Waktu berlalu begitu cepat sejak Dante tersentuh oleh sifat mulia yang dimiliki oleh Alisha. Semakin lama, keduanya semakin intens menjalin pertemuan. Entah itu untuk urusan pengiriman kue atau hanya pertemuan biasa.
Seperti hari ini, Dante yang hanya mengenakan kaus oblong warna putih berpadu celana jeans panjang warna hitam sudah berada di depan pintu kontrakan Alisha dan tengah mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam," jawab Wanda yang kala itu berada di ruang tamu. Wanita itu tersenyum menyambut kedatangan Dante.
"Pagi, Bibi," sapa Dante seraya berjalan menghampiri.
"Pagi juga, Dante," balas Wanda. Setelahnya, wanita itu melontarkan tanya pada si pemuda lantaran kedatangannya yang terlalu awal. "Mau antar kue, ya? Tapi sepertinya belum matang, tuh. Kuenya saja baru dipanggang sama Alisha."
"Nggak kok, Tante. Saya sengaja datang awal biar bisa bantuin Alisha bikin kue. Kebetulan saya lagi sepi orderan hari ini," jelas Dante ramah diiringi senyuman tipis.
"Memangnya bisa bikin kue?" celetuk seseorang dari arah pintu tengah.
Dante dan Wanda kompak menoleh ke sumber suara, di mana Alisha yang menyahuti percakapan mereka tengah berdiri sambil bersedekap dada dengan senyum menyangsikan.
"Jelas bisa, lah. Tinggal bikin adonan, habis itu dipanggang," sahut Dante penuh keyakinan.
Alisha mengulum senyum. "Kalau gitu sini buktikan! Jangan ngomong doang."
"Oke! Siapa takut!" balas Dante dengan begitu percaya diri. Setelahnya, ia mengangguk sopan pada Wanda seolah-olah meminta izin, sedangkan Wanda langsung mengurai senyuman pertanda ia tak keberatan.
Tanpa ragu Dante membuntuti Alisha berjalan ke dapur. Di sana sudah terdapat amunisi membuat kue lengkap dengan harum semerbak dari kue yang tengah Alisha panggang.
Melihat Dante yang begitu bersemangat, Alisha pun melontarkan pertanyaan bernada memastikan.
"Yakin mau bantuin?"
"Yakin, lah!" balas Dante mantap. Ia bergantian menatap bahan-bahan Alisha kue di depannya itu dengan antusias selagi bertanya. "Jadi pertama-tama aku harus bantuin apa?"
Alisha tersenyum tipis, lalu manggut-manggut melihat keseriusan Dante. Ia lantas mengambil beberapa bungkus mentega, lalu memberikannya kepada Dante.
"Tolong cairkan ini ya. Tuh, wajannya udah siap di sana." Tangan Alisha menunjuk pada kompor yang di atasnya sudah terdapat wajan berukuran sedang.
Dante mengikuti arah telunjuk Alisha lalu mengangguk setelah paham. "Oke." Ia lantas mendekat ke arah kompor yang sengaja di letakkan di lantai keramik itu tanpa alas meja.
Jujur, terjun ke dapur seperti ini adalah kali pertama untuk Dante. Selama hidup sendiri ia hanya makan makanan yang langsung dibeli. Alat masak saja tidak ia miliki.
"Al," panggil Dante setelah beberapa saat terdiam di depan kompor.
"Apa?" tanya Alisha yang langsung mengalihkan pandangannya pada Dante dari cetakan kue.
"Ini cara nyalain kompornya gimana?" tanya Dante dengan polosnya.
Alisha tercengang. "Kamu nggak bisa nyalain kompor?"
"Hehehe, enggak," jawab Dante sambil nyengir.
Alisha terkekeh. "Ya ampun Dante. Dari tadi kamu diam di situ, sambil ngelihatin kompor jadul ibu aku, itu aku kira lagi terpesona, loh. Eh ternyata nggak bisa nyalainnya, toh. Astaga."
