"Dengan Nyonya Siska?"
Seorang wanita dengan pakaian khas kantoran langsung menoleh ketika namanya disebutkan. Alih-alih menjawab tanya, ia malah terperangah melihat sosok di depannya.
Pria muda bertubuh tinggi dan tegap. Alis tebal yang menaungi sepasang mata dengan pandangan yang menghanyutkan. Bibir merah serta hidung tinggi dengan porsi pas di wajah pualamnya. Sangat tampan. Dia tengah menatapnya seperti sedang memastikan.
"Benar dengan Nyonya Siska?" Pemuda dengan ponsel di tangan itu mengulangi lagi pertanyaannya.
"I-iya benar. Saya Siska." Wanita itu menjawab gelagapan.
"Saya adalah driver ojek online yang Nyonya pesan tadi." Pemuda itu kembali berkata dengan ramah, memperkenalkan dirinya.
"Benarkah?" tanya wanita itu menyangsikan. Benarkah makhluk sempurna itu hanyalah driver ojek online? Namun, dari jaket yang dikenakan, bisa dipastikan jika pemuda itu adalah driver ojek online sungguhan.
"Mari saya antar ke tempat tujuan."
Wanita itu kembali tergagap sembari menerima helm yang disodorkan si pemuda. Tanpa pikir panjang, ia segera mengenakan sembari duduk di jok belakang. Motor pun segera melaju meninggalkan tempat itu.
Tak ada percakapan yang terjadi. Sang driver ojol tampak fokus mengendarai motornya. Sementara sang penumpang justru begitu fokus memperhatikan yang memboncengnya secara diam-diam dari belakang.
Wangi. Aroma parfum mahal. Dia juga tampan dan terawat. Benarkah ini profesinya?
"Siapa nama kamu?" Penumpang akhirnya nekat bertanya demi membunuh rasa penasarannya.
"Dante, Mbak. Kan sudah ada di aplikasi waktu Mbak pesan tadi," jawab Dante ringan tanpa menoleh ke belakang.
"Owh iya. Lupa." Wanita itu nyengir menyadari kebodohannya. Namun, buru-buru saja ia menghalau rasa malu itu dengan memperkenalkan namanya. "Aku Sabila. Panggil aja Bila."
"Hai Mbak Bila."
Sabila langsung tertawa saat Dante menyapanya dengan nada bercanda. Pemuda itu sedikit menoleh ke belakang sebentar saat menggodanya. Tapi tetap dengan sopan. Setidaknya bisa mencairkan suasana selagi dalam perjalanan.
"Sudah berapa lama jadi driver ojol?" tanya Bila kemudian. Ia sedikit memiringkan kepala agar bisa menatap wajah Dante walau hanya dari samping.
"Hari ini perdana, Mbak."
"Oh ya?" Bila membulatkan matanya. "Jangan-jangan aku ini pelanggan pertama kamu?"
"Memang iya. Hahaha." Dante tertawa, dan itu menular pada penumpangnya.
"Wah, berarti kamu lagi hoki dong!"
"Loh, hokinya gimana tuh Mbak?" tanya Dante tak mengerti sembari melirik Sabila.
"Karena ... dapat pelanggan secantik aku, hahaha!"
Dante ikut tertawa. Ia tak menampik perkataan Sabila. Wanita di belakangnya itu memang cantik, ditambah lagi terlihat dewasa dan berkelas. Ia memperkirakan usia Sabila lima tahun lebih tua dari usianya.
"Mobil Mbak Bila tadi kenapa? Mogok ya?" tanya Dante penasaran. Saat menghampiri Sabila tadi memang ia melihat gadis itu tampak gelisah berdiri di samping sebuah mobil. Dan ia memastikan bahwa itu mobil Sabila.
"Iya. Nggak tau kenapa tiba-tiba mogok. Padahal baru kemaren keluar dari bengkel. Belum beres kali ya, penanganan yang kemarin."
Sabila diam sejenak. Dari belakang ia memperhatikan kepala Dante yang manggut-manggut.
"Kamu sendiri kenapa kerja jadi tukang ojek? Padahal dari segi penampilan kamu itu terlihat oke. Wajah juga ganteng. Kenapa nggak pilih jadi artis aja?"
"Jadi artis?" Dante mengulang sepenggal kalimat Sabila dengan nada tanya sebelum kemudian meledakkan suara tawanya. "Muka-muka kayak saya mana laku, Mbak. Udah jelek, miskin lagi."
"Eh, siapa yang bilang kamu jelek? Sini, biar aku bunuh Dia!"
Dante terbahak. "Kalau mau jadi artis butuh proses panjang, Mbak. Perlu kesting lah, ini lah, itu lah. Keburu saya pingsan karena lapar, Mbak. Iya kalau diterima jadi artis. Nah kalau enggak? Saya sih mendingan yang pasti-pasti aja, Mbak. Yang penting halal dan bisa menyambung hidup."
