Pagi ini, Dante begitu bersemangat melajukan motornya menuju pasar dengan kecepatan sedang. Pemuda itu tak sendirian. Di belakangnya ada Alisha, gadis cantik yang belakangan ini sukses menyita perhatian Dante itu tengah duduk manis membonceng sambil melingkarkan tangan ke perutnya.
"Nah, gitu dong. Kan enak kalau pegangan gitu. Aku tuh khawatir kamu bakal ketinggalan di jalan. Maklum lah, kan aku nggak berasa boncengin orang," ujar Dante sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa puas sebab berhasil membuat Alisha memeluknya dari belakang.
"Kalau nggak berasa boncengin orang memangnya aku ini kamu anggap apa? Karung beras?" tanya Alisha tak terima. Gadis itu mengerucutkan bibir sambil melirik Dante dengan kesal.
"Bagusan juga karung beras."
Jawaban Dante membuat Alisha menggeram. Maksudnya apaan coba? Dia yang cantik rupawan dibilang kalah bagus dari bagus karung beras.
"Boncengin kamu tuh berasa lagi boncengin karung kapas kalau lagi nggak pegangan," lanjut Dante lagi demi menghindari kesalahpahaman Alisha. "Sangat ringan. Makanya itu aku khawatir kamu jatuh gegara ketiup angin. Kamu nggak pengen aku tinggalin sebab kupikir masih duduk di boncengan, kan?"
"Dasar!" umpat Alisha pura-pura kesal. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain meskipun bibirnya menyunggingkan senyum malu-malu. "Aku nggak seringan itu, kali."
Dante yang bisa melihat ekspresi Alisha melalui kaca spion hanya bisa mengulas senyum. Tangan kirinya sengaja bergerak menyentuh jemari Alisha yang berada di perutnya itu dengan lembut sebelum kemudian menggenggamnya seperti tak ingin tangan lembut itu menjauh dari sana.
Mata Alisha membeliak merasakan pegangan itu. Tak bisa dipungkiri, ada denyar aneh yang menjalar ke sanubarinya. Namun, ia tak mau gegabah menilai Dante memiliki perasaan terhadapnya. Mengingat jika Dante adalah tukang ojek, bisa jadi Dante selalu bersikap demikian terhadap seluruh penumpangnya.
"Jadi kamu memang suka gini sama semua penumpang kamu?" Entah itu tuduhan atau hanya sekadar ingin tahu, tetapi Alisha benar-benar ingin Dante menjawab itu.
"Suka gini apa?" tanya Dante tak paham.
"Ya gini. Pegang-pegang tangan orang," jelas Alisha.
Sontak Dante menunduk memandangi tangannya yang menempel pada jemari Alisha lalu tertawa setelah menyadarinya. Karena merasa tak melakukan hal itu, terang saja ia menyangkal tudingan Alisha. "Ya nggak lah, Al! Aku kayak gini cuma sama kamu aja."
Jawaban Dante membuat Alisha bernapas lega. Salahkah jika ia bahagia? Ia merasa menjadi seseorang yang istimewa untuk Dante.
"Yakin cuma sama aku? Nggak ada yang cemburu, tuh?"
"Ya ampun Al! Siapa yang bakal cemburuin aku, sih? Kamu tau sendiri kan, aku ini orang miskin. Ga ada cewek yang mau sama aku sekalipun kegantenganku ini melebihi artis."
Mula-mula memang Alisha sempat merasa iba pada Dante. Namun, setelah mendengar kalimat terakhir pemuda itu, secara refleks Alisha jadi merasa kesal. Ia pun segera menimpali kalimat Dante kalimat ejekan.
"Dasar cowok miskin narsis. Pantesan aja nggak ada cewek yang mau sama kamu! Uang nggak ada tapi tingkat percaya dirinya luar biasa."
"Biarin. Yang penting kamu suka, wekk," balas Dante dengan nada nakal sambil menjulurkan lidahnya, yang sontak membuat wajah Alisha langsung memutar bola mata.
"Kamu nggak marah, kan?" tanya Dante memastikan setelah beberapa saat keduanya terdiam. Ia memandang wajah Alisha melalui kaca spion demi melihat ekspresi gadis itu. "Aku minta kamu jangan salah paham, ya. Aku cuma mau mastiin kamu dalam keadaan aman aja. Tapi kalau kamu keberatan, aku nggak akan ulangi lagi, kok."
"Nggak kok, Dan. Aku nggak keberatan." Alisha menjawab cepat. Entah karena memang suka atau demi menghargai niat baik Dante. "Aku hargai niat baik kamu. Makasih, ya."
Dante tersenyum lalu menganggukkan kepala. "Sama-sama."
"Tapi jangan sering-sering, ya."
"Iya, Al. Aku ngerti, kok. Aku juga nggak mau kita kecelakaan."
