Butik itu cukup besar jika hanya disebut sebagai butik biasa. Mungkin lebih tepatnya mereka menyebutnya sebagai galeri di mana banyak designer terkenal menampilkan karya terbaik mereka, sekaligus tempat beradu kepiawaian dalam merancang sebuah busana.
Ada etalase besar yang di dalamnya terdapat beberapa manekin laki-laki dan perempuan yang mengenakan gaun indah serta jas berpotongan slim fit yang tampak gagah serta maskulin saat dipakaikan di manekin berkepala plontos itu.
Di bagian depan terdapat beberapa deretan baju wanita yang digantung pada gantungan baju, sementara di sisi-sisi tertentu terdapat manekin laki-laki dan perempuan berdiri dengan mengenakan out fit kekinian yang tentunya dibanderol dengan harga fantastis.
Azlina masuk ditemani Alvaro di sisinya yang langsung disambut oleh petugas butik dengan ramah. Sepertinya Tante Rani sudah menyiapkan kedatangan mereka hingga tanpa mengatakan apa pun, petugas butik sudah melayani mereka dengan baik.
"Mari, Nona, Tuan." Petugas itu mempersilakan Alvaro dan Azlina untuk duduk di salah satu sofa empuk yang berada di salah satu ruangan privat, di mana tiada orang satu pun di sana, baik itu petugas maupun pengunjung. Hanya ada cermin besar dengan dua bilik ruang ganti yang berada di sudut ruangan.
Azlina melihat-lihat sekeliling, memperhatikan dekorasi ruangan yang didominasi warna putih itu. Cita-citanya bisa memiliki tempat seperti ini dengan dirinya sebagai salah satu desainer yang akan memajang hasil karyanya di etalase besar seperti yang ada di depan tadi.
"Kak, untuk apa kita kemari?" Azlina yang sedari tadi tak bersuara kini mulai angkat bicara. Alvaro menoleh sekilas, mereka duduk di sofa panjang yang sama, pun dengan posisi mereka yang sama-sama bersandar di punggung sofa.
"Nyari bajulah. Memang mau ngapain lagi ke tempat seperti ini?"
"Ooh!" Azlina mengangguk-angguk kemudian. Senyap, tiada percakapan lagi di antara mereka. Hingga seorang petugas butik mendorong hanger beroda dengan beberapa sampel kebaya yang ternyata sebelumnya telah dipilihkan oleh Tante Rani.
"Silakan, Nona! Nyonya Rani telah memilihkan kebaya-kebaya ini untuk dicoba," ucap petugas itu dengan ramah.
Azlina menatap kebaya-kebaya itu, lalu beralih ke arah Alvaro. "Apakah harus dicoba semuanya?"
Dan pertanyaan itu dijawab Alvaro dengan anggukan kepala. Azlina hanya bisa mendengkus, menghela napas panjang. Tentunya dia pasti akan kerepotan dengan mencoba kebaya-kebaya itu.
Petugas itu membantu Azlina untuk mengenakan kebaya-kebaya yang sudah dipilihkan Mama Rani. Azlina masuk ke bilik ruang ganti dengan petugas menunggunya di luar. Mereka menutup tirai yang menjadi pembatas antara Alvaro dengan ruang ganti sehingga lelaki itu tak bisa melihat ke dalam.
Satu menit, dua menit, tiga menit. Ah, sepertinya butuh waktu lama untuk mencoba satu kebaya saja. Alvaro mengalihkan kebosanan dengan membaca berita bola di salah satu platform digital. Cukup serius lelaki itu melakukan kegiatannya diluhat dengan keningnya yang berkerut dalam. Sampai sebuah suara yang terdengar malu-malu tertangkap di indra pendengarannya, membuat Alvaro segera mengalihkan perhatiannya.
"Kak!"
Matanya mengedar ke arah sumber suara dan tampaklah di sana Azlina baru memunculkan diri dari balik tirai telah mengenakan kebaya modern dengan bawahan kain batik.
Sedetik kemudian, Alvaro tampak terpaku, terpesona dengan penampilan calon istrinya. Kebaya itu terlihat begitu pas di badan dengan warna nude yang terlihat anggun ketika dikenakan. Meskipun tanpa adanya riasan dengan rambut masih tergerai dan diarahkan ke bahu kanan, gadis itu tampak anggun dan memesona, apalagi saat ini Azlina sedang tersenyum ke arahnya. Akan tetapi, Alvaro buru-buru menggelengkan kepala, menyadarkan pikirannya akan ketertarikan dengan gadis yang masih bau kencur itu.
"Jelek!" Perkataan tak memiliki perasaan itu membuat senyum Azlina yang sempat terbit, redup seketika. Lelaki itu benar-benar menyebalkan. Azlina mengentakkan kaki, lalu masuk kembali ke dalam tirai itu.
