Entah demi apa Dante begitu bersemangat mengantarkan paket Alisha. Ia buru-buru kembali setelah menyelesaikan pekerjaan.
Lagi-lagi Alisha menyambut Dante dengan senyuman ketika pemuda itu datang. Dante sendiri tampak tersenyum tipis selagi berjalan mendekat ke arah Alisha yang berdiri di ambang pintu.
"Udah diantar ya? Ibunya ada?" Alisha memberondong Dante dengan pertanyaan. Namun, belum sempat pemuda itu menjawabnya, Alisha sudah lebih dulu mengganti topik pembicaraan.
"Ya ampun Dante. Kamu buru-buru banget pas ngantarnya? Sampai keringatan gitu, loh." Tanpa sungkan Alisha mendekati Dante dan mengusap kening pemuda yang berembun itu menggunakan telempapnya.
Sebuah perhatian sederhana. Namun, rasanya luar biasa. Meski awalnya terkejut, akan tetapi pada akhirnya bibir Dante mengukir senyum. Tak bisa dipungkiri, ada yang menghangat di dalam hatinya.
"Kamu pasti haus. Bentar, aku ambilkan minum dulu, ya," ujar Alisha lalu beranjak begitu saja ke dalam.
"Al, nggak usah repot-repot!" sergah Dante. Namun, gadis itu mengabaikan perkataan Dante.
"Nggak kerepotan kok, Dan. Cuma air putih doang," ujar Alisha saat gadis itu kembali. Gadis itu lantas menyodorkan segelas penuh air putih ke arah Dante. "Nih diminum. Tapi jangan sambil berdiri."
Mengulas senyum, Dante pun patuh mengikuti perkataan Alisha. Ia menempati sebuah sofa usang yang berada di ruang tamu kontrakan Alisha.
"Makasih," ucap Dante, merujuk pada air yang diberikan Alisha. Kemudian meneguk air dari gelas kaca bening itu hingga menyisakan sepertiga bagian.
Alisha menyusul duduk di samping Dante. Menatap pria itu dengan ramah, ia kemudian melontarkan sebuah pertanyaan dengan nada mengingatkan.
"Tadi katanya mau ngomong, ya? Mau ngomong apa?"
Dante tercenung mendengar pertanyaan Alisha. Ia menatap gadis itu sesaat sebelum kemudian mengerjapkan mata dan mengalihkan pandangannya.
"Dante?" Alisha mengerutkan keningnya. Entah itu fakta atau hanya perasaanya saja, Dante terlihat bingung menanggapi pertanyaannya. "Jadi ngomong, nggak? Ada sesuatu yang penting?"
"Ah, enggak kok. Sebenarnya tadi ada sesuatu yang mau gue tanyakan. Tapi nggak jadi sebab itu bukanlah hal penting. Lupain aja ya. Hehehe." Dante nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Nyatanya, bukan perkara gampang untuk meyakinkan Alisha. Gadis itu menyipitkan mata selagi menatapnya.
"Yakin? Beneran bukan hal penting?"
"Yakin." Dante mengangguk mantap.
"Beneran?" desak Alisha lagi.
"Beneran, Al." Dante meyakinkan. "Tadinya gue mau nanya tentang kontrakan yang lebih murah dari yang lagi gue tempati. Tapi setelah mikir-mikir lagi, gue jadi berubah pikiran." Terpaksa ia berbohong demi membungkam mulut Alisha agar tidak lagi bertanya-tanya.
"Kasihan kamu Dante. Kamu keberatan bayar bulanannya, ya?" Nada prihatin terdengar jelas dari kata-kata Alisha. Gadis itu kini menatap iba pada pemuda di sampingnya. "Kalau aja kamu itu cewek, Dan. Aku dan ibu pasti akan meminta kamu untuk tinggal bersama kami. Kamu nggak perlu bayar kontrakan lagi. Jadi bisa kumpulin uang buat mudik."
Demi apa pun, Dante menyesal telah membohongi Alisha. Lebih-lebih lagi sempat terbesit di benaknya untuk memanfaatkan gadis itu. Ah, Dante jadi malu. Apa kata Yang Maha Kuasa nantinya, jika ketulusan Alisha ia balas dengan memanfaatkan gadis itu. Untung saja ia masih bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya sejak tadi. Kalau tidak, ia benar-benar tak punya harga diri.