Njirr. Barusan ngomong apa gue? Sok bijak banget.
Dan tanpa Dante sadari, perkataannya barusan itu kian membuat sang penumpang terpesona dan jatuh hati kepadanya.
"Dante," panggil Sabila lembut. Dante pun mendengarnya kemudian setengah menoleh ke belakang.
"Ya, Mbak."
"Kamu mau nggak jadi pacar aku?"
Seketika Dante membelalak dan tanpa sadar menarik tuas rem motor karena saking terkejutnya. Terang saja motor berhenti mendadak hingga membuat tubuh Sabila terdorong menubruk punggungnya. Dan apa yang terjadi? Dante merasakan dua gundukan kenyal menggempur area belakang badannya. Terang saja mukanya memerah karena sungkan.
"Eh, maaf Mbak maaf. Saya bener-bener nggak sengaja. Beneran."
Alih-alih marah, Sabila justru tersenyum sambil menepuk pelan pundaknya dari belakang.
"Nggak pa-pa, Dante. Namanya juga nggak sengaja."
"Saya bener-bener nggak enak, loh Mbak."
"Kan aku bilang nggak pa-pa. Dah yuk, lanjut jalan."
Dante mengangguk, kemudian kembali melajukan motornya dengan hati-hati. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Walaupun tidak bisa dipungkiri, sebenarnya ia suka sih.
Tak lama kemudian, mereka akhirnya sampai pada tempat yang dituju. Sebuah gedung pencakar langit dengan label perusahaan besar.
Dante menghentikan motornya dan Sabila akhirnya turun dari sana.
"Makasih ya." Ia mengucapkan itu sembari menyerahkan helm pada Dante. ia lantas merogoh selembar uang pecahan seratus ribuan dan menyodorkan itu pada Dante.
"Kembaliannya buat kamu aja," katanya lagi saat Dante sibuk mencari uang kembalian.
"Ah jangan gitu, lah Mbak. Kembaliannya masih banyak loh," ujar Dante tak enak hati.
"Nggak pa-pa." Sabila bersikeras menahan tangan Dante, sehingga membuat pemuda itu menyerah dan mengucapkan terima kasih. "Jadi gimana? Kamu bersedia?" tanya Sabila lagi setelah keduanya diam beberapa saat.
"Bersedia untuk apa, Mbak?"
Dasar Dante. Baru juga mendapat gempuran dari dua bukit kembar ia langsung lupa segalanya.
"Ish, yang tadi itu. Jadi pacar aku. Kamu mau kan?"
Beruntung saat itu Dante tengah menatap ke lain. Coba saja jika dia menatap Sabila, pasti dia akan bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah gadis itu memanas karena menahan malu. Pesona Dante benar-benar membuatnya tak tahan untuk bisa memiliki.
"Owh, itu." Dante tersenyum kecut. "Maaf ya Mbak, bukannya saya nggak suka sama Mbak Bila. Tapi saya takut Mbak Bila nyesel pada akhirnya."
"Kok bisa?" Sabila mengernyitkan keningnya.
"Saya ini miskin, Mbak. Banyak mantan saya yang nyerah pacaran karena saya nggak bisa kasih uang. Bahkan ada di antara mereka yang sampai nekat jual diri ke om-om hidung belang."
"Ya ampun ... segitu parahnya?" Sabila membulatkan bola matanya. Sepertinya ia malah semakin terkesima. "Berarti mereka matre tuh, Dan. Nggak kayak Mbak. Mbak malah bersedia mencukupi kebutuhan kamu asal kamu setia sama Mbak. Mau kan Dan?"
Dante terperangah. Ia nyaris kehabisan kata-kata. Perempuan di depannya ini gila kah? Nembak cowok hanya dalam satu kali pertemuan. Itu pun hanya dalam hitungan menit.
Dante pun diam sejenak sembari memikirkan alasan penolakan yang ampuh tanpa perlu menyakiti hati.
"Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Ada hati yang perlu dijaga. Permisi."
Tanpa menunggu reaksi Sabila, Dante lantas berlalu meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum beranjak ia sempat melihat gurat kecewa di wajah Sabila. Lagipula, yang benar saja. Masa iya ada cewek dewasa langsung nembak brondong hanya karena tertarik pada pandangan pertama.
***
Sinar mentari memancar dengan gagahnya di pagi hari. Semburat jingga itu menyembul dari balik dedaunan dan menerpa kulit wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda di sebuah taman rumah sakit.
Alisha setia menemani ibunya selama proses pengobatan. Hingga beberapa hari menjalani perawatan, ibunya semakin terlihat membaik dan lebih segar dari sebelumnya. Ia sangat bersyukur, operasi yang dilewati ibunya itu berhasil dan membawa kesembuhan. Dan rencananya besok pagi ibunya sudah diperbolehkan pulang.
