Hampir dua puluh menit berlalu, mereka gunakan untuk bercengkrama. Azlina memang sangat dekat dengan Mbak Asri, bahkan panggilan Zizi adalah panggilan akrab yang diberikan Mbak Asri kepada Azlina. Hanya Alvaro yang duduk terdiam dalam kebisuan, melihat tingkah dua orang wanita menyebalkan di depannya. Dia seperti obat nyamuk yang tak dianggap keberadaannya, hingga dia memilih membuka ponsel untuk sekadar berselancar di dunia maya.
Sial, tak ada signal! Bagaimana manusia bisa hidup tanpa jaringan internet?
Alvaro akhirnya hanya duduk dengan memasang wajah dingin bercampur kesal, menunggu bunga edelweiss selesai disiapkan.
Hingga ketika Bang Apin telah datang dengan seikat bunga edelweiss segar dan basah karena air hujan, membuat dua orang wanita berbeda usia itu menghentikan pembicaraannya.
"Segini cukup tidak?" ucap Bang Apin seraya menunjukkan bunga yang berada dalam genggaman tangannya.
"Cukup, Bang. Sini biar aku yang lanjutin." Mbak Asri beranjak dari duduknya, mengambil alih bunga itu dari tangan Bang Apin. Sentuhan terakhir yang membuat bunga edelweiss siap dijadikan kado cantik untuk seorang terkasih.
...***...
"Terima kasih, Mbak Asri, Bang Apin. Bunganya sangat cantik." Azlina menunduk sopan sebelum berpamitan kepada kedua orang itu.
"Jangan sungkan kalau ada perlu. Kami senang kok membantu," ucap Mbak Asri dengan senyum khasnya.
"Kapan-kapan datang ke sini, Neng. Main yang lama sama kakak-kakaknya." Bang Apin ikut menimpali.
Mobil Alvaro segera meninggalkan area perkebunan itu setelah mereka selesai berbasa-basi dan berpamitan kepada sepasang suami istri itu. Hujan tampak lebih deras dari sebelumnya, terlihat dari air yang menghunjam kaca mobil depan. Dia menilik ke arah samping di mana Azlina duduk menyandarkan kepalanya di punggung jok mobil.
Gadis itu sudah terlelap, tetapi wajahnya terlihat sedikit pucat, membuat Alvaro segera menepikan mobil lantaran penasaran dengan apa yang terjadi terhadap Azlina.
Tangan Alvaro menyentuh kening gadis itu, dan hal itu membuatnya sedikit terkejut. Kening Azlina terasa panas membuat gadis itu sedari tadi tertidur tanpa suara. Mungkin, seharian hujan-hujanan ditambah dengan melakukan perjalanan jauh membuat tubuhnya terlalu lelah sehingga terserang demam.
"Hei, Bocil, bangun!" Alvaro menepuk-nepuk pipi Azlina hingga gadis itu mengerjab beberapa kali untuk menguraikan kesadarannya.
"Eh, Om. Udah sampai, ya?" tanya Azlina dengan polosnya.
"Belum. Badanmu demam, kita ke rumah sakit, ya?"
"Ah, apa?" Azlina menyentuh keningnya yang memang terasa panas. Pantas saja dia sejak tadi terasa menggigil kedinginan, padahal AC di dalam mobil sudah dimatikan. "Emm, enggak usah Om. Nyari apotek aja atau bisa nyari obat warung. Hanya demam biasa, pake obat warung juga sembuh."
"Ya udah. Kita cari apotek saja." Alvaro mencondongkan tubuhnya, meraih jaket yang berada di kursi belakang, lalu diserahkan kepada Azlina. "Pakai ini!"
Azlina menerimanya dengan ragu, seraya mengatakan, "Ini bersih kan, Om? Enggak bau?"
"Ish, anak ini. Enggak tahu diuntung banget!"
Azlina hanya menunjukkan deretan gigi-giginya yang manis dengan dua gigi kelinci yang tampak lucu memanjang paling depan.
Alvaro melajukan mobilnya lagi, mencari apotek atau warung yang masih buka meski hujan deras bersamaan angin kencang terus berkolaborasi tiada henti. Hingga dia berada di sebuah jalan yang telah dipadati penduduk, Alvaro menemukan sebuah warung rumahan yang tampak terbuka.