"Al, lo itu baik banget sih? Gue tau lo juga orang susah, tapi kenapa masih mau bantuin gue dengan ikhlas?" tanya Dante kagum sekaligus heran.
"Dante, Dante." Alisha justru terkekeh. "Membantu sesama itu nggak harus nunggu kaya."
Jawaban sederhana tapi mampu menyentil hati Dante. Tiba-tiba muncul beragam tanya di benaknya. Kapan dia pernah membantu sesama yang kesusahan? Kapan ia pernah meringankan beban orang lain? Saat banyak uang, yang ia tahu hanya ingin menghabiskan. Foya-foya dan membeli sesuatu yang tidak penting.
Kini Dante baru merasakan, mungkin yang bagi kita tidak berharga, tetapi bagi orang lain itu sangat bermakna. Ya Tuhan, ia telah menyiakan nikmat yang telah Tuhan berikan.
"Oh iya, Dan. Asal kamu dari mana, sih? Niat kamu merantau ke kota juga buat apa? Nggak mungkin, kan, jauh-jauh datang kota cuma pengen jadi tukang ojek aja?"
Dante tergemap. Ia tertegun mendengar pertanyaan polos yang Alisha lontarkan. Sebuah pertanyaan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Benar juga. Asal-usul seseorang akan selalu jadi pertanyaan. Tak jarang latar belakang seseorang menjadi pertimbangan dalam sebuah hubungan. Entah itu teman, atau bahkan lacar.
Haruskah ia jujur?
Atau lanjut bohong saja?
Bingung. Sebenarnya Alisha tak perlu tahu latar belakangnya. Namun, gadis itu terlalu baik untuk dibohongi berkali-kali.
"A-aku berasal dari desa, Al. Aku sengaja merantau agar bisa mengubah perekonomian keluarga. Adik aku banyak. Sedangkan orang tuaku hanya seorang petani."
Jujur, Dante ingin sekali menampol bibirnya sendiri. Entah siapa yang memerintah bibir bodoh ini untuk berbohong lagi. Ingin meralat ucapan, sayangnya Alisha sudah terlanjur percaya.
"Dari desa, Dan? Yang ada sawahnya gitu?" tanya Alisha begitu antusias. Terpaksa, Dante mengangguk mengiyakan. "Wowww. Berarti udaranya seger dan pemandangannya hijau dong?"
Dante mengangguk lagi.
"Kapan-kapan pas mudik aku ikut ya, Dan. Aku pengen lihat sawah."
Dante sontak membelalak. Ia menatap Alisha yang mengiba itu dengan tatapan tak percaya. Namun, Alisha malah berpikir dirinya merasa keberatan diikuti.
"Dante plis ... ajak aku ya." Kini Alisha malah menangkupkan kedua tangannya. Memohon tepatnya.
Mau tak mau, Dante terpaksa berbohong lagi.
"Pasti gue ajak lo, Al. Tapi nanti ya. Masih lama. Gue cari ongkos dulu buat mudik."
"Jangan lama-lama, ya Dan. Kalau kamu mau, aku ada sedikit tabungan yang sebenarnya pengen aku pakai untuk membuat kedai kue. Tapi itu bisa kita pakai dulu kok, Dan. Nanti bisa cari lagi dan kumpulin lagi."
Dante menatap mata Alisha untuk menyelami ketulusan gadis itu dari sana. Tepat saat itu Alisha tengah mengangguk meyakinkan. Senyum tulusnya juga mengembang. Hati mana yang tidak akan tersentuh karenanya?
Astaga, Dante semakin merasa kerdil di hadapan Alisha. Ia yang terlahir dengan harta berlimpah merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan Alisha yang tak berpunya.
Gadis yang selama ini ia pandang buruk itu ternyata memiliki hati yang sangat mulia. Andai saja Alisha tidak pernah menjadi wanita ****** ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Lp.Ww
dante yg di otakmu buruk terus hah, pusing....
2022-03-24
1