Jika kesetiaanku kali ini tak juga dihargai, maka izinkanlah nakalku yang dulu beraksi kembali ~ Dante
.
.
Dante keluar dari hotel itu dengan wajah marah. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Tak dihiraukannya pula langit gelap dengan gemantung mendung yang menjadi payung.
"Dasar. Semua cewek sama aja! Matre! Nggak berperasaan! Suka main hati hanya karena tergiur aki-aki berkantong tebal. Bangk* emang!"
Dante mengumpat. Berusaha meluapkan segara emosi yang berdesakan di dalam dada. Jujur, bukan sebab cemburu ia jadi sedemikan murka. Toh, gadis bernama Lidya itu tidak benar-benar ia cinta. Namun, pengkhianatan gadis itulah yang membuatnya kecewa, marah, kesal, dan rasanya ingin makan orang. Harga dirinya sebagai laki-laki benar-benar terdzolimi.
Hujan deras yang tiba-tiba turun benar-benar menjadi penyempurna kesedihannya. Petir yang menggelegar bersahutan. Angin berembus kencang dan kilatan cahaya membelah langit gelap kian menambah suasana seram.
Dante mengusap kasar wajah basahnya dengan tangan kiri, kepalanya kemudian mendongak menatap langit yang sedang menangis itu. Ia menggeram, lantas berteriak penuh kemarahan.
"Woy! Siapa yang minta supaya langit menurunkan hujan beserta petir dan badai! Nih lihat! Gara-gara lo gue jadi kebasahan!"
Duarrr!
Lagi-lagi suara petir menggelegar di atas sana, membuat Dante terkesiap dan seketika mengunci mulutnya rapat-rapat. Dalam sekejap saja baju yang dipakainya sudah basah kuyup oleh derasnya air hujan. Menyisakan sensasi dingin hingga menusuk tulang.
Tanpa pikir panjang, ia menepikan motor dan berhenti di sebuah halte di sisi kiri jalan. Bergegas bernaung usai mematikan mesin motornya dan menjatuhkan tubuh untuk duduk pada kursi kosong yang ada di sana.
Untuk sesaat ia terdiam dengan tatapan kosong yang terarah pada jalan raya dengan kendaraan lalu lalang. Tangannya terlipat di depan dada, memeluk tubuh demi menghalau rasa dingin yang mendominasi.
Namun, sialnya bayangan dua manusia beda usia yang tengah bergumul tanpa sehelai benang pun itu kembali menari di pikiran.
"Bangs*t!" Refleks, tangan Dante menghantam kursi kosong di sisi kanannya. Pemuda itu lantas meraup wajahnya dengan kasar dan mengacak rambutnya yang basah.
"Okay. Jika kesetiaan gue kali ini nggak juga dihargai, maka izinkanlah nakal gue yang dulu beraksi kembali." Ia bergumam setelah berpikir panjang, kemudian merogoh ponsel dari saku untuk menghubungi seseorang.
"Halo." Terdengar suara pria menyapa di ujung sana.
Tanpa menjawab sapaan, Dante langsung menyahut, "Jo, bilang ke Papa, gue udah gagal dalam misi mencari jodoh wanita yang setia. Terserah dia mau terima gue lagi apa enggak! Pokoknya gue belum mau nikah! Gue ogah kuliah! Kalau papa masih ngotot mau jodoh-jodohin juga, biar dia aja yang nikah sama tuh cewek!"
Jonathan langsung menyahut dengan suara takut-takut. "Tapi, Mas Dante ... gimana sama Ibu kalau Bapak nikah lagi?"
Sontak saja Dante terkesiap. Sepertinya dia sudah salah ucap. Namun, sesaat kemudian ia langsung menyahut dengan nada tak peduli.
"Bodo amat, lah! Toh nyokap gue juga nggak peduli gue disiksa! Lo bayangin aja, Jo, gue disuruh nyari jodoh dengan modal motor doang. Biar kata wajah gue gantengnya kayak Arjuna, paling mentok cuma dapat cewek yang kerja di pabrik doang! Kenapa nggak biarin aja gue bawa sportcar gue? Paling nggak biar dapat cewek yang berkelas dikit, lah. Emang papa nggak kira-kira kalau mau ngerjain anaknya!"
"Tapi, Mas–"
"Udah! Gosah ngebantah! Catat itu jadi laporan buat papa. Bye!" Dante langsung memutus sambungan sepihak tanpa menunggu balasan Jonathan. Diletakkannya ponsel itu ke sisi kanan dengan geram.
Hujan perlahan mulai mereda, tetapi Dante masih enggan beranjak dari tempatnya. Ia hanya bergeming saat merasakan kedatangan seseorang dari arah kanan. Di sela suara rintik gerimis yang menerpa atap halte, sayup-sayup telinganya mendengar dua wanita itu bercakap-cakap.