Berulang kali Azlina harus bergonta-ganti kebaya yang memang terkesan ribet itu. Dia melakukannya hanya karena Alvaro merasa kurang cocok dengan tampilannya. Hingga saat ini adalah kebaya pilihan terakhir. Kebaya berwarna merah darah dengan potongan leher sedikit rendah, membuat Azlina tampak malu ketika mengenakannya.
Tangannya berusaha menutupi bagian atas potongan leher yang rendah itu, menghalau pandangan Alvaro yang mungkin akan memperhatikannya ketika dirinya keluar dari balik tirai. Dengan wajah lesu tanpa senyum, Azlina keluar dari tirai itu.
"Kak!"
Alvaro yang sedikit malas dan bosan menunggu mengalihkan perhatiannya ke arah Azlina. Dia terdiam, terkesiap dengan apa yang Azlina kenakan. Matanya enggan untuk berkedip, menikmati sosok di depannya yang tampak anggun dan ... menggoda. Sempurna, tetapi dia tak ingin mengakui itu.
"Jelek!"
Kata jelas, padat, dan singkat itu cukup terdengar menyakitkan, hingga Azlina sudah tak sabar lagi dengan perilaku Alvaro yang menyebalkan itu.
"Sudah, Kak. Aku lelah. Aku enggak mau nyoba-nyoba kebaya lagi." Wajah masam ditunjukkannya. Dia hendak berbalik, mengenakan seragam sekolahnya lagi. Akan tetapi, sepatu heels yang dia kenakan sebagai menunjang tampilannya itu sedikit tak bersahabat, sehingga dia hampir jatuh karena tak bisa mengimbangi langkahnya.
"Auuh!"
Alvaro segera beranjak dari duduknya, lalu buru-buru menangkap tubuh Azlina, menahan gadis itu agar tidak sampai terjatuh. Hingga jemari Azlina mencengkeram kuat di kemeja Alvaro, sebagai pertahanan terakhirnya supaya tak limbung dan terjatuh.
Wajah itu tampak gugup, merasakan posisinya saat ini. Rona merah jambu telah membias di pipi bersamaan degup jantung yang entah mengapa ikut berpacu tak terkendali. Mereka memang sempat begitu dekat, terutama di saat tertangkap basah telah tidur bersama. Namun, baik Azlina maupun Alvaro tak pernah sekalipun memandang lebih jeli wajah masing-masing.
Mata Azlina mengerjap, memandang wajah Alvaro yang begitu dekat dengannya. Hidung yang mancung, sorot mata tajam, dengan garis rahang tegas membingkai di sana. Kesan dewasa dan menawan telah tertangkap di indra pengelihatan Azlina.
Pun dengan Alvaro, dia tak bisa memalingkan pandangannya ke arah wajah Azlina. Mata bulat berbingkai bulu mata lentik dengan pipi sedikit chubby, bibir mungil dengan bagian bawah sedikit tebal yang memberikan kesan seksi jika diperhatikan lebih lama membuat Alvaro tak mampu mengalihkan perhatiannya dari bibir itu.
Dia menundukkan wajahnya, mengikis jarak wajah mereka dengan mata masih saling beradu pandang. Sorot mata Alvaro semakin meredup, lalu memejamkan mata. Dia semakin menunduk seolah-olah naluri kelaki-lakiannya tertarik untuk mencicipi bibir mungil nan menggoda itu, tetapi suara seorang petugas yang keluar dari balik tirai membuyarkan semuanya.
"Jadi Tuan, Nona, mana yang diambil? Oopps ...."
Melihat bagaimana posisi customernya saat ini, membuat petugas itu menyesal telah keluar dari balik tirai di waktu yang tidak tepat.
"Maaf, silakan lanjutkan!" Dia masuk lagi ke balik tirai. Tangannya ikut gemetar menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
Dua orang itu langsung gelagapan, tersadar dengan apa yang baru saja hampir mereka lakukan.
"Ehmmn." Azlina berdehem, membenarkan posisinya dengan melepaskan cengkeraman tangannya dari kemeja Alvaro. Pun dengan lelaki itu, segera menegakkan tubuhnya ketika Azlina sudah tak lagi berada dalam rengkuhannya.
Canggung.
Rasa canggung mulai melingkupi keduanya. Hingga Azlina meminta izin untuk segera berganti pakaian.
"Aku ... ganti baju dulu," ucapnya kemudian, seraya pergi meninggalkan Alvaro yang masih mengatur detak jantungnya agar normal kembali.
》》
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Bzaa
jgn merem var, ntar salah cium😉
2023-04-12
0
Sunarty Narty
kan kan masih blg tidak tergoda
2022-10-27
0
Alfie alkha
ak malu... ak maluuu
2022-01-08
0