Seperti biasa, Alisha akan bersikap konyol untuk membuat sang ibu tertawa. Dan tingkahnya itu lagi-lagi tak lepas dari perhatian Lara.
Gadis itu juga ada di sana. Tak jauh dari Alisha dan ibunya. Dan dia hanya bisa menelan ludah melihat kebersamaan hangat ibu dan anak itu.
"Tinggalkan aku sendiri," titahnya pada seorang perawat yang sejak tadi mendampingi.
"Baik, Nona." Wanita dengan pakaian serba hijau itu mengangguk patuh, lantas undur diri dari tempat itu.
Lara kembali memperhatikan Alisha diam-diam. Sebenarnya tak ada yang spesial dari gadis itu. Namun, perlakuan Alisha itu sukses membuatnya jiwanya yang beku akan kasih sayang mencair dan menghangat.
Alisha memang berkali-kali mendekatinya. Menawarkan bantuan dan menunjukkan perhatian. Namun, dengan sikap egonya, ia selalu menampik segala penawaran Alisha dan memandang kebaikan gadis itu dengan sebelah mata.
Lara sendiri memiliki sifat introvert pada orang asing. Ia cenderung menciptakan benteng pembatas pada orang yang baru dikenal. Sangat beralasan, mengingat ia memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Ia tak ingin sifat hangatnya dimanfaatkan orang sembarangan.
Namun, yang ia lihat Alisha adalah gadis yang berbeda. Tidak seperti teman-temannya yang datang hanya saat ada maunya. Ketika ia mengadakan pesta atau saat ada traktiran.
Dengan harta berlimpah papanya dan segala kemewahan yang didapat, Lara memang tak tanggung-tanggung saat mengeluarkan modal. Ia tak segan-segan menggelontorkan uang hanya untuk mengambil hati seorang teman. Dan ternyata hal itu berimbas buruk terhadapnya. Tak ada satu pun dari mereka yang tulus dalam berteman.
Terang saja hal itu membuatnya kesepian. Ia menghabiskan banyak waktu hanya untuk menjalani pertemanan semu. Jangan tanyakan juga bagaimana kisah cintanya. Ia pun banyak memiliki mantan dengan modus yang sama. Sudah kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, masih juga ditipu belahan jiwa. Miris, bukan?
Lagi-lagi ponsel di tangannya terjatuh ke tanah. Ini benar-benar tidak Lara sengaja. Ia tampak panik saat Alisha dan ibunya langsung menoleh ke arah dia. Namun, saat ia berupaya menggapainya, tiba-tiba ponsel itu sudah lebih dulu berada di genggaman Alisha.
Lara memaku tubuh yang masih membungkuk dan mengarahkan pandangannya pada Alisha. Ia lantas mendengkus lirih melihat seringai yang tercipta di bibir tipis gadis itu.
"Kau menginginkan ini?" tanya Alisha sambil menimang-nimang ponsel Lara. Ia sengaja mempermainkan gadis itu untuk memancing kemarahan. Pasalnya, lama-lama ia kesal juga. Berkali-kali menawarkan bantuan pada gadis pucat itu, dan berkali-kali pula ia mendapatkan penolakan. Gadis di kursi roda itu cukup angkuh untuk mengakui kelemahannya dan itu membuat Alisha geram. Lara terlalu menutup diri, sedangkan dirinya benar-benar menawarkan bantuan. Bukan bermaksud memanfaatkan.
Namun, meski demikian, aih-alih marah, Alisha justru kasihan pada Lara. Gadis itu pasti memiliki alasan kuat kenapa bisa bersikap demikian. Lebih-lebih lagi selama di rumah sakit, ia tak melihat orang tua Lara mendampingi berjemur di taman rumah sakit. Yatim piatu kah dia?
"Kalau tidak mau juga nggak papa." Alisha tersenyum remeh lalu menarik kembali ponsel itu yang tadi sempat ia sodorkan tetapi tidak lantas diterima oleh Lara. "Aku bisa melemparkan ini ke dalam kolam ikan. Bukankah kau ini kaya? Kau pasti bisa membeli lagi barang mahal ini sebanyak mungkin, kan."
"Tunggu!" seru Lara cepat saat Alisha hendak beranjak. Terang saja Alisha langsung berhenti tanpa berbalik badan dan tersenyum senang tanpa sepengetahuan Lara.
"Tolong jangan buang ponselku."
Alisha melotot saat Lara berucap seperti memohon. Demi apa coba gadis itu memohon?
"Aku sangat menyayangi ponselku itu. Banyak kenangan manis yang tersimpan di sana."
Lara menjeda ucapannya. Sekadar menguatkan diri hanya untuk mengatakan sesuatu hal yang akhirnya sukses membuat Alisha tercengang.
"Maafkan aku atas keangkuhanku selama ini, Alisha. Maukah kau menerimaku sebagai teman?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Noktafia Diana Citra
Next next 😍
2022-03-15
1