.
"Sendirian Da, pasangan lo mana?" tanya Nathan mengambil duduk di seberang Hilda.
"Ini," tunjuk Hilda pada Biru.
"Ya elah, itu sih seantero kampus juga tahu, si manis Inggit?" ucapnya mengerling.
"Owh ... Inggit, tuh lagi pesen," tunjuk Hilda mengarahkan netranya.
Nathan menyapu pandangan ke stand bakso, dan melihat Inggit sedang mengantri di sana. Sementara Biru sendiri menanggapi dengan cuek sahabatnya yang menanyakan istrinya.
"Pesen juga ah, kayaknya enak nih." Nathan bangkit dari tempat duduknya.
"Gue sekalian dong," ujar Devan yang sedari tadi hanya diam, duduk dengan anteng di sebelah pria itu.
"Wokeh, lo ngebakso juga nggak Al," tawar Nathan mengarah Biru. Laki-laki itu masih ngobrol ringan dengan kekasihnya.
"Boleh deh, pesenin sekalian."
"Nggit, masih?" tanyanya setelah mendekati stand.
"Masih," jawab gadis itu sambil lalu, berjalan kembali ke bangku kantin, menemukan meja yang sudah terisi dengan dua laki-laki.
Baik Biru maupun Inggit hanya saling melirik cuek, keduanya duduk dengan tenang tanpa mau tahu urusan masing-masing. Inggit sudah terbiasa melihat kedekatan Hilda dan Biru, jadi kali ini pun Inggit biasa saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Nur fadillah
Heem...heem...
2023-02-15
0
Cucu Ulpah
hati hati biru nanti kamu bakal cemburu liatin inggit d godain banyak laki laki biar tahu rasa kamu
2022-12-29
0
Lilisdayanti
kayanya biru makan hati duluan deh 😂😂😂 karna inggit selalu di kawal cogan,,
2022-11-30
0