"Bangs*t! Bajing*n! Bank*! Semua wanita memang sama!"
Seorang pemuda berusia 22 tahun tengah mengumpat penuh kemarahan. Ia memukul pintu hotel dengan kuat, lantas menendang vas bunga yang tak bersalah. Pemuda bernama Dante itu baru saja memergoki kekasihnya tengah memadu kasih bersama pria paruh baya di sebuah kamar hotel, dan itu membuat jiwa kelelakiannya benar-benar terguncang.
Sesaat kemudian, pintu terdengar dibuka dari dalam dan sesosok tubuh tambun dengan tatapan garang keluar dari sana.
"Woy! Ngapain lo mukul pintu kamar gue!"
Dante yang saat itu sudah beranjak dua langkah langsung berbalik badan begitu mendengar seruan. Wajahnya masih tampak marah. Namun, begitu melihat pria berbadan besar tengah berkacak pinggang sambil menatapnya penuh ancaman, nyalinya pun menciut seketika. Ia menyadari kesalahannya. Memukul pintu kamar orang tanpa pikir panjang, malah berteriak-teriak seperti orang gila pula. Terang saja, ulahnya itu sudah mengganggu kenyamanan.
"Maaf, Bang, maaf." Dante tersenyum kecut sambil menangkupkan kedua tangannya. "Tadi saya lihat ada nyamuk di pintu Abang, makanya saya tendang."
"Alasan!"
"Swear, Bang. Beneran." Dante mengacungkan dua jarinya.
"Mau baku hantam sama gue? Sini maju!" tantang si pria tambun itu sambil menepuk dadanya yang berbulu lebat dengan kuat. Sontak saja Dante membelalak.
"Kagak Bang! Sumpah! Aye pergi dulu, ya. Udah ditungguin Emak di rumah." Tanpa pikir panjang, Dante langsung berlari tanpa nengok ke belakang lagi. Meski samar-samar, telinganya masih bisa mendengar pria itu berteriak.
"Woy, jangan kabur, Lo!"
"Terserah." Dante menggeram di tengah napasnya yang tersengal. Ia terus berlari menyusuri lorong sepi itu.
Sesaat kemudian ....
Bruk!
"Aoow!"
Dante melihat sendiri seorang gadis tengah memekik kesakitan. Sebelumnya gadis itu terpental dan limbung di lantai usai bertabrakan dengan dia. Kini ia hanya terbengong memperhatikan gadis cantik yang tengah meringis sambil meniup telapak tangannya itu.
"Woy, Bang! Kalau jalan pake mata, dong!" Gadis yang rupanya adalah Alisha itu tiba-tiba membentak dengan suara lantang sambil menatap Dante dengan tajam.
Terang saja Dante membelalak. Gadis cantik yang terlihat imut begitu ternyata punya perangai galak. Dan bentakan si gadis barusan telah sukses memantik kembali api kemarahannya.
"Hey, di mana-mana jalan tuh pake kaki. Bukan pake mata. Mikir!" bentak Dante sambil menunjuk pelipisnya sebelah kiri, sedangkan posisi tubuhnya setengah membungkuk dan condong ke arah si gadis yang masih terduduk itu.
"Orang dianya sendiri yang nggak hati-hati, pake nyalahin orang lain. Vangke, emang!"
"Siapa yang vangke?" sungut Alisha penuh kemarahan setelah mendengar gerutuan Dante.
"Lo! Elo tuh yang vangke!" Telunjuk Dante mengarah pada wajah Alisha. "Apa? Mau marah? Sini baku hantam sama gue!" Dante menirukan gaya pria tambun tadi.
"Dasar banci," celetuk Alisha yang membuat kemarahan Dante kian memuncak.
"Siapa yang banci!"
Alisha mendengkus. "Pikir aja sendiri. Mana ada cowok nantangin cewek baku hantam kalau bukan banci namanya!"
"Lo ngatain gue banci! Sialan." Dante mengumpat.
Alih-alih menanggapi kemarahan Dante, Alisha memilih mengembuskan napas dalam demi menghalau kemarahan. Ia tak berniat membalas atau pun menimpali, sebab ada hal yang lebih penting dari ini. Dari pada menanggapi orang gila, ia memilih memunguti uangnya yang tergeletak di lantai karena insiden jatuhnya tadi.
Secara langsung, mata Dante mengarah pada tangan Alisha yang tengah sibuk memasukkan uang ke dalam sebuah tas. Lobus frontalnya bekerja cepat memikirkan sesuatu hal.
"Dasar. Semua wanita memang sama!" sindirnya dengan maksud tersirat.
Alisha yang tak mengerti maksud Dante apa hanya bisa menatap pemuda itu dengan alis bertaut heran. Setelah selesai dengan kegiatannya, ia segera bangkit dan beranjak terburu-buru dari sana tanpa sepatah kata. Tak ia pedulikan tatapan jijik dari mata pria asing yang baru ditemuinya beberapa saat lalu itu.