Dia menepikan mobil, lalu keluar menerobos hujan deras untuk mencari obat penurun demam di warung itu.
Azlina masih menunggu di dalam mobil. Ponselnya sudah mati sejak tadi. Pasti orang rumah akan bingung mencarinya karena dia belum sempat berpamitan ketika memutuskan untuk mengajak Alvaro pergi mencari bunga.
Hingga terlihat lelaki itu telah datang dengan basah kuyup membuka pintu mobil. Seketika hawa dingin ikut menyeruak di sekujur tubuh Azlina, membuat gadis itu bertambah menggigil.
"Ini minum obatnya," titah Alvaro seraya menyodorkan tablet berwarna kuning kepada Azlina.
Azlina memandang tablet itu, lalu beralih ke Alvaro tanpa ingin mengambilnya. Dia berkata kemudian. "Ada pisang, enggak, Om? Saya enggak bisa minum obat pake air." Dia meringis setelah mengucapkan itu.
"Oh, my God. Ya ampun, emang bener, ya, bawa bocil kayak kamu adanya nyusahin. Kenapa juga aku minta tolong sama kamu." Alvaro menepuk jidatnya ketika mengatakannya.
"Sabar, Om. Bukannya Om sudah berumur, ya. Harusnya Om bisa lebih bersabar. Hitung-hitung belajar mengurus anak."
"Hei, sekali lagi kau mengatakan kata-kata menyebalkan itu, jangan harap aku berbaik hati sama kamu lagi." Alvaro tak suka jika ada yang menganggapnya tua. Dia hanya beusia kepala tiga, belum sepenuhnya tua, hanya lebih matang. Akan tetapi, gadis di sampingnya itu selalu menyebutnya tua, membuat Alvaro geram saja.
"Ah, iya, ampun-ampun. Om Alvaro yang masih ABG."
Wajah kesal Alvaro berubah menjadi tertawa. Ternyata gadis bawel di sampingnya cukup menyenangkan ketika diajak bicara. Hingga dia terlupa jika mereka saat ini sedang berada di tengah badai hujan deras dengan angin kencang yang berembus tak mau kalah.
Petir tampak terlihat mengerikan, seolah-olah Tuhan sedang menunjukkan murkaNya. Pepohonan di jalan pun ikut tumbang karena angin yang terlalu kencang. Hingga Alvaro harus menghentikan mobilnya karena terhalang pohon yang tumbang itu.
Dia menatap ke kanan dan ke kiri, sepertinya tiada jalan lain selain menginap di satu tempat. Ya, perjalanan jauh dengan kondisi cuaca yang buruk ini akan sangat berbahaya baginya. Sedikit saja fokus menghilang, akan tergelincir dengan kehilangan arah.
Alvaro memilih berputar arah, mencari tempat menginap. Masalah Papanya akan dia jelaskan nanti, yang terpenting saat ini adalah keselamatannya. Apalagi dia melihat Azlina kedinginan sejak tadi, mengingatkan Alvaro kepada wajah seorang Sean Paderson yang mengerikan itu. Jika terjadi sesuatu kepada Azlina, mungkin bukan hanya Sean Paderson saja yang akan membuat perhitungan dengannya, tetapi papanya pasti melakukan hal yang sama karena dianggap tak becus menjaga anak orang.
"Om, kenapa berbalik?" tanya Azlina lirih dengan menatap ke arah Alvaro.
Memilih abai, Alvaro hanya memfokuskan pandangan ke depan, karena hujan deras hampir mengurangi jarak pandang matanya.
"Om, kenapa berbalik? Kita mau ke mana?" tanya Azlina lagi dan dengan cepat dijawab oleh Alvaro.
"Mau nyari pisang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Bzaa
kyk ponakan aku udah gede kl mkn obat mesti di masukin ke pisang ny😉😉
2023-04-12
0
Sunarty Narty
😂😂😂😂😂
2022-10-27
0
Felisitaz😇
sama seperti sy dl masih SD Ng bisa minum obat tanpa pisang atau jeruk klo Ng ada semua pake buah asam.obatnay di masukin ke dalam buah baru nelan utuh🤣🤣🤣🤣
2022-02-20
1