Alisha tersenyum menanggapi sikap pengertian Dante. Tak ada penolakan saat dirinya menyandarkan dagu pada pundak pemuda itu. Bersama Dante, ada kenyamanan yang tidak pernah ia dapatkan dari seorang pria manapun. Salahkah jika ia menggantungkan harapannya pada pemuda itu? Ia hanya gadis biasa yang membutuhkan cinta dan kasih sayang. Dan hanya Dante lah yang telah mampu membuat jantungnya berdebar-debar meskipun hingga kini tak ada status apa pun di antara mereka.
Tak lama kemudian, kendaraan roda dua itu berbelok pada gerbang sebuah pasar. Suasana ramai tempat itu langsung menyambut keduanya. Alisha bergegas turun dan melepas pengait helm yang ia kenakan.
"Aku belanja dulu, ya. Kalau kamu mau cari penumpang dulu nggak pa-pa kok, Dan," ujar Alisha sembari menyerahkan helm itu pada Dante.
"Nggak, Al. Aku nggak akan cari penumpang lain. Aku aja sengaja nggak bawa jaketnya." Dante menerima helm itu dari tangan Alisha, lalu kemudian menggantungnya pada spion motor. Ia memandangi rambut Alisha yang berantakan dan tersenyum. "Rambut kamu berantakan, nih."
Tanpa segan tangannya bergerak merapikan rambut gadis di depannya. Hal itu membuat yang bersangkutan tersenyum canggung sekaligus malu. Walaupun tak bisa dipungkiri jika Alisha sendiri sangat menyukai itu.
"Kamu nggak keberatan kan kalau aku bantuin belanja. Daripada aku nungguin di motor, nggak ada teman ngobrol," ujar Dante kemudian, meminta persetujuan. Yang seketika membuat Alisha mengangkat alisnya seperti tak percaya.
"Ih nggak usah, Dan. Di dalam tuh pengap banget."
"Nggak pa-pa. Aku mau bantuin bawa belanjaan. Ingat ya, bawain belanjaan. Bukan kasih traktiran! Soalnya aku nggak ada uang, hehe." Dante nyengir usai memberi tekanan pada kalimatnya.
"Siapa juga yang mau minta traktiran!" Sebentar Alisha menyebikkan bibirnya. Namun, sesaat kemudian ia berucap dengan nada ceria. "Tapi kalau ada orang nawarin bantuan, aku nggak bisa nolak, sih. Pamali, hehe. Ya udah masuk yuk. Terus intilin aku biar nggak nyasar di pasar," gurau Alisha yang membuat Dante tertawa.
"Aku udah gede, Al. Masa iya nyasar, Ah."
"Ya siapa tau, Dan."
Keduanya lantas berjalan beriringan menuju toko yang menjual bahan kue lengkap langganan Alisha dan ibunya. Dan sepanjang jalan menuju tempat itu pun Dante tak hentinya menunjukkan perhatian melalui tindakan.
Salah satunya, ketika ada Kang pengangkut barang yang melintas memenuhi jalan. Dante langsung menarik tangan Alisha karena gadis itu nyaris tertabrak. Alisha yang berjalan sambil memainkan ponselnya itu hanya asal jalan tanpa melihat situasi kanan kiri depan belakang. Beruntung saat itu Dante bergerak sigap.
Begitu juga ketika Alisha tersandung. Dante bergerak sigap menangkap Alisha sebelum gadis itu tersungkur.
Alisha yang terkejut hanya bisa terdiam dengan bola mata membulat selagi mengatur napasnya yang memburu.
"Kamu nggak pa-pa? Ada yang sakit?" Dante bertanya memastikan sembari memeriksa kaki Alisha. Ada raut kecemasan yang terpampang di wajahnya.
"Nggak, Dan. Aku nggak pa-pa. Cuma kaget aja," ujar Alisha meyakinkan.
Dante yang awalnya berjongkok kini pun berdiri setelah yakin pasti Alisha baik-baik saja. Ia kemudian menggeleng lemah sambil mengembuskan napas kasar.
"Kalau jalan yang fokus dong, Al. Jangan mainan hp mulu. Mainan hp di tempat umum sambil jalan kayak kamu tadi itu berbahaya loh. Selain bisa memancing kejahatan, kamunya juga bisa celaka!" tegus Dante kemudian dengan ekspresi serius.
"Maaf, Dan. Aku nggak bermaksud begitu. Ini tadi bestie aku telepon tapi aku nggak dengar. Dan tadi kami sedang berbalas pesan."
"Tapi kan bisa nanti, Al. Bukannya main hp di jalan sempit kayak gini!"
"Iya maaf. Aku ngaku salah. Jangan marah gitu dong, Dan."
"Iya, aku nggak marah. Yang penting jangan diulangi."
"Pasti," ujar Alisha meyakinkan. Keduanya lantas melanjutkan perjalanan. Namun, kali ini Dante harus menggandeng tangan Alisha demi memastikan keamanannya.
"Wah, Alisha sama siapa tuh? Pacarnya ya? Ganteng banget gitu." Pemilik toko langsung menyambut Alisha dengan pertanyaan ketika mereka baru sampai. Buru-buru saja Dante melepaskan pegangannya demi menghindari ketidaknyamanan Alisha.