Dante hanya mendengkus lirih menimpali Alisha yang menertawainya. Selanjutnya ia sedikit menepi, memberi tempat pada Alisha untuk menyalakan kompor gas usang dua mata dengan tabung gas melon tiga kilogram itu sebagai sumber energinya.
"Caranya gini, loh." Alisha sengaja mengajari Dante agar pemuda itu bisa. Ia menekan tuas dan memutarnya ke kiri dengan sedikit tekanan.
Ctak!
Mata Dante membelalak melihat api yang menyala, tetapi sesaat kemudian tawa bodoh meluncur dari bibirnya. "Owalah gitu, toh. Ternyata gampang ya! Di tekan, terus diputer ke kiri doang. Pantesan pas aku hipnotis tadi gak mau nyala."
"Edan. Kompor kok dihipnotis," celetuk Alisha sambil menaikkan salah satu sudut bibirnya.
"Ya, kali aja mau nyala, Al."
"Ya mana bisa, Bambang!"
Lagi-lagi Dante tertawa. Ia bahkan tidak tersinggung saat Alisha memanggilnya Bambang.
"Ini terus gimana?"
"Masukkan menteganya."
"Oke-oke." Saking bersemangatnya, Dante nyaris memasukkan empat bungkus mentega itu ke atas wajan panas sebelum Alisha menahannya.
"Jangan sama bungkusnya juga! Dibuka dulu, Bambang!" Alisha menatap Dante dengan wajah kesal, sedangkan Dante malah pasang muka menjengkelkan.
"Lah, ngomong dong yang jelas. Tadi katanya suruh masukkan, ya mau aku masukkan, lah!"
"Isinya yang dimasukkan, Dante!" ralat Alisha, lalu bergerak cekatan membantu Dante membukakan bungkusnya.
Sambil melakukan itu Alisha sejenak memperhatikan Dante di sampingnya. Pemuda ini katanya orang kampung yang merantau, tapi dari rupa dan style-nya sama sekali tak menunjukkan orang susah. Tapi di sisi lain, dari kehidupan sehari-harinya sekarang, Dante terlihat begitu sederhana. Makan seadanya. Bahkan menghargai berapa pun nominal uang yang dia terima.
Alisha mengernyit heran. Pemuda ini membuatnya penasaran.
"Dan, memang sebelumnya kamu nggak pernah masak sendiri? Nggak pernah bikin telur ceplok sendiri atau sekadar rebus mi instan gitu?" tanya Alisha, merujuk pada ketidakbisaan Dante menyalakan kompor.
"Nggak pernah, Al," jawab Dante cepat. "Boro-boro nyentuh kompor, masuk dapur aja nggak pernah. Mama udah siapin apa pun kebutuhan aku, Al. Pembantu di rumah juga udah siapin makanan yang enak-enak. Tapi aku malah sering makan di luar."
"Pembantu?" tanya Alisha sambil memicingkan matanya yang seketika membuat Dante tersadar hingga membungkam mulutnya dengan telapak tangan.
Sial. Gue kelepasan, batin Dante menyesal. Ia menatap Alisha yang seperti tengah menyelidikinya. Untuk sejenak ia bingung harus bagaimana. Ia tidak ingin keramahan Alisha terhadapnya akan berubah dengan mengatakan dirinya anak orang kaya. Ia sudah merasa nyaman dengan dirinya yang sekarang. Hidup mandiri dan berteman baik dengan Alisha, gadis yang sangat tulus menerima dirinya.
"Hahaha, apaan sih, Al! Gitu aja kamu percaya." Dante tergelak. Ia sengaja bersikap seperti itu, tertawa penuh kemenangan seolah-olah sukses mengerjai Alisha.
Sepertinya usaha Dante mengelabui Alisha itu berhasil. Alisha pasang wajah kesal lalu memukul lengan Dante bertubi-tubi.
"Dasar! Suka banget sih, ngerjain orang!"
"Biar!" timpal Dante. "Soalnya aku suka banget lihat wajah kamu pas lagi bengong. Lucu. Kelihatan bodoh, gitu, hahaha! Ya walaupun, aslinya bodoh juga," goda Dante sambil tertawa.