***
"Ibu. Kita siap-siap sekarang. Kita ke rumah sakit, ya. Ibu harus dirawat dengan baik di sana."
Alisha yang baru pulang langsung menghampiri ibunya di kamar. Gadis itu segera mengambil sebuah tas, membuka lemari pakaian, lantas memasukkan beberapa lembar baju ke dalamnya.
Di atas ranjang, wanita yang tengah tergolek lemah itu hanya bisa memperhatikan setiap pergerakan putrinya dengan ekspresi kebingungan. Gadis itu baru datang, tapi sudah membuat kegaduhan.
"Alish, ada apa ini, Nak?" tanya Wanda dengan nada lemah. Wanita berwajah pucat itu berusaha bangkit dari baringnya.
Alisha yang tengah berkemas segera menyudahi kegiatannya dan berhambur memeluk sang ibu.
"Bu, kita ke rumah sakit, ya. Ibu harus segera dioperasi seperti saran dokter. Ibu tak perlu pikirkan biaya lagi. Alisha sudah mendapatkan uang untuk operasi Ibu."
Melihat keinginan menggebu-gebu putrinya, secara langsung membuat Wanda curiga. Wanita itu baru menyadari pakaian yang putrinya kenakan. Rok pendek berpadu dengan atasan model terbuka. Dan tadi dia bilang apa? Uang? Operasi? Alisha sudah mendapatkan uang untuk operasi dia yang jumlahnya tidak sedikit itu?
"Ibu, lihat ini." Alisha menunjukkan tasnya yang kini berisi uang banyak.
Wanda sontak membelalak. Menggabungkan kejanggalan yang dilihatnya, secara cepat otak Wanda bekerja dengan nalar. Terang saja ia langsung memikirkan jika Alisha baru saja melakukan hal yang tidak benar. Dengan tatapan sedih dan penuh curiga, ia pun dengan geram bertanya pada putrinya.
"Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Alisha! Katakan pada Ibu!" Wanda mendesak Alisha dan mengguncang bahu putrinya. Aura kemarahan langsung menguar. Ia menatap putrinya dengan tajam. Namun, ada kaca-kaca pada kedua netranya yang bisa pecah kapan saja.
"Ibu tak pernah mengajarkan hal buruk padamu, Nak," kata Wanda lagi sebab Alisha hanya bergeming. "Kita memang miskin. Tapi pantang untuk jual diri. Dari pada berobat menggunakan uang haram itu, lebih baik ibu mati!"
"Ibu, dengarkan Alisha dulu." Alisha mengusap pipi Wanda dengan ibu jarinya. "Alisha tak seburuk itu. Alisha selalu mengingat kata-kata ibu," terangnya.
"Lalu ini apa? Ini apa!" ulang Wanda penuh penekanan sambil menunjuk uang dan pakaian yang dikenakan Alisha. "Kau pasti menjual diri. Kau pikir Ibu mau menggunakan uang haram itu!"
Wanda tergugu pilu. Memang salahnya membawa Alisha hidup di lingkungan tidak sehat, yang rata-rata penduduknya berprofesi sebagai PSK. Namun, ia tak pernah berhenti menasehati sang putri agar tak terjerumus seperti mereka, lantas apa yang terjadi sekarang? Alisha telah membuatnya kecewa.
"Ibu, lihat mata Alisha." Alisha menangkub wajah basah sang ibu, memaksa wanita itu untuk melihat kejujuran di matanya.
Wanda yang lemah tak bisa berbuat banyak. Ia akhirnya memandang netra bening putrinya yang kini beriak. Mata yang selalu berkilau dan membuatnya bangga itu kini menunjukkan kesedihan.
"Ibu percaya pada Alisha, kan?" lirih Alisha di sela isaknya.
Wanda mengangguk. Sesungguhnya ia memang percaya, sebab selama ini sang putri tak pernah membuatnya kecewa. Sejujurnya ia hanya bersedih. Sejak dalam kandungan hingga sekarang, Alisha tak pernah mengenyam kebahagiaan.
"Bu, Alisha memang telah menjual sesuatu hal, tapi bukanlah kesucian." Alisha tersenyum. Ia menganggukkan kepala untuk meyakinkan ibu kandungnya.
"Lalu?" tanya Wanda penasaran.
"Pengorbanan. Pria itu membayar mahal pengorbanan Alisha."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
veraazuera( ig Veraazuera)
masih maraton aku bacanya
2022-03-15
1
Noktafia Diana Citra
keren, lanjut ah 😍
2022-03-15
1
Rey
memantau dan ternyata ceritanya sukaaa
2022-03-15
1