Tanpa pikir panjang, Alisha mengangguk mengiyakan permintaan Narendra. Gadis itu tanpa segan masuk mobil dan duduk di depan di samping Narendra yang mengemudikan mobilnya sendiri.
"Tuan sengaja nyariin saya?" tanya Alisha memastikan. Ia menatap heran pada Narendra yang mulai menjalankan mobilnya.
"Enggak sih. Pas Om lewat, nggak sengaja lihat kamu di pinggir jalan. Oh ya, apa rumah kamu di sekitar sini?" tanya Narendra sambil menatap wajah Alisha sekilas. Selanjutnya ia kembali fokus menatap jalan yang ramai dilewati kendaraan.
"Iya, Tuan. Tapi masih masuk gang beberapa meter."
Narendra mengangguk paham.
"Memangnya Om mau aku temani ke mana?" tanya Alisha lagi. Jujur, ia perlu memastikan ke mana pria penolong ibunya itu akan membawa dia. Alisha memenuhi permintaan Narendra hanya sebagai bentuk rasa terima kasih atas budi baik Narendra terhadapnya waktu itu dan bukan karena hal lain. Lagi pula, walaupun pria hidung belang, tapi ia bisa menilai jika Narendra itu adalah orang yang baik.
"Kemana aja sih. Om cuma butuh teman ngobrol sebentar. Emm, ke kafe deket-deket sini aja kali, ya."
Mata Alisha membeliak. Sontak telunjuknya menuding ke arah depan, tepat di kafe yang tadi ia kunjungi bersama Lara.
"Di depan ada kafe, Tuan. Suasana enak kok di sana."
"Oh ya?" Narendra menimpali dengan antusias. "Tahu banget kamu, ya?"
"Hehehe, nggak juga, Om. Soalnya baru tadi aku ke sana."
"Owh, baru ngafe juga?"
"Hehe, iya. Ada temen yang lagi curhat."
Narendra menatap Alisha seperti tak percaya. Namun, sedetik kemudian pria itu tersenyum penuh kekaguman.
"Wah, kalau gitu Om nggak salah pilih orang buat temen curhat. Kalau teman-teman kamu aja nyaman curhat sama kamu, berarti kamu orangnya asyik ya."
"Ah, padahal nggak juga, sih. Nggak tau juga kenapa mereka suka curhat."
"Mungkin karena kamu itu bisa menjaga rahasia dan bisa kasih solusi buat mereka," sahut Narendra dengan nada pujian. Ia tahu, gadis di sampingnya memang suka sekali merendah.
Tersenyum kecut, Alisha menggeleng samar sebagai bentuk sangkalan. "Ah, Tuan Narendra berlebihan."
"Jangan panggil Tuan," sahut Narendra yang membuat Alisha balik menatapnya. "Panggil Om saja. Itu lebih enak. Kamu tau, anak Om seusia kamu, loh."
"Oh ya?" Alisha mengangkat alisnya. Ia menatap Narendra begitu antusias.
"Iya. Dia juga cewek. Tapi sayang–"
"Kenapa, Om?" Lagi-lagi Alisha dibuat penasaran.
"Sifat dia berbanding terbalik dengan kamu." Narendra mengambil napas lalu mengembuskannya dengan berat. "Yah, Om sadar. Mungkin ini salah kami juga sebagai orang tua. Kami selalu memanjakan anak dengan harta yang berlimpah tanpa mengontrol bagaimana pergaulannya. Jadinya begitu, attitude-nya jadi kurang baik terhadap orang tua sendiri."
Alisha tergemap. Ia tak menyangka. Di balik kesempurnaan seorang Narendra, rupanya pria itu menyimpan pedih bagaimana peliknya kehidupan keluarganya. Hubungan terhadap istri, juga hubungannya yang buruk dengan sang putri.
***
"Gila."
Dante mengumpat pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak. Kini ia adalah pemuda menyedihkan yang bahkan tak memiliki uang untuk makan. Tapi bisa-bisanya ia mengabaikan rezeki yang datang dengan meng-cancel semua orderan yang datang. Dengan alasan apa? Dengan alasan yang sebenarnya nggak penting-penting amat, tetapi anehnya hal itu bikin ia tidak tenang.
Dante benar-benar gusar setelah melihat Alisha dua kali berganti pelanggan. Dengan Om-om tajir bermobil mewah pula.
Dante sampe geleng-geleng kepala karenanya. Gadis itu mendapatkan dua mangsa dalam satu waktu yang sangat singkat. Sudah sekuat itulah jaringannya?
Awalnya Dante berencana mengikuti mobil itu diam-diam. Namun, seketika dia tersadar. Memangnya siapa dia sampai harus membuntuti orang yang sedang berbuat dosa. Apa pedulinya juga?