"Mbak Irma apaan, sih? Dante cuma sahabat aku Mbak, nggak lebih."
"Ih, tapi kalian serasi, loh. Jadian juga nggak pa-pa," goda wanita berusia matang itu lagi.
"Apaan sih, Mbak." Hanya itu yang bisa Alisha lontarkan untuk menimpali kalimat godaan wanita bernama Irma itu.
Dante yang juga sama-sama mendengarnya hanya bisa bungkam dan memilih menyibukkan ponselnya di luar toko. Walau ia akui, ada rasa berbeda di hatinya ketika bersama Alisha yang tak pernah ia rasakan saat bersama gadis lainnya.
Namun, ia tak bisa gegabah menyimpulkan bahwa itu adalah cinta mengingat latar belakang pekerjaan sampingan Alisha. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu pacar anaknya adalah gadis seperti itu. Walaupun perasaannya sudah menggebu-gebu, ia merasa perlu mempertimbangkan hal itu.
Entah berapa lama kemudian, Alisha keluar sambil menenteng kantong plastik besar di tangan. Melihat Dante menyadari kedatangannya dan langsung berdiri menyambut, Alisha pun tersenyum ramah. Ia memang sengaja melarang Dante masuk demi menghindari omongan orang yang tidak-tidak mengenai mereka. Alhasil, Dante hanya bisa menunggu dan duduk di depan toko tersebut.
"Udah selesai belanjanya?" tanya Dante memastikan sembari menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.
"Belanjanya udah selesai, tapi belanjaannya masih ada yang di dalam."
"Aku bantu ambilkan?" tawar Dante.
"Nggak usah," cegah Alisha. "Aku sendiri aja."
Dante mengangguk lemah dan membiarkan Alisha masuk ke dalam. Setelah selesai, keduanya lantas bersama-sama berjalan menuju motor untuk menaruh belanjaan. Dante membawakan yang berat-berat dan menyisakan yang ringan-ringan untuk Alisha.
"Dan, bestie aku ngajak ketemuan nih, gimana dong?" tanya Alisha meminta pertimbangan begitu keduanya sampai di motor dan menata belanjaan.
"Ya temuin aja setelah sampai rumah, Al. Ngapain ribet?"
"Tapi dia nyusul ke pasar, loh Dan."
"Hah? Sampai nyusul ke sini?"
"Iya." Alisha mengangguk memastikan. "Kita temuin dia dulu nggak pa-pa kali, ya. Dia ngajak aku ngafe di deket-deket sini."
"Aku nggak usah deh. Males banget aku jadi orang ketiga di antara emak-emak rempong. Mending juga bawa pulang belanjaan."
"Yakin, nggak mau?"
"Yakin, lah."
"Nggak marah, nih?"
"Ngapain marah?" jawab Dante meyakinkan. "Nanti kalau udah selesai tinggal telepon aku aja. Entar aku jemput."
"Yah, jadi ngerepotin kamu, deh."
"Nggak pa-pa."
Ponsel Alisha berdering setelah itu. Gadis cantik bermata bening itu menggeser gambar gagang telepon berwarna hijau lalu menempelkan pada telinga kanannya.
"Halo, Ra, kamu di mana? Aku di parkiran, nih. Oh ya, kamu nggak jauh di situ?" Alisha bertanya antusias lalu mengedarkan pandangannya. Dan ketika melihat sesosok gadis memakai rok mini dan jaket denim tengah melambaikan tangan kepadanya, ia pun sontak balas melambai lalu tertawa.
"Dan, itu bestie aku, kenalan dulu, ya," tunjuk Alisha pada Lara yang tengah berlari kecil menghampirinya. Pandangan Dante mengikuti arah telunjuk Alisha, lalu menganggukkan kepala.
Alisha mengulurkan tangannya demi menyambut Lara yang sudah merentangkan tangan. Kedua gadis itu lantas berpelukan.
"Ya ampun Lara, ngapain pakai nyusulin aku ke pasar segala? Nanti kamu pingsan loh gegara hirup udara pengap," ujar Alisha tak enak hati begitu mereka mengurai pelukan.
"Nggak pa-pa, Al. Lagian aku penasaran seperti apa suasana pasar," balas Lara.
"Ra, kenalin, ini Dante sahabat aku."
Lara sontak mengalihkan pandangannya pada cowok berjaket denim yang duduk di atas motor dengan belanjaan penuh di bagian depan. Pemuda berhelm itu menoleh sambil mengulurkan tangannya.
"Dante," ucapnya memperkenalkan diri.
Tanpa sungkan Lara menyambutnya.
"Lara."
Berbeda dengan Dante yang langsung buang muka setelah bersalaman. Alisha justru mengernyitkan keningnya ketika tadi sempat sekilas memperhatikan wajah Dante.
Dia siapa, ya? Kenapa wajahnya seperti tak asing lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments