Son Of God
Saat ku membuka mata, yang kulihat pertama kali adalah seorang wanita cantik berambut hitam panjang dan seorang pria tampan mengenakan kaus cokelat.
(Mungkinkah mereka orang tuaku?)
Pikiran itu muncul, namun yang lebih membuatku bertanya-tanya adalah...
(Siapakah kakek tua ini?)
Beliau tampak seorang pria tua bangsawan, dengan janggut putih panjang yang terurai anggun. Ibuku sepertinya tak menyadari kehadirannya.
Kakek itu melayang di udara, menatapku dengan tatapan tajam, lalu bergumam dengan suara berat dan tegas, "Selamat atas kelahiranmu."
Aku langsung bingung. Segera, firasat buruk muncul; kakek ini tampak berbahaya. Takut akan bahaya yang mengancam, aku menangis sekuat tenaga, berharap ibuku menyadari kondisiku.
"Oh, kau anak yang sangat energik," katanya. Namun, tangisku seakan tak sampai ke telinga ibuku.
Hatiku hancur. Diam-diam, aku memejamkan mata, memohon agar ia tak melahapku—baik direbus maupun dipanggang.
Namun, yang kudengar selanjutnya adalah tawa renyah kakek itu. "Fufu, jangan takut. Aku tak akan memaksamu."
……Benarkah?
"Memang benar. Namun, Dewa memiliki permintaan."
Aku pun mendengarkan.
"Buatlah kontrak denganku."
(Kontrak?)
"Oh, tenang saja. Ini bukan ikatan kontrak yang mengikat. Aku hanya akan memberikan kekuatanku padamu secara sukarela."
(Bisa kuminta secara gratis?)
"Oh, ya. Gratis. Sebagai imbalannya, kau akan memiliki masa depan yang sejahtera."
(Kalau begitu, aku mau.)
"Namaku Zeus. Yah, tak perlu disebut lagi."
Maka, aku membuat kontrak dengan kakek—Zeus.
Tak ada hal istimewa yang terjadi setelah kontrak itu. Yang aneh hanyalah ekspresi wajah Zeus yang tampak sangat sedih.
"Baiklah, ku serahkan sisanya padamu."
Setelah mengucapkan itu, Zeus menghilang dalam sekejap cahaya.
...----------------...
*Satu bulan berlalu
Sudah sepuluh bulan sejak saya dilahirkan, sejak saat itu aku tidak melihat kakek Zeus itu.
Orang tuaku sepertinya adalah pasangan muda karena mereka terlihat seperti berumur 20-an.
Kami bukan orang kaya yang memiliki harta berlimpah, kami hanya keluarga kecil yang tinggal di desa.
Aku tidak melihat adanya lampu seperti yang dipasang di luar rumah. cahaya rumah kami berasal dari lilin dan lentera.
Awalnya aku berpikir kalau kami keluarga yang cukup mampu karena ada seseorang yang mengenakan pakaian pelayan di rumah kami.
Tapi mungkin saja si pelayan adalah saudari salah satu orang tuaku. Adalah hal yang normal baginya, ikut membersihkan rumah.
...----------------...
*Setengah tahun berlalu.
Setelah mendengarkan percakapan orang tuaku selama setengah tahun terakhir ini, aku sudah mulai memahami berbagai hal sedikit demi sedikit.
Pada saat ini, aku bisa merangkak.
Mampu bergerak adalah hal yang indah.
Sebelumnya, aku tidak pernah merasa begitu bersyukur ketika bisa bergerak seperti ini.
”Dia akan lari ke tempat lain ketika mataku tidak mengawasinya.“
”Bukankah baik kalau dia bergerak dengan aktif? Dia bahkan hanya menangis sesaat, ketika lahir. “
”Dan sekarang, dia tidak menangis.“
Orang tuaku saling berdiskusi sembari melihatku merangkak kesana-kemari.
Bagaimanapun juga, pemikiranku saat ini bukanlah seperti bayi yang hanya bisa menangis ketika kelaparan.
Bagaimanapun, saya sudah dewasa sejak saya lahir.
Ini bukan tentang tubuh. Itu Rohnya.
Karena pertemuanku dengan kakek Zeus.
Meskipun aku hanya bisa merangkak, setelah aku melakukannya, aku mengerti banyak hal.
Pertama-tama adalah rumah ini tingkat dua, terbuat dari kayu, dan terdapat lebih dari lima ruangan. Mereka pun memperkerjakan seorang pelayan wanita.
Pada awalnya aku pikir bahwa pelayan wanita ini adalah bibiku atau semacamnya, tapi sikap hormatnya pada orang tuaku membuatnya tidak mirip seperti bagian keluarga.
Tempat ini adalah sebuah desa.
Dari pemandangan yang bisa kulihat lewat jendela, nampak suasana ladang yang tenang.
Ada beberapa rumah lain yang tersebar di sekitarnya, dan pada salah satu sisi ladang gandum, aku bisa melihat dua, atau tiga rumah tangga.
Seharian aku hanya mengelilingi rumahku dan pada siang hari aku naik ke untuk kursiku untuk melihat pemandangan ladang. Ketika aku melihat ke luar jendela, aku heran.
Ayah sedang berjongkok sambil memetik sesuatu di cuaca yang sangat panas ini.
(Apa yang dia lakukan di cuaca yang terik seperti ini?)
Dia berbalik dan mata kami bertemu, ia tersenyum segar kepadaku dan itu membuatku terkejut, aku pun terjatuh dari kursi.
Tanganku yang masih belum berkembang berhasil meraih kursi, tapi tidak dapat mendukung berat tubuhku, lantas kepalaku terjatuh ke lantai.
“Kyaa!“
Aku mendengar jeritan ketika tubuhku membentur lantai.
Ibu melihatku dan segera menjatuhkan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci, karena kedua tangannya dia sumpalkan ke mulut. Ibu pun melihatku dengan wajah pucat bagai mayat.
“Ren! Apakah kau baik-baik saja !?“
“Tuan muda!?”
Ibuku dan pelayan, bergegas menuju ke arahku dengan panik, lantas menggendongku.
Dengan tatapan lega, dia melihat mataku, lantas meletakkan tangan di dadanya.
”..... Fiuh, syukurlah kau tampaknya baik-baik saja.“
Jika dilihat dari seberapa cemas ekspresi di wajahnya, tampaknya aku jatuh dengan cara yang cukup berbahaya.
Mungkin saja aku bisa menjadi bodoh karena hantaman keras di kepala. Bukan berarti bahwa akan berbeda.
Ada rasa sakit yang berdenyut di belakang kepalaku. Paling tidak, kecepatan jatuhku berkurang saat aku berhasil meraih kursi tadi.
Karena reaksi ibuku tak terlampau panik, aku pun berasumsi bahwa darah tidak merembes dari kepalaku. Mungkin aku hanya mengalami pembengkakan.
Dengan hati-hati, ibu memeriksa kepalaku.
Ekspresinya seakan mengatakan, jika ada cedera, maka itu akan serius.
“Untuk amannya.”
Ibuku meletakkan kedua tangannya diatas kepalaku.
“Biarkan berkah dewa menyelimuti dan berikan mereka yang telah kehilangan kekuatan dapat berdiri lagi. [Healing].”
Tiba-tiba tangan ibuku memancarkan cahaya redup dan dalam sekejap rasa sakit menghilang.
Melihat itu membuatku kagum dan penasaran secara bersamaan. Meskipun aku sudah pernah melihat kilau saat kakek Zeus ingin pergi, namun aku sangat penasaran dengan rasa sakit yang tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Lihat, sekarang kau baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi?!”
Ayahku segera mendobrak pintu, ketika ia mendengar ibuku berteriak.
Wajahnya penuh keringat karena ia baru saja menanam.
“Dengarkan aku, sayang. Ren benar-benar naik di atas kursi ..... dan hampir mendapat luka parah.”
“Yahh, bagaimanapun juga, seorang anak lelaki harus suka bergerak dengan aktif.”
Ibu sedikit khawatir, dan ayah tidak menganggapnya sebagai hal yang serius, kemudian dia menenangkan ibu.
Tapi, ibuku masih saja bersikeras, mungkin karena bagian belakang kepalaku membentur lantai terlebih dahulu.
“Tunggu sebentar, sayang. Umur anak ini bahkan belum genap setahun. Tunjukkan sedikit rasa khawatirmu dong!”
“Meskipun begitu, anak laki-laki harus sering jatuh agar menjadi kuat. Dengan begitu, dia justru akan semakin sehat. Lagipula, walaupun dia cedera, bukankah kau hanya perlu menyembuhkannya?”
“Tapi aku benar-benar khawatir, aku terus berpikir bahwa dia mendapatkan luka berat, sehingga aku tidak mampu menyembuhkannya ......”
“Dia akan baik-baik saja.”
Ayahku mulai mengusap kepala ibu dengan lembut dan wajah ibu memerah.
Ayahku segera menghampiriku dan menatapku.
“Hei nak, apa kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk untuk menjawab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Tanata✨
terlalu plek ketiplek mushoku tensei ya? saranku sedikit dirubah saja beberapa kalimatnya, jangan terlalu sama banget, biarpun ceritanya berbeda.
2025-03-10
0
Kang Comen
aku pun tercengang aku pun heran
aku pun syok
2024-07-13
0
Kang Comen
anjenk ku kira pake bahsa Novel ternyata pke bahsa Komik.
2024-07-13
0