Dante sudah berusaha tak acuh dengan tetap berdiam diri di sana dan pura-pura tak mau tahu. Namun, pada kenyataannya ia malah kelimpungan dan tak tenang. Otaknya terus saja memikirkan bagaimana kabar Alisha. Sedang di mana dia? Apa yang gadis itu lakukan? Telah tertutup kah mata hatinya mengenai dosa dan neraka?
Hampir satu jam Dante terbelenggu dalam kegalauan, hingga mobil hitam mengkilat yang tadi membawa Alisha kembali dan menurunkan gadis itu di tempat semula.
Alisha sepertinya tidak menyadari keberadaan Dante di sana. Gadis itu malah sibuk membungkukkan badan agar bisa lebih dekat bercengkrama dengan pengemudi mobil yang wajahnya tak terlihat oleh Dante. Hingga beberapa saat, akhirnya Alisha melambaikan tangannya, melepas kepergian mobil itu.
"Cie cie, yang udah dapat dua mangsa."
Alisha yang sudah beranjak beberapa langkah sontak berhenti mendengar suara itu. Suara pemuda yang kini sudah tak asing lagi bagi dia.
"Dante?" ucap Alisha tak percaya setelah berbalik badan dan mendapati sosok Dante tengah tersenyum remeh kepadanya.
"Kenapa? Kaget ya, kepergok lagi sama gue kalau lo lagi jual diri untuk yang kesekian kalinya?"
Seketika Alisha mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dadanya bergemuruh. Giginya menggemertak. Dan matanya berkaca-kaca. Sumpah demi apa pun, tuduhan yang Dante lontarkan sangat keji dan tidak benar. Entah harus dengan cara apa lagi ia harus menjelaskan.
Dante mungkin melihat dirinya masuk dan ikut dua mobil mewah bergantian. Ia sadar, bukan hanya Dante, tetapi siapa pun yang melihat itu pasti akan menarik kesimpulan yang sama bila tak tahu latar belakangnya. Namun, sebagai teman, tidak bisakah Dante sedikit menyaring kata-katanya? Bukankah sesama teman harus menjaga perasaan temannya. Bukankah lebih baik dipastikan dulu kebenarannya sebelum menghakimi seseorang?
Mungkin Dante mempunyai niatan baik. Tetapi cara yang salah dapat melukai perasaan seseorang. Lebih-lebih lagi kenyataannya tidak benar.
"Apa urusan kamu!" Hanya itu kalimat yang terlontar dari bibir Alisha. Ingin menjelaskan pun percuma. Dalam hati ia juga ingin menguji kepribadian pemuda itu. Jika memang serius berteman, ia bisa pastikan Dante tak akan pergi meninggalkannya meski ia bekerja sebagai kupu-kupu malam. Karena teman tetaplah teman meski seseorang memiliki kehidupan yang kelam.
"Yah, pakai nanya apa urusan gue." Dante mendengkus. "Woy, gue ini manusia! Lo juga manusia. Gue udah anggap lo sebagai teman. Salahnya di mana jika gue coba ngingetin lo supaya balik ke jalan yang benar?"
Dalam hati Alisha merasa tersentuh. Dante memang tipe teman yang begitu perhatian meskipun mereka baru mengenal. Andai saja pemuda itu tahu yang sebenarnya, mungkin mereka tidak akan pernah bersitegang seperti ini.
"Makasih. Tapi itu nggak perlu." Alisha berbalik badan hendak meninggalkan setelah sempat menimpali kata-kata Dante dengan jawaban asal.
Melihat sikap acuh tak acuh Alisha terang saja Dante jadi geram. Gadis itu benar-benar bebal dan sulit sekali diingatkan.
"Hey tunggu! Gue belum selesai ngomong!" Dante berjalan santai mendekati Alisha yang berdiri membelakanginya.
"Lo lupa, hidup di dunia itu cuma sementara?" tanyanya setelah berdiri di hadapan Alisha dan menatap gadis itu dengan lekat. "Semua yang kita lakukan itu ada ganjarannya! Lo mau setelah mati nanti masuk neraka?"
Mendengkus kesal, Alisha yang semula tak mau menatap Dante itu kini membalas tatapan si pemuda dengan intens.
"Memangnya apa sih bedanya surga dan neraka? Sama aja, kan? Sama-sama hidup."
Dante membelalak, sedangkan Alisha justru memutar bola mata malas.
"Bayangin aja. Seumur hidup kita di surga, nggak ngelakuin apa-apa, nggak ngerti mau apa. Itu selamanya, loh. Muak nggak sih?" Alisha tersenyum miring melihat ekspresi Dante yang melongo mendengar ungkapannya. Lalu kemudian, ia pun melanjutkan lagi dengan nada yang menjengkelkan.
"Mending juga di neraka. Di sana kita disiksa. Setidaknya ada tujuan hidup untuk kabur dari siksaan. Sedangkan di surga? Huh, manja amat, Men."
Dante terperangah, lalu kemudian menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Di muka bumi ini ada ya, cewek edan seperti Alisha.
"Dasar sesat. Perlu diruqyah ni bocah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments