Alvaro segera membebaskan cengkeraman tangannya yang sedari tadi tak mau terlepas dari tangan gadis itu. Tatapannya bingung, terlampau tergemap dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelum kesadaran itu berhasil menguraikan kebingungannya, suara lain mengejutkannya.
"Alvaro!"
Pemilik suara seksi itu mengalihkan perhatian semua orang, termasuk Sean dan Azlina.
Itu adalah suara Liora. Alvaro segera menoleh ke arah perempuan itu, perempuan yang akan dijodohkan dengannya.
Entah apa yang mendorong Alvaro melakukan tindakan aneh yang membuat semua orang berdecak kesal dengan kelakuannya. Secara implusif, lelaki itu menarik kembali tangan Azlina, mengajak gadis itu pergi dari kerumunan orang-orang yang sedang memandanginya.
Semua orang tercengang melihat kelakuan lelaki itu, begitu juga dengan seorang Sean Paderson.
Liora yang melihat calon tunangannya kabur dengan seorang gadis berseragam sekolah berteriak memanggil-manggil nama Alvaro, tetapi lelaki itu seolah-olah mengabaikannya. Alvaro terus saja berlari sembari menarik tangan Azlina hingga keluar dari area lobby.
"Om, mau dibawa ke mana saya?!" Azlina menarik tangannya paksa, tetapi lelaki itu sama sekali tak menanggapinya. Dia masih saja menarik tangan Azlina hingga berada di parkiran motornya.
"Om, sakit! Anda menyakiti saya."
Azlina tampak ingin menangis, wajahnya merona dengan bulir air mata mulai merembes di wajah cantiknya.
Alvaro yang menyadari itu, melonggarkan tarikan tangannya. Dia berhenti ketika berada tepat di belakang motor matic milik Azlina terparkir. Dia menoleh kemudian, memperhatikan wajah kemerahan Azlina yang sedang berusaha menahan tangis. Seketika rasa bersalah melingkupi hati lelaki itu.
"Maaf, naiklah! Aku antar kamu ke sekolah."
Suara lembut Alvaro membuat Azlina sedikit tenang. Dia mengangguk menanggapi. Ya, sepertinya lebih baik jika dia diantarkan saja, karena saat ini tubuhnya masih gemetar dengan apa yang baru saja terjadi.
"Beneran, ya, Om. Anterin ke sekolah. Jangan dibawa kabur lagi sayanya!" ucap Azlina seraya mengusap sudut matanya yang hampir meloloskan cairan bening.
"Enggak akan. Bawa bocil kayak kamu, adanya aku yang kerepotan."
Alvaro memundurkan motor itu, menaikinya, lalu menghidupkan mesinnya. Dia menoleh ke arah Azlina agar gadis itu segera naik. Bukannya segera menuruti perintah Alvaro, gadis itu justru mengangsurkan helm berwarna pink dengan stiker hello kitty kepada Alvaro.
"Om, pakai helmnya."
Lelaki itu mengerutkan kening. Buru-buru dia menggeleng. "Ogah, kamu pakai saja sendiri."
Azlina hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Segera dikenakannya helm itu, lalu mengaitkan talinya dengan benar.
Sedikit ragu dia menaikkan kakinya untuk kemudian duduk dengan posisi menjauh dari tubuh Alvaro. Bagaimanapun juga dia tidak akan percaya begitu saja dengan lelaki di depannya itu. Ingin segera terbebas, Azlina menepuk bahu Alvaro agar segera melajukan motornya.
"Ayo, Om!"
Tanpa menjawab perkataan Azlina, Alvaro segera melaju keluar dari area hotel itu. Dia tampak mengebut, mengabaikan wajah pasi Azlina di belakangnya. Sejenak dia melirik ke arah kaca spion yang langsung tertuju pada wajah gadis di belakangnya. Azlina tampak membuka kaca helmnya, menatap lurus ke depan untuk fokus ke jalanan.
Gadis itu tanpa sengaja menatap ke arah spion yang sama, pandangannya bersirobok dengan wajah Alvaro. Dia segera memalingkan muka, tak lagi menatap ke kaca spion itu, memilih melihat gedung-gedung tinggi di kanan dan kiri jalan.
Lelaki itu tampak tersenyum. Sangat aneh memang, dia terjebak situasi di mana harus mengantar seorang bocah ingusan ke sekolah. Parahnya, bocah itu adalah adik dari wanita yang sempat dicintainya dulu. Cinta yang tak tersampaikan karena wanita itu telah lebih dulu menikah dengan seseorang yang jauh lebih berkuasa daripada dirinya.