"Sialan." Alisha mendengkus kesal.
"Alisha-Alisha. Mungkin kamu penasaran kenapa aku nggak bisa nyalain kompor gas, kan?"
Sambil mengaduk-aduk mentega yang dipanaskan, Dante melirik Alisha yang membuang muka lantaran kesal. Kemudian, ia melanjutkan lagi aksi mengelabuinya.
"Kamu kan tau keluarga aku tinggal di kampung. Kami itu orang susah, Al. Nggak punya kompor gas. Masak masih pakai tungku dan kayu bakar. Aku nggak pernah rebus mie instan ataupun ceplok telur sendirian. Ibuku selalu bikin dadar telur dan dibagi-bagi buat lima anaknya. Biar apa? Biar adil, Al."
Mata Alisha membeliak. Penjelasan Dante barusan membuatnya membayangkan bagaimana susahnya kehidupan keluarga Dante di kampung. Pemuda itu adalah sulung dari lima bersaudara. Mereka harus berbagi makan yang seadanya. Sementara sang ibu harus berusaha adil saat membagi jatah makan dan juga kasih sayang.
Ah, Alisha kembali dibuat terenyuh oleh Dante. Walaupun dirinya sendiri orang susah, tetapi ia merasa lebih beruntung dari Dante.
Dante sendiri menangkap dengan jelas bagaimana perubahan air muka Alisha yang begitu drastis dalam satu waktu. Semula gadis itu tampak kesal. Namun, selanjutnya gadis itu mengharu biru setelah mendengar ceritanya. begitu kah wanita? Mudah sekali berubah suasana hatinya?
Tiba-tiba tangan kanan Alisha terulur untuk menyentuh bahu Dante. Sambil menepuk-nepuk di bagian sana pelan, ia pun berkata, "Sabar ya, Dan. Aku yakin kamu bisa mengangkat derajat keluarga kamu."
Demi apa pun, kata-kata tulus Alisha itu sukses menghangatkan seluruh jiwa Dante. Ia merasa tersentuh sekaligus tersanjung. Pemuda itu bahkan nyaris menitikkan air mata. Entah sejak kapan dirinya yang cool itu mendadak jadi mellow. Ia yakin, Alisha lah penyebabnya. Gadis itu telah lancang menyentuh hatinya tanpa Alisha sendiri menyadarinya. Karena Alisha sangat tulus terhadapnya.
Tak ingin terjebak dalam situasi mengharu biru terlalu dalam, Dante memilih mengganti topik pembicaraan.
"Al, kamu tau nggak, wajan dan mentega ini seperti kita."
"Maksudnya?" tanya Alisha tak mengerti.
"Iya." Dante meyakinkan. "Aku seperti mentega, dan kamu seperti wajan panasnya."
Sontak mata Alisha mengarah pada wajan hitam milik ibunya. Seketika itu juga ia melirik kesal pada Dante di sampingnya.
Yang benar saja, Dante menyamakan wajah cantiknya dengan wajan gosong milik ibunya. Bukankah ini penghinaan?
"Maksudnya apaan?" tanya Alisha marah.
"Jangan tersinggung dulu." Dante yang paham betul perasaan Alisha berusaha menenangkan dan tersenyum manis. "Kenapa aku bilang aku seperti mentega dan kamu wajan panasnya?"
Alisha masih bergeming, menunggu Dante menjelaskan maksudnya apa.
"Karena ...," lanjut Dante. "Aku selalu meleleh setiap kali deketan sama kamu. Lihat senyum kamu."
Sontak saja mata Alisha membulat sempurna. Entah sadar atau tidak, wajah gadis itu merona dan senyum indah merekah sempurna. Namun, lantaran tak ingin bawa perasaan, buru-buru ia menutupi perasaan dengan menyebikkan bibir dan membalas kata-kata Dante.
"Heleh, gombal amoh."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Lp.Ww
dante sedang modus nie........😉😉😉😉😉
2022-03-26
0