"Kita bernaung di sini dulu sembari nunggu taksi yang Alish pesan datang, ya Bu. Percayalah ... uang yang Alish dapatkan itu adalah uang halal. Semoga berkah dan bisa untuk pengobatan Ibu sampai sembuh. Ibu percaya pada Alisha, kan?"
Dante yang masih bersedekap itu mengerutkan kening saat telinganya menangkap suara tak asing itu. Ia memutuskan menoleh demi melihat siapa pemilik suara.
Untuk sejenak Dante tak bisa melihat wajah si pemilik suara. Posisi wanita dengan bawahan celana jeans berpadu atasan kemeja lengan panjang itu membelakanginya. Hanya rambut hitam panjangnya yang terlihat bergerak-gerak diterpa kencangnya angin malam. Ia tampak sibuk menghangat tubuh seorang wanita paruh baya yang tadi dipanggilnya ibu.
Dante memperhatikan wanita paruh baya berjilbab itu dengan seksama. Wajahnya memang tak nampak. Namun, jika dilihat dari pakaian hangat yang menempel di badan, sepertinya wanita itu tengah dalam kondisi tidak sehat. Di dekat mereka ada sebuah tas pakaian berukuran sedang. Terang saja Dante bisa pastikan jika mereka hendak bepergian.
Cukup lama Dante setia memaku pandangan pada dua orang yang tak menganggap keberadaannya. Hingga saat gadis berkulit putih itu menoleh ... seketika Dante tercengang.
"Elo?" Telunjuk Dante refleks menuding si gadis dengan bola mata membulat sempurna.
Alisha yang ditunjuk tampak menyipitkan mata. Berusaha mengingat-ingat sosok pemuda yang sok kenal dengan dia, dan seketika bola matanya pun ikut membulat.
"Ya ampun, aku kira siapa. Ternyata cowok banci yang maunya menang sendiri," celetuknya dengan nada meremehkan.
Terang saja Dante geram. Ia bergerak cepat meraih pergelangan Alisha dan menyeret gadis itu untuk sedikit menjauh dari ibunya.
"Eh, apaan sih tarik-tarik!" Alisha mengibaskan tangan Dante dan menatap pemuda itu dengan ekspresi kesal.
"Heh! Lo tuh cewek. Bisa mikir waras dikit nggak, sih? Bisa-bisanya lo mau bawa ibu lo berobat pake uang haram!"
"Maksud kamu?" Alisha menautkan alisnya.
Dante menggeram. "Pake pura-pura polos, lagi," ujarnya dengan nada mencemooh.
Alisha memperhatikan ekspresi pemuda di depannya, dan seketika ia mengerti apa yang sedang Dante maksudkan.
"Kalau nggak tau itu nggak usah sok tau!" terangnya memperingatkan dengan nada penuh penekanan.
"Alisha ... dia siapa, Nak?"
Dante dan Alisha kompak menoleh saat Wanda bertanya dengan nada penasaran.
"Bukan siapa-siapa, Bu. Cuma kang ojek online," jawab Alisha yang tak sengaja melihat motor Dante terparkir di sana.
Terang saja Dante melotot. Baru kali ini ia dipanggil Kang ojek oleh seorang gadis.
"Kenapa melotot?" ketus Alisha dengan tatapan sengit pada Dante.
Ih, apaan sih nggak jelas banget, batin pemuda itu dengan ekspresi nyeleneh dan mengerutkan kening. Ia hanya diam memperhatikan gerak-gerik si gadis yang berlalu begitu saja dan kemudian mengajak ibunya pergi. Kebetulan, saat itu taksi online yang dipesannya sudah berhenti di depan halte.
Masih di tempatnya berdiri, Dante memperhatikan dua wanita itu dalam diam dan bersedekap dada, hingga mobil warna hitam itu melesat pergi meninggalkannya.
"Sialan. Ganteng-ganteng gini gue dibilang kang ojek," gumamnya pelan. Namun, sesaat kemudian pemuda itu tampak berbinar setelah menyadari sesuatu hal. "Eh, tapi ini bisa jadi inspirasi sebagai jurus bertahan hidup ya gak sih. Selagi gue nggak dapat kucuran dana dari papa kan lumayan. Sekalian aja buat nunjukin ke papa kalau gue bisa bertahan hidup tanpa uangnya. Biar aja papa tau rasa! Siapa suruh hukum anaknya sampai sedemikian rupa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Ka Rose 🌹
ceritanya menarik lanjut thor
2022-03-26
0
Ka Rose 🌹
saking frustasi dan emosi dante lupa klau masih punya ibu😂😂
2022-03-26
0
Noktafia Diana Citra
next kak 😉
2022-03-15
1