Ya, itu hanya masa lalu yang tidak layak untuk dikenang. Karena penyesalan Alvaro yang teramat sangat setelah mengetahui kebenaran tentang wanita yang dicintainya dulu, dia sempat terpuruk dalam waktu lama. Akan tetapi, setelah menjalani beberapa kali terapi dan berusaha menerima kenyataan yang ada, membuat hatinya lebih tenang dan mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik.
Sampailah ketika motor itu berada di depan gerbang SMA Negeri 20, Alvaro menghentikan motornya tepat di depan gerbang itu. Azlina segera turun dari jok motor, lalu menengadahkan tangannya untuk meminta kunci motor miliknya kembali.
Bukannya segera memberikan kunci motor itu kepada Azlina, Alvaro justru melemparkan pertanyaan kepada gadis itu. "Pulang jam berapa? Biar aku jemput."
"Ah, enggak-enggak. Apa-apaan sih, Om. Kayak orang pacaran aja. Kembalikan saja motor saya." Azlina masih bertahan dengan pendapatnya. "Om mau maling, ya? Atau Om sebenarnya suka sama saya. Ish, Om, cari yang seumuran, saya tidak suka dengan orang tua."
Alvaro ternganga dengan penuturan Azlina. Harga dirinya sebagai seorang dewasa terasa tercabik-cabik.
"Apa kau bilang tadi? Siapa yang kau maksud tua?"
Tepat ketika Azlina ingin menjawab pertanyaan Alvaro, ponsel gadis itu berdering, membuatnya harus menghentikan perdebatan antara dirinya dan Alvaro. Dia merogoh tas pinggangnya, lalu menggeser ikon hijau yang ada di layar Smartphone itu.
"Apa? Diliburkan? Kamu enggak ngasih tahu dari kemarin. Aku sudah ada di depan sekolah ini. Tahu gitu lebih baik nonton drakor seharian daripada bolak-balik ke sekolah." Bibirnya mengerucut lesu. Mematikan panggilan, Azlina memasukkan Smartphone-nya kembali ke dalam tas. Dia beralih menatap Alvaro, lalu mengembuskan napasnya kasar.
"Om, balikin motor saya. Eskul diliburkan hari ini. Saya mau pulang."
Terdengar tawa kecil dari bibir lelaki itu. Rugi dia mengebut tadi, takut jika gadis itu terlambat mengikuti kegiatan di sekolah karena dirinya. "Naiklah! Aku mau nyari rumah makan, perutku lapar."
"Enggak. Om modus, kan? Suka cari perhatian dengan gadis muda dan cantik seperti saya."
"Apa? Cari perhatian, sama kamu?" Alvaro menggeleng, lalu berdecih ringan. "Eh, Bocil! Aku belum sarapan, jadi aku mau minjem motor kamu untuk ke rumah makan terdekat. Nanti kamu bisa ambil balik motor buntut ini."
"Nyari taksi deh, Om. Masak orang kaya enggak bisa pesen taksi. Saya takut ketahuan sama Kakak Ipar lagi. Takut salah paham, nanti dikira saya ada main lagi sama Om. Idiih, amit-amit."
"Kamu makin lama makin ngeselin, ya? Padahal kakakmu anggun dan pendiem, adiknya malah kebalikannya."
Azlina tampak tak setuju dengan ucapan Alvaro. Dia ingin memprotes perkataan itu, tetapi pikirannya sedikit tersadar, bagaimana lelaki di depannya ini bisa mengenal kakaknya?
"Om kenal Mbak Salwa? Bagaimana bisa?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Yaa, bukan hanya dengan Salwa, tetapi suaminya juga. Jadi, sekarang kau tidak perlu berpikir macam-macam denganku." Alavaro mengarahkan pandangannya ke arah belakang, mengintruksi Azlina agar segera bergegas menaiki boncengan motor itu.
"Cepat naik! Perutku sudah lapar."
Azlina tampak sedikit ragu, tetapi tak ayal dia menurut juga. "Ingat, ya, Om. Jangan macam-macam!" ucapnya seraya menaiki jok belakang motornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Ria Onits
aku br mampir 2023
2023-05-23
0
Sunarty Narty
marah g Sean ne
2022-10-27
0
😁😁😁
wkwkwk
bersirobok org Padang Thor?
2022-09-11
0